Bocah lumpuh dan tuna wicara menanti bantuan
Kamis, 30 Agustus 2012 - 00:24 WIB

Bocah lumpuh dan tuna wicara menanti bantuan
A
A
A
Sindonews.com - Edi Rahman (13), Hanya bias tergolek lemas. Sejak berusia tujuh tahun, bocah laki-laki ini telah mengalami lumpuh dan tuna wicara. Keterbatasan ekonomi, membuat putra pasangan Supawan (40), dan Nurhayani (35), ini tak mampu menadapatkan perawatan medis yang layak. Di kediamannya yang hanya berupa gubuk kayu berukuran 4x5 meter dalam sebuah areal kebun, Kabupaten Muaraenim, Sumatera Selatan, kondisi Edi terlihat sangat memprihatinkan.
Ayah Edi, Supawan, menuturkan penyakit lumpuh yang di derita Edi dialami sejak usia tujuh tahun. Kala itu Edi yang sempat bersekolah di kelas 1 Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Desa Darmo mengalami sakit panas, hingga menyebabkannya kejang-kejang.
Melihat kondisi anaknya yang sakit, Supawan dan istrinya segera membawa Edi ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) terdekat. Saat itu, Edi di tangani oleh salah satu mantri kesehatan yang bertugas di Puskesmas tersebut. Namun, saat itu tekanan darah Edi sangat rendah, maka mantri tersebut menolak untuk melakukan tindakan medis lebih jauh, seperti penyuntikan.
Edi pun hanya di beri obat-obatan seadanya. Mengetahui alasan ini, Supawan dan istrinya pun membawa Edi pulang ke rumahnya untuk di rawat jalan. Namun, semakin hari kondisi kesehatan Edi tidak menjadi lebih baik. Supawan dan istrinya pun, kembali berusaha melakukan pengobatan kepada Edi. Namun, kali ini mereka memilih pengobatan alternative (dukun).
"Waktu pertama kami sudah coba datang ke puskesmas. Tapi, kata mantrinya waktu itu edi tak bisa di suntik. Karena tekanan darahnya rendah. Akhirnya, saya dan Istri memutuskan untuk memilih pengobatan kampung (dukun)," ujar Supawan saat SINDO menyambangi kediamannya di Simpang Karso Desa Darmo Kecamatan Lawang Kidul Kabupaten Muaraenim, Sumatera Seatan, Rabu 29 Agustus 2012.
Alasan lain, Supawan memilih pengobatan kampung karena dinilai lebih murah. Sebab, untuk bisa pergi ke dokter, atau rumah sakit Supawan tak memiliki biaya. Sehari-hari, Supawan hanya mengandalkan kehidupannya pada lahan karet miliknya yang tak sampai setengah hektar. Sementara, untuk pengobatan Edi Supawan bekerja sebagai buruh serabutan.
"Kami sudah bertahun-tahun melakukan pengobatan kampung. Bahkan, sampai ke Yogyakarta. Namun, Edi tetap tidak membaik kesehatannya. Kami bukannya tidak ada usaha untuk melakukan pengobatan ke dokter, tapi kami tidak punya biaya. Ke rumah sakit itu mahal," terangnya.
Hingga saat ini, lanjut Supawan, keluarganya belum pernah mendapatkan bantuan pengobatan bagi Edi. Tak hanya itu, sebagai keluarga miskin mereka pun jarang terdata dalam penerimaan bantuan social. Seperti beras miskin (raskin) ataupun semacamnya.
Padahal, kendati tinggal dalam kebun, dirinya tergolong cukup aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Seperti gotong royong desa ataupun mendatangi takziah warga dan selamatan lainnya.
"Pernah waktu itu, saya bilang ke perangkat desa tentang pendataan keluarga kami yang sering tertinggal. Namun, tindak lanjutnya belum ada," ucapnya.
Saat ini, kata Supawan, dirinya sangat berharap bila ada dermawan baik dari Pemerintah khusunya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muaraenim ataupun pihak swasta lainnya untuk dapat mengulurkan bantuan pengobatan bagi putra sulungnya. Sebab, dirinya sangat ingin melihat Edi dapat sembuh kembali dan hidup sehat seperti sedia kala.
"Edi ini masa sangat muda. Masa depannya masih panjang. Saya sedih, melihat anak saya tergolek tidak berdaya seperti ini. Sudah hampir enam tahun Edi ini tidak bisa hidup normal. Bahkan, gara-gara penyakitnya ia harus putus sekolah. Setiap hari dia hanya terbaring di gubuk, tanpa bisa bicara apalagi berjalan," harap Edi sambil meneteskan air mata.
Ayah Edi, Supawan, menuturkan penyakit lumpuh yang di derita Edi dialami sejak usia tujuh tahun. Kala itu Edi yang sempat bersekolah di kelas 1 Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Desa Darmo mengalami sakit panas, hingga menyebabkannya kejang-kejang.
Melihat kondisi anaknya yang sakit, Supawan dan istrinya segera membawa Edi ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) terdekat. Saat itu, Edi di tangani oleh salah satu mantri kesehatan yang bertugas di Puskesmas tersebut. Namun, saat itu tekanan darah Edi sangat rendah, maka mantri tersebut menolak untuk melakukan tindakan medis lebih jauh, seperti penyuntikan.
Edi pun hanya di beri obat-obatan seadanya. Mengetahui alasan ini, Supawan dan istrinya pun membawa Edi pulang ke rumahnya untuk di rawat jalan. Namun, semakin hari kondisi kesehatan Edi tidak menjadi lebih baik. Supawan dan istrinya pun, kembali berusaha melakukan pengobatan kepada Edi. Namun, kali ini mereka memilih pengobatan alternative (dukun).
"Waktu pertama kami sudah coba datang ke puskesmas. Tapi, kata mantrinya waktu itu edi tak bisa di suntik. Karena tekanan darahnya rendah. Akhirnya, saya dan Istri memutuskan untuk memilih pengobatan kampung (dukun)," ujar Supawan saat SINDO menyambangi kediamannya di Simpang Karso Desa Darmo Kecamatan Lawang Kidul Kabupaten Muaraenim, Sumatera Seatan, Rabu 29 Agustus 2012.
Alasan lain, Supawan memilih pengobatan kampung karena dinilai lebih murah. Sebab, untuk bisa pergi ke dokter, atau rumah sakit Supawan tak memiliki biaya. Sehari-hari, Supawan hanya mengandalkan kehidupannya pada lahan karet miliknya yang tak sampai setengah hektar. Sementara, untuk pengobatan Edi Supawan bekerja sebagai buruh serabutan.
"Kami sudah bertahun-tahun melakukan pengobatan kampung. Bahkan, sampai ke Yogyakarta. Namun, Edi tetap tidak membaik kesehatannya. Kami bukannya tidak ada usaha untuk melakukan pengobatan ke dokter, tapi kami tidak punya biaya. Ke rumah sakit itu mahal," terangnya.
Hingga saat ini, lanjut Supawan, keluarganya belum pernah mendapatkan bantuan pengobatan bagi Edi. Tak hanya itu, sebagai keluarga miskin mereka pun jarang terdata dalam penerimaan bantuan social. Seperti beras miskin (raskin) ataupun semacamnya.
Padahal, kendati tinggal dalam kebun, dirinya tergolong cukup aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Seperti gotong royong desa ataupun mendatangi takziah warga dan selamatan lainnya.
"Pernah waktu itu, saya bilang ke perangkat desa tentang pendataan keluarga kami yang sering tertinggal. Namun, tindak lanjutnya belum ada," ucapnya.
Saat ini, kata Supawan, dirinya sangat berharap bila ada dermawan baik dari Pemerintah khusunya Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Muaraenim ataupun pihak swasta lainnya untuk dapat mengulurkan bantuan pengobatan bagi putra sulungnya. Sebab, dirinya sangat ingin melihat Edi dapat sembuh kembali dan hidup sehat seperti sedia kala.
"Edi ini masa sangat muda. Masa depannya masih panjang. Saya sedih, melihat anak saya tergolek tidak berdaya seperti ini. Sudah hampir enam tahun Edi ini tidak bisa hidup normal. Bahkan, gara-gara penyakitnya ia harus putus sekolah. Setiap hari dia hanya terbaring di gubuk, tanpa bisa bicara apalagi berjalan," harap Edi sambil meneteskan air mata.
(mhd)