Minim anggaran, warga terpaksa seberangi sungai
A
A
A
Sindonews.com - Tidak adanya anggaran untuk membangun jembatan, membuat warga dan para pelajar Kampung Pungkruk, Demak Tengah, harus terus menerobos aliran Sungai Jragung hingga batas waktu yang tidak ditentukan.
Badan sungai yang terlalu lebar, dikhawatirkan memakan biaya pembangunan jembatan terlalu besar. Dari pantauan, sehari-hari terlihat warga dan para pelajar Kampung Pungkruk, Desa Jragung, Kecamatan Karangawen, berangkat ke sekolah.
Pelajar SD dan TK, harus digendong orangtuanya masing-masing menyeberang derasnya aliran Sungai Jragung.
Pasalnya, aliran sungai hingga setinggi dada orang dewasa, membuat mereka harus berjalan berhati-hati agar tidak terperosok dalam lubang atau lumpur.
Seumlah pelajar yang berangkat sendiri, harus melepas celana seragamnya agar tidak basah terendam air. Parwito, pelajar SDN 3 Jragung mengatakan, dirinya tidak membawa tas karena khawatir jatuh hingga hanyut bersama derasnya aliran sungai.
Kepala Desa Jragung Edi Susanto mengatakan, sebelumnya terdapat ratusan jiwa yang tinggal di perbukitan Kampung Pungkruk. "Tak adanya jembatan membuat warga nekad menyeberang sungai meski harus mempertaruhkan nyawanya," ujarnya, Kamis (10/2/2012).
Sejumlah warga, kata Edi, yang tak betah dengan kondisi tersebut lantas pindah ke tempat lain. Kondisi semacam itu telah terjadi puluhan tahun dan belum pernah diusulkan untuk pembangunan jembatan. Sebab menurutnya, pembangunan jembatan gantung sepanjang 80 meter membutuhkan dana hingga ratusan juta rupiah.
Sementara itu camat Karangawen Yulianto yang datang ke lokasi meminta kepada kepala Desa Jragung untuk mengusulkan pembangunan jembatan menuju Kampung Pungkruk.
"Sungai Jragung merupakan kewenangan Balai Besar Pemali Juwana, Provinsi Jawa Tengah, sehingga mestinya pembangunan jembatan tidak hanya kewenangan Pemkab Demak," katanya.
Minimnya anggaran, kata Yulianto, juga mengakibatkan belum bisa dilakukan penanganan darurat untuk penyeberangan bagi warga Kampung Pungkruk.
Yulianto menambahkan, selain menjadi tempat tinggal warga, bukit Pungkruk juga merupakan lahan pertanian produktif, sehingga banyak petani yang menggarap ladang di tempat tersebut.
Akibat tak ada akses jembatan, pelajar, petani, dan warga harus berani menerobos aliran sungai untuk keluar masuk Kampung Pungkruk. Cara tersebut dianggap paling efektif, karena jika tidak harus menempuh perjalanan hingga lebih dari 10 kilometer yang mengitari bukit.
Badan sungai yang terlalu lebar, dikhawatirkan memakan biaya pembangunan jembatan terlalu besar. Dari pantauan, sehari-hari terlihat warga dan para pelajar Kampung Pungkruk, Desa Jragung, Kecamatan Karangawen, berangkat ke sekolah.
Pelajar SD dan TK, harus digendong orangtuanya masing-masing menyeberang derasnya aliran Sungai Jragung.
Pasalnya, aliran sungai hingga setinggi dada orang dewasa, membuat mereka harus berjalan berhati-hati agar tidak terperosok dalam lubang atau lumpur.
Seumlah pelajar yang berangkat sendiri, harus melepas celana seragamnya agar tidak basah terendam air. Parwito, pelajar SDN 3 Jragung mengatakan, dirinya tidak membawa tas karena khawatir jatuh hingga hanyut bersama derasnya aliran sungai.
Kepala Desa Jragung Edi Susanto mengatakan, sebelumnya terdapat ratusan jiwa yang tinggal di perbukitan Kampung Pungkruk. "Tak adanya jembatan membuat warga nekad menyeberang sungai meski harus mempertaruhkan nyawanya," ujarnya, Kamis (10/2/2012).
Sejumlah warga, kata Edi, yang tak betah dengan kondisi tersebut lantas pindah ke tempat lain. Kondisi semacam itu telah terjadi puluhan tahun dan belum pernah diusulkan untuk pembangunan jembatan. Sebab menurutnya, pembangunan jembatan gantung sepanjang 80 meter membutuhkan dana hingga ratusan juta rupiah.
Sementara itu camat Karangawen Yulianto yang datang ke lokasi meminta kepada kepala Desa Jragung untuk mengusulkan pembangunan jembatan menuju Kampung Pungkruk.
"Sungai Jragung merupakan kewenangan Balai Besar Pemali Juwana, Provinsi Jawa Tengah, sehingga mestinya pembangunan jembatan tidak hanya kewenangan Pemkab Demak," katanya.
Minimnya anggaran, kata Yulianto, juga mengakibatkan belum bisa dilakukan penanganan darurat untuk penyeberangan bagi warga Kampung Pungkruk.
Yulianto menambahkan, selain menjadi tempat tinggal warga, bukit Pungkruk juga merupakan lahan pertanian produktif, sehingga banyak petani yang menggarap ladang di tempat tersebut.
Akibat tak ada akses jembatan, pelajar, petani, dan warga harus berani menerobos aliran sungai untuk keluar masuk Kampung Pungkruk. Cara tersebut dianggap paling efektif, karena jika tidak harus menempuh perjalanan hingga lebih dari 10 kilometer yang mengitari bukit.
()