Demi PLTA situs purba di Sulbar ditenggelamkan

Senin, 09 Januari 2012 - 16:10 WIB
Demi PLTA situs purba di Sulbar ditenggelamkan
Demi PLTA situs purba di Sulbar ditenggelamkan
A A A
Sindonews.com - Masyarakat tanah adat Tanalotong yang bermukim di Kecamatan Kalumpang dan Bonehau merasa dikhianati pemerintah. Pasalnya, situs purba di wilayah itu terancam ditenggelamkan.

Mereka tidak mampu menutupi kekecewaannya terhadap keputusan untuk menenggelamkan ratusan desa di dua kecamatan itu menyusul rencana pembangunan PLTA Karama.

Menurut tokoh adat Tanalotong Mardi Tamandalan, Kecamatan Kalumpang dan Bonehau adalah kawasan peradaban tertua di Sulbar. Daerah ini terpencil di Mamuju dan semua saranannya masih sangat kurang.

“Jangankan internet, telepon saja tidak bisa. Tapi yang paling penting mendapat perhatian adalah sarana transportasi, pendidikan dan kesehatan. Bukannya mendapat perhatian, malah akan ditenggelamkan. Ini yang menyakitkan kami,” tuturnya, Senin (9/1/2012).

Dia kemudian berasumsi minor. Kedua kecamatan itu kurang memberikan kontribusi pada daerah, sehingga diputuskan untuk ditenggelamkan. Namun kemudian dibantahnya. Ditegaskan, kekayaan Kalumpang dan Bonehau sudah memberikan banyak kontribusi. Hanya pemerintah setempatlah yang lalai dalam mengelola administrasi.

Masyarakat adat Tanalottong sangat berharap pemerintah kabupaten dan provinsi membatalkan mega proyek PLTA Tomatua (Karama). Sebab, jika itu terjadi, warga akan terpisah dengan daerah yang sejak 5.800 tahun ditinggali.

PLTA Karama rencananya akan dikerjakan oleh BUMN Tirai Bambu dan China Ghezouba Group Coorporation (CGGC). Dampak rencana ini adalah menenggelamkan sebagian wilayah Kalumpang dan Bonehau. Yang berarti menenggelamkan situs peradaban tertua di Sulbar.

"Dalam aturan adat kami, sangat dipantangkan menancapkan kassai atau tombak di tanah kuburan. Sanksinya hukuman adat berat dan harus menyembelih seekor kerbau," katanya.

Sikap menolak ini dituangkan dalam pernyataan yang ditandatangani pemangku adat Tanalotong, To Bara' Robert E Sipayo. Salah satu isinya adalah masyarakat adat tidak akan merelakan tanah moyangnya ditenggelamkan atas nama pembangunan. "Kami minta, jangan berdalih kepentingan umum, lantas nilai budaya dan kehidupan diabaikan," tandas Mardi.

Masyarakat adat Tanalotong akan menolak ganti rugi atau menurut istilah pemerintah ganti untung. Sebab, berapapun besarannya, tidak setara dengan nilai budaya.

Senada dengannya, To Bara' Pondang (Ketua Pemangku Adat) Talondo', Alirman Yunus, pun menyayangkan situs sejarah dimusnahkan. Sebab, akan mengubur cerita-cerita kecil terkait Kalumpang. "Saya tidak menolak PLTA Karama, asal jangan menenggelamkan kampung," katanya.

Sementara itu tokoh pemuda dan peminat budaya Mandar dari Balanipa Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Muhammad Ridwan Alimuddin mengatakan, dunia akan menuntut Sulbar bila situs di Kalumpang dan kawasan di sekitarnya ditenggelamkan.

Sebab di tempat itu bukan benda fisik saja, tapi lebih dari itu. Ada hal-hal tertentu yang masih berbingkai misteri, yang merupakan akar kebudayaan Sulbar ribuan tahun lalu.

"Kerugian tak ternilai harganya. Jauh melampaui sebuah unit PLTA yang hanya bernilai Rp12 triliun. Sebuah PLTA bisa dibangun lima tahun saja, tapi peradaban, seperti peradaban Kalumpang, tak akan bisa dibangun meski dengan biaya Rp1.000 triliun pun," tegasnya.

Dituturkan, ada banyak kasus, pembangunan PLTA di Indonesia ternyata tidak berdampak signifikan ke penduduk setempat. Seperti yang terjadi di Sumatera. PLTA Siguragura, PLTA Tangga, dan Peleburan Aluminium Kuala Tanjung adalah milik perusahaan patungan Indonesia dengan 12 perusahaan Jepang, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), yang akan selesai kontraknya pada 2013.

"Bisa saja muncul pertanyaan, mengapa investor dari China begitu bersemangat membantu pembangunan PLTA Karama? Dari hitung-hitungan bisnis, pasti ada motif di balik itu," katanya.

Dia mengaku tak terlalu percaya pernyataan yang dikemukakan Gubernur Sulbar Anwar Adnan Saleh, bahwa imbal beli dari potensi Sumber Daya Alam (SDA) wilayah Sulbar merupakan nilai tawar dalam pembangunan tersebut. Potensi itu di antaranya kakao, hasil laut, serta persawahan.

Bila hanya mengandalkan coklat dan ikan, China tak akan bersemangat seperti sekarang. Pasti lebih dari itu. Ridwan menilai, coklat dan ikan hanya mainan bisnis kecil. Tidak sebanding untuk berinvestasi triliunan rupiah.

Intinya, kata Ridwan, masyarakat internasional khususnya yang memberi perhatian pada pelestarian budaya tradisional mulai dari komunitas arkeologi hingga badan dunia di PBB yang mengurusi kebudayaan (UNESCO) akan mengecam habis-habisan Sulbar.

"Kita jangan mencontoh habis-habis China, demi bendungan 'Tiga Raksasa', mereka rela menenggelamkan ratusan kampung, memindahkan jutaan penduduk, dan beberapa situs bersejarah mereka. China negara industri yang kebutuhan energi sangat mendesak. China juga memiliki banyak situs bersejarah. DAM yang dibangun pun bisa mencegah banjir rutin yang terjadi di Sungai Kuning," ulas Ridwan.

Jika memang Gubernur Sulbar adalah seorang yang kreatif, visioner, dan seorang bapak pembangunan yang beradab, maka dia akan bisa membangun PLTA Karama dengan tetap melestarikan situs Kalumpang. Dia berharap warga Kalumpang dan Bonehau bisa mempertahankan hak kebudayaan dan warisan leluhurnya, walau berhadapan kekuatan maha dahsyat.
()
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4542 seconds (0.1#10.140)