118 Tahun RSJ Lawang Tak Henti Layani yang Termajinalkan

Rabu, 12 Februari 2020 - 07:07 WIB
118 Tahun RSJ Lawang Tak Henti Layani yang Termajinalkan
118 Tahun RSJ Lawang Tak Henti Layani yang Termajinalkan
A A A
MALANG - Angin Pegunungan Tengger siang itu bertiup begitu lembut bercampur awan tipis musim hujan yang basah. Angin gunung meluncur penuh kedamaian, menyapa Lembah Lawang yang begitu tenang.

Di antara udara yang sejuk, langkah-langkah kaki begitu tenang melintasi lorong-lorong bangunan bercat putih. Mereka, para tenaga medis yang penuh kesabaran merawat Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr Radjiman Wediodiningrat, Lawang, Kabupaten Malang. Wajah-wajah muda tenaga medis itu juga kontras dengan sebagian bangunan RSJ yang sudah terlihat lawas. Toh demikian, wajah ramah dan penuh perhatian tampak selalu mereka curahkan kepada pasien-pasien dengan beragam latar belakang gangguan tersebut.

RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat, Lawang memang tidak muda. Bahkan dibandingkan dengan para tenaga medisnya yang penuh setia mendampingi pasien, usianya sudah berlipat-lipat. Rumah sakit khusus untuk menangani pasien dengan gangguan jiwa ini telah dirintis pada 1884.

Berdasarkan catatan sejarah yang tersimpan di Museum Jiwa RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat, Lawang, rumah sakit jiwa ini telah melintasi zaman. Sejarah panjang itu dimulai sekitar 1884, di mana rumah sakit jiwa ini mulai proses pembangunan fisik, dan diresmikan pengoperasiannya pada 23 Juni1902. “Rumah sakit ini peninggalan masa Kolonial Belanda, tetapi telah dimodernisasi sesuai dengan kebutuhan perkembangan kejiwaan dimasa kini,” ujar Direktur Medik dan Keperawatan RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat, Lawang, dr Yuniar SpKJ.

Jauh sebelumnya, sekitar 1831, ungkap Yuniar, orang-orang Eropa di wilayah Nusantara yang mengalami gangguan mental, biasanya mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Militer di Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Pendirian RSJ Lawang diwujudkan merujuk Keputusan Kerajaan Belanda (Koninklijk Besluit) pada 30 Desember 1865 No 100. Saat itu Dr FH Bouwer, seorang psikiater; dan Dr A M Smith, seorang dokter angkatan laut, diutus ke Hindia Belanda untuk mendapat keterangan mengenai kondisi di Hindia Belanda. Setelah melalui proses yang panjang, didirikanlah satuRSJ di Bogor yang diresmikan pada 1882, menyusul kemudian RSJ di Sumber Porong Lawan.

Dalam kurun waktu 1905-1906, tercatat salah seorang dokter pribumi pertama yang bekerja di RSJ Lawang adalah Dr KRT Radjiman Wediodiningrat. Dia bersama-sama Dr Soetomo melancarkan pergerakan bangsa pertamaya itu Boedi Oetomo.
Pada masa itu, Dr KRT Radjiman Wediodiningrat telah mengembangkan pendekatan terapi alternatif dengan pendekatan “Rassen Psychologie”. Dan RSJ Lawang mendapatkan izin dari Pemerintah Hindia Belanda untuk membangun Anex di Desa Suko, terletak lebihkurang 1 km ke arah timur dilereng Pegunungan Tengger.

Jumlah pasien gangguan jiwa ini terus meningkat. Pada 1940, jumlah pasien mencapai 3.400 dan pada 1941 meningkat menjadi 4.200, oleh karena harus menampung pengungsian pasien dari koloni di Jawa Timur. “Bahkan, pasien berkebangsaan Eropa, yang telah dirawat sejak 1941 tersebut, masih sempat saya temui dan tangani hingga meninggal dunia pada 2002-an. Dia merupakan pasien terlama yang menjalani perawatan di sini, sekitar 64 tahun lamanya,” kenang Yuniar.

Dia menyebutkan, pada awalnya RSJ ini berada di daerah yang terpisah jauh dari permukiman penduduk. Menempati lahan yang sangat luas, yakni sekitar 299 hektare, dilengkapi berbagai fasilitas untuk terapi penyembuhan gangguan jiwa. Di tempat ini, para pasien diajak untuk berkegiatan sehari-hari, seperti bertani, beternak, dan membuat keterampilan. Bahkan, di lingkungan RSJ ini juga ada tempat pemakaman, karena banyak pasien yang dirawat dan tidak pulang ketempat asalnya hingga meninggal dunia.

Dari catatan sejarah RSJ Lawang, usaha pengadaan fasilitas rumah sakit dan rumah perawatan (door gang huizen) merupakan suatu perkembangan yang penting dalam dunia psikiatri. Untuk meningkatkan pelayanan perawatan pasien di RSJ Lawang, pada waktu itu mulai diadakan kegiatan terapi kerja dan bermacam-macam persiapan untuk usaha hiburan.

Dalam upaya memperlancar penyaluran pasien mental kemasyarakat, sejak 1926 RSJ Lawang mengantarkan kembali pasien yang sudah tenang kedesanya. Disusul dengan konsep door gang huizen yang diajukan oleh Travaglino. Bagi pasien yang mengalami defek/kronis dan sudah tenang, mereka ditampung pada koloni pertanian (werkenrichtingen).

Seiring waktu, RSJ Lawang terus berkembang. Mulai 1966 sampai sekarang, dilakukan beberapa pengembangan pengobatan dan perawatan pasien gangguan jiwa, baik pada unit rawat inap maupun rawat jalan dan keswamas. Pengembangan unit penunjang medik berupa pemeriksaan laboratorium (drug monitoring), radio diagnostik, dan elektromedik. “Saat masuk bekerja ke RSJ Lawang tahun 1996, direkturnya masih dr Pandu, yakni dokter dari Solo. Beliaulah yang mengajarkan kepada kami semua untuk berani keluar, belajar langsung di tengah masyarakat tentang kejiwaan,” ujar Yuniar.

Dari sinilah, konsep RSJ yang awalnya menjadi tempat pengasingan bagi para ODGJ, secara perlahan mulai terbuka. Bahkan, mulai banyak melibatkan komunitas di masyarakat untuk terlibat melakukan penanganan gangguan jiwa.

Demi menjawab tantangan zaman yang terus berubah, RSJ Lawang juga terus bergerak melakukan pembelajaran di masyarakat tentang penyakit jiwa. Menurut Yuniar, penyakit jiwa bisa diobati dan tidak beda dengan penyakit lainnya, yakni penyakit yang diakibatkan gangguan biologis.

Gerakan terbuka di masyarakat, salah satunya dilakukan dengan upaya mengevakuasi para ODGJ yang terpasung. Telah ratusan ODGJ yang berhasil diselamatkan dari pemasungan. Bahkan, mereka juga telah dilatih dengan berbagai keterampilan hingga mampu berdaya.

Salah satu upaya pendampingan yang dilakukan RSJ Lawang, di tengah masyarakat, adalah dengan berkembangnya Posyandu Jiwa. RSJ Lawang hadir ditengah masyarakat untuk melakukan deteksi dini gangguan kejiwaan, mengedukasi masyarakat tentang penyakit jiwa, hingga memberdayakan para ODGJ.

Di Dusun Blandit, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang, ada sejumlah ODGJ yang sebelumnya dipasung dan disembunyikan oleh keluarganya. Berkat pendampingan dan pengobatan yang dilakukan oleh RSJ Lawang, kini mereka bisa lepas dari pasung, hidup normal, dan mampu mandiri secara ekonomi dengan kegiatan usaha membuat keset dan sandal.

Berbagai layanan di RSJ Lawang, kini juga telah banyak berkembang. Yuniar menyebutkan, di RSJ Lawang ada layanan psikiatri anak dan remaja, yang bisa melayani tes intelegensi, tes minat bakat, hingga konsultasi parenting tentang masalah-masalah anak berupa gangguan belajar, gangguan pemusatan perhatian, dan gangguan game. Meski telah melewati berbagai zaman, RSJ ini tetap menomorsatukan layanan. Tak heran pengakuan demi pengakuan didapatkan, seperti Terakreditasi Tingkat Penuh Lengkap (2008), Akreditasi RS Pendidikan (2010), Resertifikasi ISO 9001-2008 (2011), Akreditasi Tim KARS Pusat(2011), Akreditasi Tim KARS lulus “Paripurna” (2016), dan kembali terakreditasi sebagai RS Pendidikan (2017).

“Kami juga memiliki layanan psikiatri industri, yang menghadirkan layanan untuk mengurai problematika seputar dunia kerja untuk meningkatkan performa prima,” ujar Yuniar.

Sejarawan Universitas Negeri Malang Dwi Cahyono menyebutkan, wilayah Lawang merupakan kawasan lintas zaman yang selalu menjadi salah satu wilayah penting sejak era sebelum masa Singasari dan Majapahit. Lokasinya yang berada di utara Malang, menjadi pintu akses Malang dengan dunia luar. “Sesuai namanya, Lawang bisa diartikan pintu. Mengingat wilayah Lawang, menjadi daerah celah terbuka bagi pedalaman Malang, yang dikitari pegunungan, dengan wilayah luar seperti Surabaya, dan Pasuruan,” tuturnya.

Tempatnya yang sejuk, dan lebih tinggi dari pusat Malang. Menurut Dwi, menjadikan dimasa Kolonial Belanda, wilayah ini juga sebagai tempat peristirahatan. “Posisinya sangat penting di masa Belanda, buktinya banyak bangunan penting berdiri di sini, seperti Stasiun Lawang yang usianya hampir sama dengan Stasiun Kota Lama,” tuturnya.

Hadirnya rumah sakit jiwa, menurut Dwi, juga sebagai bukti bagaimana majunya kawasan Lawang, karena penyakit kejiwaan sudah ditangani secara medis sejak akhir 1884-an.

Hadirnya RSJ Lawang, di tengah masyarakat, juga dirasakan Siti Khotimah. Warga Desa Bedali, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang tersebut secara rutin memeriksakan kondisi putri kesayangannya ke RSJ Lawang. Sang anak saat ini menempuh pendidikan di Sekolah Luar Biasa Lawang. “Selain di RSJ Lawang, saya juga terbantu dengan hadirnya Posyandu Disabilitas di Balai Desa Bedali,” tuturnya.

Lawang dengan sejarah pentingnya telah melintasi zaman yang terus berubah. Demikian juga dengan RSJ Lawang, yang sejak beberapa puluh tahun silam menyandang nama RSJ Dr Radjiman Wediodiningrat, telah mengabdikan diri selama 118 tahun lamanya, terus berbenah untuk melayani mereka yang masih saja termarginalkan di tengah perubahan zaman. (Yuswantoro)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 4.3004 seconds (0.1#10.140)