KAGAMA Gelar Seminar Kesiapan SDM Indonesia Hadapi Revolusi Industri 4.0
A
A
A
DENPASAR - KAGAMA kembali menggelar Seminar Nasional Pra Munas. Seminar putaran kelima ini, mengusung tema ‘Kesiapan SDM Indonesia Menghadapi Revolusi Industri 4.0. “Roadmap Pembangunan SDM Indonesia.” Seminar diselenggarakan pada Kamis (14/11/2019) di Hotel Grand Inna Bali Beach, Sanur, Bali. Sekretaris Jenderal PP KAGAMA, AAGN Ari Dwipayana mengatakan, KAGAMA ingin menghimpun gagasan tentang bagaimana peta jalan pembangunan SDM Indonesia dalam menghadapi tantangan zaman, yang ditandai oleh kemajuan teknologi informasi.
"Salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah dan bangsa Indonesia dewasa ini adalah bagaimana mempersiapkan sumberdaya manusia yang mampu menggerakkan dan memanfaatkan teknologi revolusi industri 4.0 dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, daya saing, dan kesejahteraan sosial," ujar Ari.
Bercermin pada data dari World Economic Forum dan peringkat Indonesia di Global Innovation Indeks (GII) 2019, Ari mengatakan bahwa posisi Indonesia tertinggal jauh. Menurut Ari, diperlukan usaha-usaha luar biasa untuk memacu tingkat inovasi nasional, baik pada input maupun output. "Penting dan urgen untuk menaruh perhatian pada sektor pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan kewirausahaan, selain pembenahan-pembenahan struktural pada ekosistem politik, riset dan reproduksi pengetahuan, ekonomi, penegakan hukum, dan keuangan," jelas Ari.
Ari menjelaskan di bidang pendidikan, survei terbaru pada 2015 Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yang menunjukkan literasi peserta didik usia 15 tahun (diukur dari kemampuan membaca) tergolong rendah. Skor rata-rata anak didik Indonesia hanya 403 untuk sains (dari rata-rata skor anak didik negara yang diteliti 493), 397 untuk membaca (rata-rata 493) dan 386 untuk matematika (rata-rata 490).
Sementara dari Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 2016 presentase pencapaian siswa yang masih kurang ada pada bidang matematika sekitar 77,13%, kurang di bidang kemampuan membaca sekitar 46,83% dan kurang di bidang sains 73,61%. Demikian juga pada sektor kesehatan, sejauh ini derajat kesehatan di Indonesia masih belum merata. Contohnya angka kelahiran ibu di usia 15-19 tahun masih tinggi, menurunnya penggunaan alat kontrasepsi modern, pola hidup yang tidak sehat meningkatkan risiko penyakit, prevalensi stunting masih tinggi, dan masih banyak lagi.
Ada lagi di bidang kewirausahaan, dibandingkan jumlah penduduk, jumlah wirausaha di Indonesia masih kecil. "Dengan patokan di negara-negara yang lebih maju jumlah yang wirausahawan berkisar 14 persen, kita tahun 2018 baru 3.1 persen. Dengan jumlah penduduk yang telah di atas 250 juta, dibutuhkan setidaknya 40 juta pengusaha," jelas Ari.
Tuntutan zaman untuk menyerap angkatan kerja lebih besar dan terus tumbuh, diperlukan pekerjaan berkualitas tinggi yang hanya lahir dari inovasi. Ari mengutip dari hasil survei LinkedIn, minat perusahaan terhadap tenaga kerja yang memiliki keahlian big data dan coding cukup tinggi dan cepat perkembangannya. Sayangnya, suplai tenaga kerja dengan kriteria tersebut masih minim.
Ketidaksiapan tenaga kerja lokal dengan kebutuhan industri, dinilai mengkhawatirkan karena dapat berdampak pada daya saing industri Indonesia dengan negara lain. Merujuk pada laporan World Economic Forum (WEF) 2016, dunia industri sedang beralih menggunakan rekayasa inteligen, mesin belajar, transportasi otomatis, dan robotik pintar yang akan mendominasi proses produksi pada 2020. "Beberapa industri menjadikan teknologi cloud dan mobile internet sebagai fokus model bisnis mereka di masa depan, disusul teknologi pemrosesan data dan penggunaan big data ke dalam proses produksi," pungkasnya.
"Salah satu tantangan yang dihadapi pemerintah dan bangsa Indonesia dewasa ini adalah bagaimana mempersiapkan sumberdaya manusia yang mampu menggerakkan dan memanfaatkan teknologi revolusi industri 4.0 dalam mendorong pembangunan ekonomi nasional, daya saing, dan kesejahteraan sosial," ujar Ari.
Bercermin pada data dari World Economic Forum dan peringkat Indonesia di Global Innovation Indeks (GII) 2019, Ari mengatakan bahwa posisi Indonesia tertinggal jauh. Menurut Ari, diperlukan usaha-usaha luar biasa untuk memacu tingkat inovasi nasional, baik pada input maupun output. "Penting dan urgen untuk menaruh perhatian pada sektor pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan kewirausahaan, selain pembenahan-pembenahan struktural pada ekosistem politik, riset dan reproduksi pengetahuan, ekonomi, penegakan hukum, dan keuangan," jelas Ari.
Ari menjelaskan di bidang pendidikan, survei terbaru pada 2015 Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), yang menunjukkan literasi peserta didik usia 15 tahun (diukur dari kemampuan membaca) tergolong rendah. Skor rata-rata anak didik Indonesia hanya 403 untuk sains (dari rata-rata skor anak didik negara yang diteliti 493), 397 untuk membaca (rata-rata 493) dan 386 untuk matematika (rata-rata 490).
Sementara dari Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, pada 2016 presentase pencapaian siswa yang masih kurang ada pada bidang matematika sekitar 77,13%, kurang di bidang kemampuan membaca sekitar 46,83% dan kurang di bidang sains 73,61%. Demikian juga pada sektor kesehatan, sejauh ini derajat kesehatan di Indonesia masih belum merata. Contohnya angka kelahiran ibu di usia 15-19 tahun masih tinggi, menurunnya penggunaan alat kontrasepsi modern, pola hidup yang tidak sehat meningkatkan risiko penyakit, prevalensi stunting masih tinggi, dan masih banyak lagi.
Ada lagi di bidang kewirausahaan, dibandingkan jumlah penduduk, jumlah wirausaha di Indonesia masih kecil. "Dengan patokan di negara-negara yang lebih maju jumlah yang wirausahawan berkisar 14 persen, kita tahun 2018 baru 3.1 persen. Dengan jumlah penduduk yang telah di atas 250 juta, dibutuhkan setidaknya 40 juta pengusaha," jelas Ari.
Tuntutan zaman untuk menyerap angkatan kerja lebih besar dan terus tumbuh, diperlukan pekerjaan berkualitas tinggi yang hanya lahir dari inovasi. Ari mengutip dari hasil survei LinkedIn, minat perusahaan terhadap tenaga kerja yang memiliki keahlian big data dan coding cukup tinggi dan cepat perkembangannya. Sayangnya, suplai tenaga kerja dengan kriteria tersebut masih minim.
Ketidaksiapan tenaga kerja lokal dengan kebutuhan industri, dinilai mengkhawatirkan karena dapat berdampak pada daya saing industri Indonesia dengan negara lain. Merujuk pada laporan World Economic Forum (WEF) 2016, dunia industri sedang beralih menggunakan rekayasa inteligen, mesin belajar, transportasi otomatis, dan robotik pintar yang akan mendominasi proses produksi pada 2020. "Beberapa industri menjadikan teknologi cloud dan mobile internet sebagai fokus model bisnis mereka di masa depan, disusul teknologi pemrosesan data dan penggunaan big data ke dalam proses produksi," pungkasnya.
(sms)