Polemik Penyebab Tsunami Selat Sunda, Ini Pendapat Ahli ITB

Minggu, 23 Desember 2018 - 15:23 WIB
Polemik Penyebab Tsunami Selat Sunda, Ini Pendapat Ahli ITB
Polemik Penyebab Tsunami Selat Sunda, Ini Pendapat Ahli ITB
A A A
BANDUNG - Sejumlah badan yang menangani gejala alam dan bumi pun belum menyatakan penyebab pasti atas musibah tsunami di Selat Sunda. Sampai saat ini, penyebab tsunami yang terjadi di Selat Sunda belum diketahui pasti.

Namun, ahli gunung berapi atau Volkanologi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Mirzam Abdurrachman menyebut ada beberapa hal yang bisa menyebabkan terjadinya tsunami. Menurut dia, gunung yang terletak di tengah laut seperti Gunung Anak Krakatau sangat berpotensi menghasilkan volcanogenic tsunami.

Menurut dia, volcanogenis tsunami bisa terbentuk karena perubahan volume laut secara tiba-tiba akibat letusan gunung api. Setidaknya ada empat mekanisme yang menyebabkan terjadinya volcanogenic tsunami.

Pertama, kolapsnya kolom air akibat letusan gunung api yang berada di laut. Dia mencontohkan, layaknya meletuskan balon pelampung di dalam kolam, akan menyebabkan riak air di sekitarnya.

Kedua, pembentukan kaldera akibat letusan besar gunung api di laut menyebabkan perubahan keseimbangan volume air secara tiba-tiba. Dia mengisyaratkan pembentukan kaldera, bila menekan gayung mandi ke bak mandi kemudian membaliknya.

“Faktor pertama dan kedua pernah terjadi pada letusan Krakatau, tepatnya 26-27 Agustus 1883. Tsunami tipe ini seperti tsunami pada umumnya didahului oleh turunnya muka laut sebelum gelombang tsunami yang tinggi masuk ke daratan,” kata dia, Minggu (23/12/2018)..

Mirzam menyebut, faktor penyebab ketiga adalah material gunung api yang longsor, bisa menyebabkan memicu perubahan volume air di sekitarnya. Tsunami tipe ini, kata dia, pernah terjadi di Mt. Unzen Jepang pada 1972.

“Tsunami itu menyebabkan korban jiwa hingga 15.000 jiwa. Itu disebabkan karena pada saat yang bersamaan sedang terjadi gelombang pasang,” beber dia.

Faktor keempat, adalah aliran piroklastik atau wedus gembel yang turun menuruni lereng dengan kecepatan tinggi saat letusan terjadi. Aliran ini bisa mendorong muka air jika gunung tersebut berada di atau dekat pantai. Tsunami tipe ini pernah terjadi saat Mt. Pelee, Martinique meletus pada 8 Mei 1902. Saat aliran piroklastik Mt. Pelle yang meluncur dan menuruni lereng akhirnya sampai ke Teluk Naples, mendorong muka laut dan menghasilkan tsunami.

“Volcanogenic tsunami akibat longsor atau pun aliran piroklastik umumnya akan menghasilkan tinggi gelombang yang lebih kecil dibandingkan dua penyebab sebelumnya. Namun bisa sangat merusak dan berbahaya karena tidak didahului oleh surutnya muka air laut, seperti yang terjadi di Selat Sunda tadi malam,” imbuh dia.

Diakui dia, aktivitas Gunung Anak Krakatau terus menggeliat akhir-akhir ini. Tercatat lebih dari 400 letusan kecil terjadi dalam beberapa bulan terakhir. Letusan besar terjadi Sabtu kemarin, pukul 18.00 WIB dan terus berlanjut hingga pagi ini. Bahkan letusan terdengar hingga Pulau Sebesi yang berjarak lebih dari 10 km arah timur laut seperti dilaporkan tim patroli.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6494 seconds (0.1#10.140)