Sultan Tidore: Kami Sudah Berkali-kali Mati untuk Indonesia
A
A
A
TIDORE - Memasuki hari kedua tim Kirab Satu Negeri (KSN) di Maluku Utara, rombongan tim menelusuri jejak perjuangan Kesultanan Tidore. Dalam perjalanannya, 17 bendera Merah Putih diseberangkan dengan perahu kayu oleh Banser. Setelah tiba di Dermaga Tidore Kepulauan, perjalanan dilanjutkan ke Kedaton Tidore.
Sultan Husain Alting Sjah serta Pemerintah Kota Tidore yang menunggu di halaman Kedaton langsung menggelar acara Apel Serah Terima Bendera Merah Putih dari Ketua Pengurus Wilayah Ansor. Rombongan KSN mendampingi asisten Wali Kota menuju Kedaton dan menyerahkan pada Sultan Tidore sebagai bentuk penghargaan atas pengorbanan masyarakat Maluku Utara, khususnya Tidore untuk Indonesia.
Puncak rangkaian Kirab Satu Negeri di Maluku Utara dilakukan dengan menggelar acara dialog kebangsaan dengan tema "Sultan Nuku dan Kedaulatan NKRI" di Balai Kedatong belakang Kesultanan. Menurut Sultan Husain, tema itu sengaja dipilih agar generasi mendatang, khususnya milenial memahami posisi strategis Tidore dan berdirinya Indonesia.
"Slogan NKRI Harga Mati tidak cocok untuk Maluku Utara, khususnya Tidore Kepulauan. Sebab kami sudah mati berkali-kali untuk Indonesia," ujar Sultan Husain, Selasa (2/10/2018). "Sejak dulu Tidore sudah menyerahkan sepertiga wilayah kerajaan termasuk Papua untuk Indonesia. Bahkan mengirim pemuda Papua untuk mewakili Kerajaan Tidore secara resmi di momentum Sumpah Pemuda. Ini merupakan bentuk keikhlasan dan ridhanya kerajaan bergabung menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Sultan.
Untuk melengkapi sejarah Sultan Nuku dan keterlibatannya dalam kemerdekaan Indonesia, Sultan Husain meminta Perdana Menterinya untuk ikut bicara. Kurang lebih tiga puluh menit Muhammad Amin Faruq mewakilinya. Di sela-sela membawakan materi, Amin Faruq sempat berulang kali meneteskan air mata ketika membahas tentang asal muasal Bendera Merah Putih, bendera yang sekarang menjadi lambang kebesaran Bangsa Indonesia. "Merah darah membasahi bumi, putih kain membalut luka," ungkapnya.
Menurutnya, warna Merah Putih merupakan hasil dialog kakeknya dengan Soekarno saat di penjara. Sehingga Merah Putih bukan sekadar simbol kenegaraan baginya, melainkan warisan keluarga yang juga harus dijaga meski nyawa taruhannya.
Sementara dari Pimpinan Pusat GP Ansor Muhammad A Idris menekankan bahwa bentuk nyata nasionalisme dan mempertahankan keutuhan NKRI bagi generasi milenial adalah akses pendidikan yang merata dan berkualitas. "Legal akses pendidikan untuk mendapatkan pendidikan terbaik harus diberikan, termasuk generasi muda Tidore. Ini bukan semata-mata soal masa depan perorangan melainkan wujud konkret mendistribusikan kader bangsa masuk universitas terbaik maupun membekali kecakapan kerja yang siap bersaing," kata Idris.
Setelah dialog acara dilanjutkan ziarah ke Makam Sultan Nuku, Makam Ibu Aminah, penjahit pertama bendera Merah Putih di Tidore dengan benang serabut daun nanas.
Sultan Husain Alting Sjah serta Pemerintah Kota Tidore yang menunggu di halaman Kedaton langsung menggelar acara Apel Serah Terima Bendera Merah Putih dari Ketua Pengurus Wilayah Ansor. Rombongan KSN mendampingi asisten Wali Kota menuju Kedaton dan menyerahkan pada Sultan Tidore sebagai bentuk penghargaan atas pengorbanan masyarakat Maluku Utara, khususnya Tidore untuk Indonesia.
Puncak rangkaian Kirab Satu Negeri di Maluku Utara dilakukan dengan menggelar acara dialog kebangsaan dengan tema "Sultan Nuku dan Kedaulatan NKRI" di Balai Kedatong belakang Kesultanan. Menurut Sultan Husain, tema itu sengaja dipilih agar generasi mendatang, khususnya milenial memahami posisi strategis Tidore dan berdirinya Indonesia.
"Slogan NKRI Harga Mati tidak cocok untuk Maluku Utara, khususnya Tidore Kepulauan. Sebab kami sudah mati berkali-kali untuk Indonesia," ujar Sultan Husain, Selasa (2/10/2018). "Sejak dulu Tidore sudah menyerahkan sepertiga wilayah kerajaan termasuk Papua untuk Indonesia. Bahkan mengirim pemuda Papua untuk mewakili Kerajaan Tidore secara resmi di momentum Sumpah Pemuda. Ini merupakan bentuk keikhlasan dan ridhanya kerajaan bergabung menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Sultan.
Untuk melengkapi sejarah Sultan Nuku dan keterlibatannya dalam kemerdekaan Indonesia, Sultan Husain meminta Perdana Menterinya untuk ikut bicara. Kurang lebih tiga puluh menit Muhammad Amin Faruq mewakilinya. Di sela-sela membawakan materi, Amin Faruq sempat berulang kali meneteskan air mata ketika membahas tentang asal muasal Bendera Merah Putih, bendera yang sekarang menjadi lambang kebesaran Bangsa Indonesia. "Merah darah membasahi bumi, putih kain membalut luka," ungkapnya.
Menurutnya, warna Merah Putih merupakan hasil dialog kakeknya dengan Soekarno saat di penjara. Sehingga Merah Putih bukan sekadar simbol kenegaraan baginya, melainkan warisan keluarga yang juga harus dijaga meski nyawa taruhannya.
Sementara dari Pimpinan Pusat GP Ansor Muhammad A Idris menekankan bahwa bentuk nyata nasionalisme dan mempertahankan keutuhan NKRI bagi generasi milenial adalah akses pendidikan yang merata dan berkualitas. "Legal akses pendidikan untuk mendapatkan pendidikan terbaik harus diberikan, termasuk generasi muda Tidore. Ini bukan semata-mata soal masa depan perorangan melainkan wujud konkret mendistribusikan kader bangsa masuk universitas terbaik maupun membekali kecakapan kerja yang siap bersaing," kata Idris.
Setelah dialog acara dilanjutkan ziarah ke Makam Sultan Nuku, Makam Ibu Aminah, penjahit pertama bendera Merah Putih di Tidore dengan benang serabut daun nanas.
(amm)