Tiga Hal Ini Bisa Atasi Bentrok Suporter Menurut Guru Besar UGM
A
A
A
YOGYAKARTA - Kasus tewasnya Haringga Sirila, suporter Persija Jakarta akibat dikeroyok suporter Persib Bandung menarik perhatian banyak pihak. Kasus ini menjadi isu nasional.
Dekan Fakultas Psikologi UGM, Prof Faturochman menilai bentrok antarsuporter bola sangat dimungkinkan lantaran adanya group based emotion. Emosi karena kelompok, saling dendam, balas-membalas. Mungkin sebelumnya pernah ada korban juga dari pihak Persib akibat ulah suporter Persija.
"Ini akan terus terjadi. Persoalan identitas yang berbeda, persaingan. Mesti saling mengunggulkan timnya dan menjelekkan tim lawan," katanya kepada SINDOnews, Senin (24/9/2018) malam.
Untuk mengatasi ini, guru besar UGM ini menyarankan tiga hal. Pertama masing-masing tim bisa mengatur suporternya. Langkah ini sudah dilakukan oleh tim-tim besar di luar negeri. Jika ada suporter yang berulah maka pasti tim yang bersangkutan akan kena sanksi selain pelaku juga dihukum.
"Masalahnya tim bola di Indonesia ibaratnya hidup tak mau mati tak segan, sehingga tak sempat lagi mengurus suporternya," katanya.
Kedua, dari segi keamanan, di dalam stadion dan di luar stadion harus bisa dikontrol. Pengaturan pembelian tiket juga harus ketat. "Sekarang ada CCTV. Di luar negeri orang beli tiket itu tidak gampang. Paspor dan identitas di-scan. Tiket juga ada nomor kursinya. Jadi kalau mencurigakan sedikit saja sudah terpantau dari CCTV dan langsung diketahui," katanya.
Ketiga, sejak di luar stadion suporter juga sudah dipisahkan sedemikian rupa untuk menghindari bentrok. Faturochman mencontohkan di Belanda, sejak di jalan kedua suporter sudah dipisahkan sedemikian rupa untuk meminimalisir bentrok. Di sana sistem transportasi umum sangat bagus sehingga nyaris tidak ada supporter yang menggunakan kendaraan pribadi.
"Suporter A turun di stasiun A dan suporter B turun di stasiun yang lain, jalan masuknya juga sudah dipisah. Ini untuk meminimalisir bentrok tadi. Kalau d Idonesia kan pake kendaraan sendiri-sendiri sehingga campur-baur susah dikontrol," ujarnya.
Lulusan Universitas Flinders Australia ini menegaskan agar kasus serupa tidak terulang maka yang perlu diperhatikan minimal adalah tiga hal tadi. "Pengawasan ketat dari tim masing-masing, sistem keamanan yang ditingkatkan serta sistem transportasi massa yang juga harus dibenahi agar sejak awal mereka bisa dikontrol," katanya.
Dekan Fakultas Psikologi UGM, Prof Faturochman menilai bentrok antarsuporter bola sangat dimungkinkan lantaran adanya group based emotion. Emosi karena kelompok, saling dendam, balas-membalas. Mungkin sebelumnya pernah ada korban juga dari pihak Persib akibat ulah suporter Persija.
"Ini akan terus terjadi. Persoalan identitas yang berbeda, persaingan. Mesti saling mengunggulkan timnya dan menjelekkan tim lawan," katanya kepada SINDOnews, Senin (24/9/2018) malam.
Untuk mengatasi ini, guru besar UGM ini menyarankan tiga hal. Pertama masing-masing tim bisa mengatur suporternya. Langkah ini sudah dilakukan oleh tim-tim besar di luar negeri. Jika ada suporter yang berulah maka pasti tim yang bersangkutan akan kena sanksi selain pelaku juga dihukum.
"Masalahnya tim bola di Indonesia ibaratnya hidup tak mau mati tak segan, sehingga tak sempat lagi mengurus suporternya," katanya.
Kedua, dari segi keamanan, di dalam stadion dan di luar stadion harus bisa dikontrol. Pengaturan pembelian tiket juga harus ketat. "Sekarang ada CCTV. Di luar negeri orang beli tiket itu tidak gampang. Paspor dan identitas di-scan. Tiket juga ada nomor kursinya. Jadi kalau mencurigakan sedikit saja sudah terpantau dari CCTV dan langsung diketahui," katanya.
Ketiga, sejak di luar stadion suporter juga sudah dipisahkan sedemikian rupa untuk menghindari bentrok. Faturochman mencontohkan di Belanda, sejak di jalan kedua suporter sudah dipisahkan sedemikian rupa untuk meminimalisir bentrok. Di sana sistem transportasi umum sangat bagus sehingga nyaris tidak ada supporter yang menggunakan kendaraan pribadi.
"Suporter A turun di stasiun A dan suporter B turun di stasiun yang lain, jalan masuknya juga sudah dipisah. Ini untuk meminimalisir bentrok tadi. Kalau d Idonesia kan pake kendaraan sendiri-sendiri sehingga campur-baur susah dikontrol," ujarnya.
Lulusan Universitas Flinders Australia ini menegaskan agar kasus serupa tidak terulang maka yang perlu diperhatikan minimal adalah tiga hal tadi. "Pengawasan ketat dari tim masing-masing, sistem keamanan yang ditingkatkan serta sistem transportasi massa yang juga harus dibenahi agar sejak awal mereka bisa dikontrol," katanya.
(amm)