Buruh DIY Tuntut Perumahan Murah dan UMS

Senin, 30 April 2018 - 06:09 WIB
Buruh DIY Tuntut Perumahan...
Buruh DIY Tuntut Perumahan Murah dan UMS
A A A
SLEMAN - Para buruh dan pekerja DIY yang tergabung dalam konfenderasi serikat pekerja seluruh Indonesia (KSPSI) DIY menuntut pemerintah setempat menyediakan perumahan murah dan upah minimum sektoral (UMS) bagi mereka.

Tuntutan ini bukan tanpa alasan. Selain rata-rata para buruh belum memiliki rumah juga lantaran upah yang mereka dapatkan juga rendah. Padahal harga tanah maupun rumah di DIY sangat mahal, sehingga dengan upah yang mereka terima tidak memungkinkan untuk membeli rumah tersebut.

"Itulah tuntutan yang akan kami sampaikan saat May Day, 1 Mei nanti," kata wakil ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Konfenderasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY Kirnadi soal rencana May Day di sekretariat DPD KSPSI DIY Jalan Anggajaya, Condongcatur, Depok, Sleman, DIY, Minggu (29/4/2018).

Kirnadi menjelaskan adanya perumahan murah bagi buruh ini penting, sebab tanpa adamya penyediaan rumah murah atau yang terjangkau jelas para buruh tidak bisa memenuhi kebutuhan papan.

Ini lantaran dengan upah buruh di bawah Rp2 juta hanya memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, itu pun pas-pasan. "Karena itu, selain rumah murah, kami juga menuntut upah minumun sektoral (UMS)," paparnya.

Menurut Kirnadi, alasan lain tuntutan adanya UMS ini, karena di DIY ada beberapa sektor pekerjaan yang mestinya tidak dipukul rata dengan upah minumun kabupaten kota (UMK) maupun upah minimun propinsi (UMP).

Sebab sektor-sektor itu memang dari produktivitas dan penghasilan berbeda dengan UMK. Sehingga dengan fakta-fakta tersebut, UMS lebih besar antara 5-10% dibandingkan dengan UMK.

"Secara umum di DIY ini ada lima sektor yang bisa masuk UMS, yaitu sektor sandang, kulit, hotel dan restoran, rokok dan manufaktor. Hanya saja, pembuat kebijakan dalam hal ini Pemda DIY belum ada niatan untuk menerapkan UMS ini. Untuk itu, terus akan memperjuangkan adanya regulasi UMS dan perumahan murah bagi buruh," tandasnya.

Perwakilan DPC KSPSI Bantul Patra Jatmika adanya upah yang rendah di DIY juga berkorelasi dengan tingkat ketimpagan antara warga kaya dan miskin. Dimana angka rasio gininya 0,432, indek ini paling tinggi di Indonesia, termasuk untuk warga miskin mencapai 13,02% dari jumlah penduduk DIY 48 ribu jiwa.

Tingkat kemiskinan ini juga cukup tinggi dibandingkan dengan prosentase pendudukan miskin nasional 10.96%. "Ini menunjukkan pemda DIY telah gagal dalam mewujudkan hak konstitusional dan hak buruh di DIY, yaitu mendapatkan pekerjaaan dan penghidupan yang layak," katanya.

Untuk itu, selain menuntut adanya UMS dan perumahan murah, juga meminta agar ada sultan ground dan paku alaman ground (SG dan PAG) yang dapat dikelola oleh para buruh, sebagai tambahan pendapatan mereka.

Dengan begitu, tentunya mendorong peningkatan kesejahteraan warga DIY. Sehingga terus akan mengingatkan kepada pemda DIY agar dalam membuat kebijakan selalu berpihak kepada masyarakat bukan sebaliknya.

"Hasil survei layak hidup di DIY pada tahun 2017, harusnya upah buruh di atas Rp2 juta. Dimana untuk Sleman dan Yogyakarta Rp2,9 juta, Bantul Rp2,7 juta, Kulonprogo Rp2,5 juta dan Gunungkidul Rp2,3 juta. Tetapi kenyataannya dengan alasan pengusaha tidak sanggup untuk memenuhi tuntutan itu, rata-rata upah di DIY di bawah Rp2 juta," pungkasnya.

May Day di DIY sendiri,selain akan diisi dengan orasi dan tuntutan peningkatan kesejahteraan, juga dengan aksi sosial, yaitu dengan menyelenggarakan donor darah di kantor pekerja masing-masing.

Untuk aksi sendiri nantinya akan diikuti 700 massa, dimulai dari pawai dari perempatan tugu menuju Abubakar Ali dilanjutkan dengan long march menuju pagelaran kraton, Yogyakarta. Namun sebelumnya di titik nol akan ada aksi orasi dan menyampaian tuntuntan dari para peserta, termasuk ada aksi teatrikal.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6441 seconds (0.1#10.140)