Jalan Raya Pos: Saksi Kekejaman dan Pembatasan Atas Nama Pembangunan

Senin, 15 Januari 2018 - 05:00 WIB
Jalan Raya Pos: Saksi Kekejaman dan Pembatasan Atas Nama Pembangunan
Jalan Raya Pos: Saksi Kekejaman dan Pembatasan Atas Nama Pembangunan
A A A
JALAN Raya Pos atau De Grote Postweg yang pembangunannya diprakarsasi Maarschalk dan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, pada masanya dikenal sebagai pembangunan modernisasi di tanah Jawa. Namun, jalan sepanjang sekitar 1.000 kilometer yang terbentang dari Anyer sampai Panarukan, juga menjadi saksi bahwa pembangunannya penuh kekejaman dan penggunaannya dibatasi untuk kepentingan pemerintah kolonial.

Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels menyebutkan, “Untuk jamannya, ‘membangun’ jalan raya sepanjang itu dalam setahun saja (1808) sungguh prestasi besar, karena itu juga namanya (Maarschalk dan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels) mendunia.”

Gagasan pembangunan jalan tersebut muncul tak lama setelah Daendels mendarat di Anyer pada 5 Januari 1808. Ketika naik kereta kuda dari Anyer ke Batavia selama 4 hari, menurutnya terlalu lama. Setelah dilakukan pengerasan jalan dan diperlebar menjadi 7 meter, jarak antara Anyer-Batavia hanya ditempuh selama 1 hari.

Idenya semakin kuat saat dia melihat kondisi infrastruktur jalan yang buruk saat perjalanan dari Bogor (Buitenzorg) ke Semarang dan Jawa Timur (Oosthoek) pada 29 April 1808. Baginya perjalanan Bogor-Semarang selama 10 hari juga terlalu lama, sehingga pada 5 Mei 1808 dia memutuskan melanjutkan pembangunan jalan Bogor-Karangsembung (Cirebon) sepanjang 250 Km.

Bahkan dia menginginkan pembangunan jalan ini sampai ke wilayah Jawa Timur, seperti Surabaya-Pasuruan-Panarukan. Memang untuk pembangunan jalan Bogor-Karangsembung sepanjang 250 Km, Daendels mengajukan anggaran kepada pemerintah Belanda untuk perbaikan sistem jalan di Jawa. Namun, untuk pembangunan jalan selanjutnya ke wilayah Jawa Timur sekitar 850 Km, dia meminta pejabat lokal mengerahkan pekerja rodi.

Memang pemerintah Belanda mengeluarkan anggaran 30.000 ringgit perak untuk perbaikan jalan Bogor-Karangsembung. Tapi, bandingankan berapa besar anggaran tersebut dengan gaji Dewan Presiden Hindia Belanda yang mencapai 25.000 ringgit per tahun.

Pemberian upah berdasarkan pada beratnya medan yang dikerjakan. Rinciannya, rute Cisarua-Cianjur yang berat, pekerja dibayar 10 ringgit perak per bulan per orang. Sedangkan rute Bandung-Parakanmuncang yang lebih landai para pekerja dibayar 1 ringgit perak per bulan per orang. Selain upah, para pekerja juga mendapatkan beras dan garam.

Daendels telah memerintahkan pembangunan jalan dari Ujung Barat (Anyer) sampai Ujung Timur (Panarukan) yang jaraknya mencapai 600 paal (1 pal = 1,5 km) atau hampir 1.000 kilometer. Direncanakan jalan ini mencapai lebar dua roed (1 roed = 3,767 m2) atau jika medan memungkinkan lebarnya 7,5 meter.

Setiap 400 roed (1 roed = 14,19 meter) harus dibuat satu tonggak (paal). Sedangkan Pramoedya dalam bukunya menyebutkan setiap jarak 150,960 meter harus didirikan tonggak untuk jadi tanda jarak dan juga tanda kewajiban bagi distrik (kawedanaan) dan penduduknya untuk memeliharan jalan tersebut.

Di luar rute Bogor-Parakanmuncang, Daendels yang dikenal bertangan besi, merealisasikan pembangunan dengan mewajibkan penguasa lokal mengerahkan rakyat untuk kerja rodi. Mereka ditargetkan membuat jalan sekian kilometer, jika gagal termasuk para pekerjanya, dibunuh. Kepala mereka digantung di pucuk-pucuk pepohonan di kiri-kanan ruas jalan.

Sebuah dokumen dari Gubernur Jenderal Inggris Sir Thomas Stamford Raffles pada 1811 menyebutkan jumlah korban akibat pembangunan itu adalah 12.000 orang. Itu yang tercatat, diyakini jumlah korban lebih dari itu. Sebab, tak pernah ada komisi resmi yang menyelidiki.

Ruas Megamendung (Puncak) yang paling sedikit memakan korban terhitung sekitar 500 pekerja tewas. Sedangkan ruas Sumedang adalah yang paling banyak memakan korban terhitung 5.000 pekerja tewas. Di Grobogan diperkirakan ada sekitar 3.000 sampai 5.000 pekerja tewas.

Akhirnya dalam waktu setahun, pada 1809 jalan sepanjang 1.000 Km yang menghubungkan Anyer-Panarukan terwujud. Suatu prestasi yang luar biasa pada zamannya yang meambungkan nama Daendels dan Jalan Raya Pos di dunia, karena disetarakan dengan jalan yang menghubungkan Amsterdam-Paris.

Pembangunan ini bisa cepat karena Daendels tidak sepenuhnya membangun jalan baru. Sebab, beberapa ruas jalan sudah ada, seperti Anyer-Batavia dan Lasem-Gresik. Daendels hanya melakukan pengerasan dan pelebaran jalan saja.

Setelah dibangun Jalan Raya Pos, perjalanan dari Batavia ke Semarang hanya perlu waktu 3-4 hari. Perjalanan darat dari Anyer ke Batavia yang sebelumnya diperlukan waktu 4 hari, cukup hanya 1 hari saja. Dari Batavia ke Surabaya, yang biasanya memakan waktu 40 hari, menjadi 6 hari saja.

Namun, yang menyedihkan, jalan yang dibangun dengan kucuran keringat serta pengorbanan ribuan nyawa itu, tidak serta merta memberi manfaat untuk rakyat. Ternyata, selama 40 tahun hanya kereta pos milik pemerintah kolonial Belanda dan kereta milik pribadi (orang Belanda) dan segelintir elite pribumi yang boleh melewati jalan tersebut.

Sedangkan gerobak atau cikar milik rakyat tidak boleh melewatinya, karena dikhawatirkan akan merusak jalan. Mereka harus tetap melewati jalan-jalan yang kondisinya buruk untuk bepergian atau lewat jalan buruk yang dibangun sekedarnya di sisi Jalan Raya Pos. Baru pada 1853 terjadi perubahan, Jalan Raya Pos dibuka untuk semua jenis kendaraan termasuk pedati milik rakyat pribumi.

Sekarang, setelah 217 tahun, Jalan Raya Pos masih terawat baik dan menjadi jalur utama di beberapa wilayah. Pesan yang tertanam pun masih kuat, bahwa pembangunan jangan sampai mengorbankan rakyat kecil dan manfaatnya bukan hanya untuk segelintir lapisan.

Diolah dari berbagai sumber:
Wikipedia, Historia.id, dan Buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7803 seconds (0.1#10.140)