Tabuhan Gamelan Kiai Guntur Madu dan Tradisi Sekaten Keraton Solo

Sabtu, 25 November 2017 - 05:00 WIB
Tabuhan Gamelan Kiai Guntur Madu dan Tradisi Sekaten Keraton Solo
Tabuhan Gamelan Kiai Guntur Madu dan Tradisi Sekaten Keraton Solo
A A A
Tradisi Sekaten atau Grebeg Maulid yang digelar Keraton Kasunanan Surakarta resmi dimulai, Jumat (24/11/2017). Prosesi yang dilaksanakan dalam rangka menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad, ditandai dengan ditabuhnya gamelan Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari.

Prosesi keluarnya gamelan milik Keraton Kasunanan Surakarta atau Keraton Solo tersebut berlangsung sekitar pukul 09.30 WIB. Dua pasang gamelan dibawa keluar melalui Kori Kamandungan menuju Masjid Agung Solo.

Prosesi Ungeling Gongso (gamelan mulai ditabuh) dilakukan usai Salat Jumat. Namun terlebih dahulu, dibacakan sejarah Sekaten oleh utusan Raja Keraton Solo Paku Buwono (PB) XIII Hangabehi.

"Sekaten sudah ada sejak zaman Demak sampai sekarang," ujar Pengageng Parentah Keraton Kasunanan Surakarta GPH Dipokusumo usai acara di Solo, Jawa Tengah.

Gending Rambu dari gamelan Kiai Guntur Madu yang ditabuh di halaman Masjid Agung Solo, mengawali prosesi Sekaten yang dilanjutkan Gending Rangkung dari gamelan Kiai Guntur Sari.

Jumlah penabuh gamelan masing-masing sebanyak 22 orang, termasuk pemimpinnya atau biasa disebut tindih. Gamelan berhenti ditabuh saat waktu salat. "Khusus malam Jumat, gamelan tidak ditabuh," urainya.

Saat bunyi pertama gamelan Kiai Guntur Madu, para pengunjung yang sudah menanti langsung berebut janur yang dipasang di Bangsal Pradangga, tempat gamelan diletakkan.

Beberapa di antaranya lalu mengunyah daun sirih sembari mendengarkan irama gamelan. Kedua gending yang dimainkan saat Sekaten merupakan baku dan berlangsung sejak zaman Sunan Kalijaga di Kerajaan Demak.

Dalam tradisi ini, ada sejumlah barang identik dengan sekaten. Diantaranya pecut (cambuk) yang dimaknai adalah makin ke atas atau makin dekat dengan Tuhan maka semakin taat. Kemudian telur asin atau bahasa Jawa disebut endog amal dimaknai orang hidup harus rajin beramal.

Kemudian daun dan kapur sirih yang dikunyah agar awet muda. Serta celengan (tempat menyimpan uang dari tanah liat) agar manusia hidup harus semangat menabung.

Dalam ceritanya, Sekaten merupakan tradisi dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad. Prosesi berlangsung H-7 sebelum dan H+7 setelah hari kelahiran Nabi Muhammad. Sekaten berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat Syahadat.

Mengenai keberadaan gamelan yang ditabuh dalam Sekaten, pada zaman Sultan Agung di Kerajaan Mataram adalah Kiai Guntur Sari. Kemudian sebagian gamelan dibawa ke Keraton Yogyakarta ketika ada perjanjian Giyanti.

Setelah itu, Raja Keraton Surakarta Pakoe Boewono IV membuat satu gamelan lagi yang diberi nama Kiai Guntur Madu. Gamelan Kiai Guntur Madu dibunyikan lebih dahulu karena dibuat lebih besar dan tebal.

Kiai Guntur Madu juga disebut gamelan Sekaten Gedhe. Selama tujuh hari ke depan, gamelan Sekaten akan ditabuh secara bergantian. Suranti (57), salah satu warga Boyolali mengaku sengaja datang karena ingin menikmati suasana yang khas dalam Sekaten.

Di antaranya mengunyah sirih sambil mendengarkan suara gamelan. "Saya juga makan makanan yang biasa ada saat Sekaten. Seperti cabuk rambak, dan telur asin," pungkasnya.
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4863 seconds (0.1#10.140)