Menyeruput Kopi Berkeadilan dan Berkedaulatan dari Dampit

Sabtu, 05 Agustus 2017 - 23:25 WIB
Menyeruput Kopi Berkeadilan...
Menyeruput Kopi Berkeadilan dan Berkedaulatan dari Dampit
A A A
MALANG - Asap putih mengepul dari beberapa cangkir bening berisi cairan hitam kecokelatan. Cairan itu adalah campuran bubuk kopi pilihan dan air panas. Aroma harum kopi pun semerbak mengisi seluruh ruangan Kedai Kopi Rembug Pawon.

“Ini adalah bubuk kopi Sridonoretno dari Kecamatan Dampit, Kabupaten Malang. Kopi ini telah diproses sejak dari panen hingga pascapanen secara baik. Buah kopi yang dipetik hanya yang berwarna merah,” ujar pendamping petani kopi dari Aliansi Petani Indonesia (API), Dery Pradana (27), belum lama ini.

Pria bertubuh tambun, lulusan Fakultas Pertanian (FP) Universitas Brawijaya (UB) Malang tersebut, sejak dua tahun terakhir mendampingi petani kopi di wilayah Kecamatan Dampit. Utamanya, di Desa Sri Mulyo, Desa Sukodono, dan Desa Baturetno.

Kelompok petani kopi di tiga desa ini akhirnya bersepakat untuk bersatu mengembangkan kopi sebagai produk unggulan desanya, dengan nama Sridonoretno. Ini singkatan dari nama ketiga desa tersebut. Ada sekitar 125 petani kopi yang tergabung dalam kelompok ini.

Nama Sridonoretno juga dijadikan nama produk kopi yang mereka hasilkan. Dari tiga wilayah desa tersebut, para petani mampu memproduksi sebanyak 500 ton kopi per tahun. Sayangnya, yang sudah mampu diolah dengan konsep pertanian yang baik atau good agriculture practices baru tujuh ton saja.

Selain Dery atau yang akrab disapa Menel ini, pendampingan petani kopi untuk membangun sistem pertanian kopi yang berkeadilan dan berkeadaban ini juga dilakukan sejumlah orang. Mereka adalah Sekretaris Jenderal API, Muhammad Nurudin, bersama Demsi Danial, dan Edi Sasono yang merupakan pegiat sosial serta pengelola Kedai Kopi Rembug Pawon.
Menyeruput Kopi Berkeadilan dan Berkedaulatan dari Dampit

Awal pendampingan petani kopi ini juga tidak disengaja. Menel yang awalnya bekerja di perusahaan swasta sering menikmati kopi di wilayah Dampit. “Dampit memang dikenal sebagai produsen kopi berkualitas sejak masa kolonial Belanda. Tetapi, petani tidak pernah bisa menikmati hasil pertanian kopi,” tuturnya.

Para petani tidak memiliki daya tawar untuk mematok harga kopi hasil panennya sendiri. Harga kopi ditentukan oleh para pedagang besar. Akibatnya, petani kopi di daerah yang termasyhur oleh kualitas kopinya ini tetap saja berada di garis kemiskinan.

Keprihatinan keempatnya membawa mereka masuk ke Dampit dan menyelami persoalan yang dihadapi para petani kopi. Kopi Dampit selama ini selalu dikalahkan dengan kopi Aceh, kopi Lampung, dan bahkan dengan kopi Ijen. Padahal, kualitas kopi Dampit sebelumnya telah diakui dunia internasional.

Setelah menyelami kehidupan para petani kopi di tiga desa tersebut, Menel menemukan ada kelemahan dalam penanganan kopi di tingkat petani. Proses panen dan penanganan pascapanen dilakukan secara sembarangan. Akibatnya, harga jualnya juga sangat rendah.

Melihat kondisi tersebut, akhirnya mereka berupaya membangun kopi yang diproduksi para petani agar memiliki kualitas bagus. Upaya ini tidaklah mudah karena harus menghadapi kebiasaan petani yang sudah turun-temurun. Para petani menilai, tanpa proses yang rumit dan ala kadarnya, kopi produksi mereka masih bisa dijual di pasaran.

Buah kopi tidak pernah dipetik merah. Banyak buah kopi yang masih hijau juga ikut dipetik demi mengejar kuantitas. Hasil panen antara kopi merah dan kopi yang masih hijau dicampur begitu saja. Proses penjemuran buah kopi juga asal-asalan, hanya beralaskan lantai semen.

Dia pun mulai mengajak petani untuk mengubah kebiasaan mengolah kopi secara sembarangan. Semangatnya, apabila kopi diolah dengan baik dan menghasilkan biji yang berkualitas, maka harganya juga akan meningkat. “Selama satu tahun saya tinggal di rumah petani kopi di wilayah Sridonoretno. Tujuannya agar bisa berinteraksi langsung dengan petani setiap hari dan mengajarkan cara benar dalam menangani kopi,” ungkapnya.

Upaya membangun penyadaran ini, salah satunya dilakukan dengan melakukan perbandingan antara biji kopi yang dipetik hijau maupun kuning. Biji kopi yang dipetik merah, setiap kilogram (kg) berisi 505 butir biji kopi sedangkan yang dipetik kuning mencapai 540 butir per kg. Kopi yang dipetik hijau jumlah bijinya lebih banyak, yakni 600 butir per kg.

Dia tanpa lelah berkeliling desa untuk mengajarkan pengolahan kopi yang bagus kepada para petani kopi. Bahkan, dia harus rela minum kopi 6-10 gelas setiap hari di rumah-rumah para petani yang dikunjunginya. “Secara perlahan, akhirnya para petani mampu membedakan kopi berkualitas dan tidak berkualitas. Kesadaran ini terus tumbuh sehingga para petani bersedia melakukan proses pertanian kopi yang berkualitas,” tuturnya.

Upaya membangun kesejahteraan bagi para petani kopi ini tak hanya terhenti di tingkat para petaninya saja. Saat petani sudah diajarkan cara membudidayakan kopi dan penanganan pascapanen berkualitas, tentunya para konsumen dan pelaku usaha kedai kopi juga diajarkan serta ditingkatkan pemahamannya tentang kopi yang berkualitas.
Menyeruput Kopi Berkeadilan dan Berkedaulatan dari Dampit

Peningkatan pemahaman kopi yang berkualitas di tingkat pelaku usaha kedai kopi dan konsumen kopi ini dilakukan dengan membuat sekolah kopi. Sekolah kopi yang telah dimulai sejak Maret 2016 silam tersebut berbasis kepada komunitas jaringan pelaku kedai kopi di Malang Raya dan para konsumen pecinta kopi.

Sekolah kopi yang digelar secara rutin tersebut menjadi media belajar bersama antara petani kopi, organisasi petani, para pelaku usaha kedai kopi, masyarakat umum konsumen kopi, serta para akademisi yang peduli terhadap kopi.

“Kami bercita-cita untuk membangun kopi yang berkeadilan dan beradab. Petani bisa sejahtera dari kopi, pelaku usaha kedai kopi menjual produk yang berkualitas, dan konsumen mendapatkan produk kopi berkualitas dengan harga yang adil,” tutur Demsi Danial.

Sekolah kopi gratis yang digelar secara rutin ini, kini terus berkembang. Pembahasannya tidak sekadar bisnis kopi. Tetapi, mulai membahas pemberdaayaan masyarakat dan konservasi lahan kopi yang tentunya berdampak kepada kelestarian alam.

Sekretaris Jenderal API, Muhammad Nurudin menyatakan, konsep pertanian dan perdagangan kopi yang dikembangkan bersama kelompok petani kopi Sridonoretno ini harus memiliki nilai keadilan dan berkeadaban untuk semua pihak.

Petani diajak berorganisasi sebagai bentuk pemberdayaan. Melalui organisasi tersebut, mereka mampu membangun pembelajaran dan perdagangan bersama. “Kopi sebagai identitas turun-temurun yang sudah mereka miliki dikembangkan secara adil bersama-sama. Sehingga, kualitas dan harga kopi mampu meningkat, yang pada akhirnya membangun kesejahteraan untuk petani sendiri,” ujarnya.

Pengelolaan kopi secara berkeadilan dan beradab ini mampu menjadi model untuk peningkatan kesejahteraan petani di Indonesia. Mereka bisa berkembang dan maju karena mengelola sistem pertaniannya secara bersama-sama, serta menikmati hasilnya bersama-sama.

Petani kopi di Kecamatan Dampit, Sukriyanto mengaku, kini tidak lagi menjemur kopi di lantai atau tanah. Tempat menjemur kopi didesain dengan tinggi 1,5 meter di atas tanah. “Kopi sifatnya mampu menyerap aroma dan zat di sekitarnya. Kalau dijemur sembarangan, pastinya akan mempengaruhi kualitas biji kopi karena terkontaminasi dengan banyak zat yang diserapnya,” ungkapnya.

Bagi para petani, kopi berkualitas bukan hanya dari hasil panen buah kopi yang berkualitas saja. Tetapi, juga proses penanganan pascapanen yang harus berkualitas. Proses pascapanen mulai dari perambangan, fermentasi, hingga penjemuran harus dilakukan secara berkualitas, untuk mendapatkan kopi berkualitas.

Buah kopi yang sudah dipanen harus dirambang di dalam air, tujuannya untuk memilah buah kopi yang berkualitas. Setelah itu buah kopi dikupas. Biji kopi yang sudah terkupas, difermentasi dengan dimasukkan dalam plastik kedap udara selama 36-40 jam. Proses fermentasi bertujuan menoptimalkan kadar glukosa dalam kopi untuk meningkatkan aroma kopi.

Pembelajaran bersama tanpa lelah tersebut mulai membuahkan hasil. Kini, kopi Sridonoretno yang dikelola petani secara bersama-sama, mampu dijual dengan harga Rp30.000 per kg. Sebelumnya, harga kopi hanya mencapai Rp18.000-23.000 per kg.
(mcm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6772 seconds (0.1#10.140)