Sejarah Pesawat RI-003 yang Jatuh di Tanjung Hantu

Sabtu, 07 Januari 2017 - 05:00 WIB
Sejarah Pesawat RI-003 yang Jatuh di Tanjung Hantu
Sejarah Pesawat RI-003 yang Jatuh di Tanjung Hantu
A A A
Pada awal Kemerdekaan RI, TNI AU membutuhkan angkutan udara yang kuat. Desember 1947, Pemerintah RI membeli pesawat Avro Anson milik bangsawan Australia, H Keegan, dengan nomor registrasi VH-BBY.

Soal siapa berperan dalam pembelian pesawat itu memang beragam. Dikutip dari agamkab.go.id, sejarah bermula pada tanggal 27 September 1947 di Kota Bukittinggi, Mohammad Hatta membentuk Panitia Pusat Pengumpul Emas untuk mengumpulkan sumbangan dari rakyat yang nantinya berfungsi membeli sebuah pesawat terbang untuk diterjunkan dalam misi-misi khusus guna menyelamatkan Republik Indonesia dari serangan Belanda yang terkenal sebagai Agresi Militer.

Selang beberapa hari setelah pembentukan panitia tersebut, Hatta mengadakan sebuah apel besar di Lapangan Kantin (lapangan depan Makodim 0304/Agam, sekarang). Selaku Wakil Presiden Republik Indonesia, beliau menyampaikan kepada masyarakat Minang tentang situasi negara saat itu sekaligus mengimbau rakyat mengulurkan tangan membantu perjuangan.

Tanpa pikir panjang, spontan orang-orang di sana terutama amai-amai (ibu-ibu) mendaftarkan diri untuk menyumbangkan semua perhiasan emas dan peraknya, berupa liontin, anting, kalung, gelang, bahkan cincin kawin mereka sumbangkan. Selain itu di tempat-tempat lain, seperti Padang Panjang dan di pinggiran Kota Bukittinggi juga diadakan pengumpulan sumbangan.

Dari hasil sumbangan itu, datanglah sebuah pesawat terbang buatan Inggris tipe Dakota dengan call sign RI-003 dari Lanud Maguwo Yogyakarta menuju Lanud Gadut, Agam. Melihat proses landing tersebut makin menggeloralah semangat perjuangan masyarakat Minangkabau.

Sementara, dikutip dari www.pahlawancenter.com, Iswahyudi yang kala itu menjabat Komandan Pangkalan Udara Gadut, Bukittinggi juga punya peran. Pria kelahiran 15 Juli 1918 itu mengimbau masyarakat setempat untuk mengumpulkan uang guna membeli sebuah pesawat terbang. Imbauan itu disambut baik masyarakat. Meski kondisi ekonomi saat itu cukup sulit, secara bergotong royong masyarakat Bukittinggi mengumpulkan uang dan harta benda mereka.

Dengan dana yang terkumpul ditukar dengan emas seberat 12 kilogram itulah dibeli sebuah pesawat terbang jenis Avro Anson dari seorang dari Keegan.

Sementara, dikutip dari tni-au.mil.id, ada peran Halim Perdanakusuma di balik pembelian pesawat itu. Kala itu, tugas untuk membangun AURI di Sumatera dipercaya kepada Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma. Beliau sangat erat berhubungan dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Pendapat dan sarannya tentang Angkatan Udara sering diminta oleh Jenderal Soedirman.

Pemerintah menugaskan Halim ke Sumatera dan diangkat sebagai pejabat AURI di Komandemen Tentara Sumatera. Selama melaksankan tugas, Halim berhasil menjalin kerja sama dengan Panglima Tentara di Sumatera dan masyarakat di daerah itu. Bahkan, dia berhasil menghimpun dana mengumpulkan emas dari rakyat untuk kemudian digunakan membeli pesawat.

Salah satu bukti hasil pengumpulan dana adalah dengan berhasil dibelinya sebuah pesawat Avro Anson dengan registrasi VH-BBY. Pesawat itu dibeli dengan harga 12 kg emas murni yang kemudian diberi nomor registrasi RI-003.

Pesawat diterbangkan sendiri oleh pemiliknya dari Songkhla, Siam Selatan langsung ke Bukittinggi setelah ada 'clearance' dari perwakilan AURI di Singapura. Dengan demikian pesawat itu menjadi milik AU, dan nomor registrasi diganti menjadi RI-003.

Setelah pesawat tiba di Bukittinggi, Iswahyudi mengadakan percobaan terbang dan berhasil dengan baik. Sesudah itu, bersama dengan Halim Perdanakusuma ia berangkat ke Bangkok untuk mengantarkan kembali Keegan. Hal ini sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Selain mengantarkan Keegan, mereka mendapat tugas pula untuk mengadakan kontak dengan pedagang-pedagang Singapura dalam rangka membeli senjata yang akan dibawa ke Tanah Air lewat Singapura.

Pada 14 Desember 1947, sesudah menyelesaikan tugas di Bangkok, RI-003 kembali berangkat menuju Singapura. Dalam perjalanan kembali inilah tiba-tiba di daerah Perak-Malaysia pesawat tersebut terjebak dalam cuaca buruk.

Pesawat jatuh di Pantai Tanjung Hantu, Perak-Malaysia. Laporan pertama tentang kecelakaan diterima oleh polisi Lumut dari dua orang warga China penebang kayu bernama Wong Fatt dan Wong Kwang pada sekitar pukul 16.30 tanggal 14 Desember 1947.

Seorang petugas kepolisian berbangsa Inggris bernama Burras segera pergi ke tempat musibah. Baru pada pukul 18.00 ia tiba dilokasi kejadian. Namun, dia tidak menemukan sesuatu, karena air sedang pasang naik.

Baru pada keesokan harinya Kepala Polisi Lumut bernama Che Wan dan seorang anggota Polisi Inggris bernama Samson berangkat ke tempat kecelakaan dan tiba di tempat pukul 09.00. Kepadanya kemudian dilaporkan tentang ditemukan sesosok jenazah yang mengapung beberapa ratus yards dari lokasi reruntuhan pesawat, yang oleh para nelayan setempat dibawa ke darat.

Ditemukan juga barang-barang lain di antaranya sebuah dompet, buku harian pesawat, kartu-kartu nama, sarung pistol yang tidak ada pistolnya, sarung pisau dengan nama Keegan di atasnya, dan beberapa potong pakaian.

Dari bukti-bukti yang ditemukan itu diambil kesimpulan bahwa pesawat terbang yang mengalami kecelakaan itu adalah pesawat milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).

Disimpulkan pula bahwa kecelakaan terjadi bukan karena kerusakan mesin, tetapi karena cuaca yang sangat buruk. Berita mengenai kecelakaan pesawat segera tersebar luas. Tokon-tokoh masyarakat Malaysia yang bersimpati terhadap perjuangan Indonesia menaruh perhatian yang besar terhadap peristiwa tersebut.

Di Lumut, dibentuk panitia pemakaman untuk menguburkan Halim Perdanakusuma. Namun, mayat Iswahyudi tidak pernah ditemukan hingga saat ini walaupun pencarian dilakukan secara intensif.

Sumber: http://agamkab.go.id/, www.pahlawancenter.com, dan tni-au.mil.id
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3403 seconds (0.1#10.140)