Panjat Crane Tolak Batu Bara, 12 Aktivis Lingkungan Diamankan
A
A
A
CIREBON - Sedikitnya 12 aktivis lingkungan diamankan aparat kepolisian kala menaiki crane pelabuhan batu bara di area PLTU Cirebon, Minggu (15/5/2016).
Mereka saat itu diketahui tengah melakukan aksi damai di lokasi seraya membentangkan spanduk besar bertuliskan 'Quit Coal'. Aksi itu dilakukan untuk menghentikan aktivitas bongkar muat batu bara di PLTU Cirebon.
Para aktivis tersebut merupakan koalisi break free yang terdiri dari Greenpeace, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Jaringan Tambang (JATAM).
Selain menuntut penghentian bongkar muat batu bara, mereka juga menyoroti rencana ekspansi PLTU Cirebon yang dianggap berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan sosial, khususnya kesehatan masyarakat.
Spanduk besar bertuliskan 'Quit Coal' sendiri dimaksudkan untuk mengingatkan pemerintah agar secepatnya mengalihkan batu bara sebagai sumber energi demi kesehatan lingkungan dan keselamatan warga negara.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Arif Fiyanto mengungkapkan, setiap pembangkit listrik tenaga batu bara baru berarti berisiko bagi kesehatan tinggi masyarakat.
"Resiko kematian akibat penggunaan batu bara terjadi lebih cepat dibanding penyakit seperti stroke, serangan jantung, kanker paru-paru, penyakit jantung, dan pernapasan lainnya. Anak-anak terutama terancam kesehatannya dan hal itu berarti ancaman bagi generasi bangsa ini," paparnya di tengah aksi.
PLTU Cirebon merupakan salah satu dari sekian banyak PLTU yang akan memiliki rencana penambahan unit atau kapasitas di bawah proyek 35000 MW. Namun, rencana ekspansi mendapat perlawanan dari masyarakat sekitar.
PLTU Unit pertama sendiri telah beroperasi sejak Juli 2012. Sebuah insiden mengejutkan sempat meresahkan masyarakat ketika ledakan terdengar dari dalam PLTU pada September 2014.
"Pemerintah Indonesia saat ini sedang mengembangkan proyek 35000 MW listrik. Organisasi lingkungan menyoroti proyek ini karena lebih dari 60% sumber energi yang digunakan akan berasal dari batu bara, sementara porsi sumber energi terbarukan hanya 20%," tambahnya.
Sementara itu, Koordinator JATAM, Hendrik Siregar menyebutkan, pembakaran batu bara PLTU Cirebon akan berkontribusi cepat terhadap kondisi iklim, khususnya di pulau Jawa yang listriknya banyak dipasok PLTU.
Menurutnya, PLTU Cirebon telah mengabaikan suara, hak, dan keselamatan rakyat.
"Aksi ini bentuk keseriusan menuntut tanggungjawab negara untuk segera berhenti memproduksi pembangunan yang berisiko tinggi, baik bagi lingkungan hidup, keselamatan, dan ruang hidup rakyat," ujarnya.
Kapolres Cirebon, AKBP Sugeng Hariyanto menjelaskan, ke-12 aktivis lingkungan itu diamankan karena menolak turun dari crane.
Pihaknya terpaksa mengevakuasi paksa mereka, namun meyakinkan seluruhnya selamat. "Kami evakuasi dengan selamat. Semuanya akan kami data dan diperiksa," jelasnya.
Mereka saat itu diketahui tengah melakukan aksi damai di lokasi seraya membentangkan spanduk besar bertuliskan 'Quit Coal'. Aksi itu dilakukan untuk menghentikan aktivitas bongkar muat batu bara di PLTU Cirebon.
Para aktivis tersebut merupakan koalisi break free yang terdiri dari Greenpeace, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan Jaringan Tambang (JATAM).
Selain menuntut penghentian bongkar muat batu bara, mereka juga menyoroti rencana ekspansi PLTU Cirebon yang dianggap berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup dan sosial, khususnya kesehatan masyarakat.
Spanduk besar bertuliskan 'Quit Coal' sendiri dimaksudkan untuk mengingatkan pemerintah agar secepatnya mengalihkan batu bara sebagai sumber energi demi kesehatan lingkungan dan keselamatan warga negara.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Arif Fiyanto mengungkapkan, setiap pembangkit listrik tenaga batu bara baru berarti berisiko bagi kesehatan tinggi masyarakat.
"Resiko kematian akibat penggunaan batu bara terjadi lebih cepat dibanding penyakit seperti stroke, serangan jantung, kanker paru-paru, penyakit jantung, dan pernapasan lainnya. Anak-anak terutama terancam kesehatannya dan hal itu berarti ancaman bagi generasi bangsa ini," paparnya di tengah aksi.
PLTU Cirebon merupakan salah satu dari sekian banyak PLTU yang akan memiliki rencana penambahan unit atau kapasitas di bawah proyek 35000 MW. Namun, rencana ekspansi mendapat perlawanan dari masyarakat sekitar.
PLTU Unit pertama sendiri telah beroperasi sejak Juli 2012. Sebuah insiden mengejutkan sempat meresahkan masyarakat ketika ledakan terdengar dari dalam PLTU pada September 2014.
"Pemerintah Indonesia saat ini sedang mengembangkan proyek 35000 MW listrik. Organisasi lingkungan menyoroti proyek ini karena lebih dari 60% sumber energi yang digunakan akan berasal dari batu bara, sementara porsi sumber energi terbarukan hanya 20%," tambahnya.
Sementara itu, Koordinator JATAM, Hendrik Siregar menyebutkan, pembakaran batu bara PLTU Cirebon akan berkontribusi cepat terhadap kondisi iklim, khususnya di pulau Jawa yang listriknya banyak dipasok PLTU.
Menurutnya, PLTU Cirebon telah mengabaikan suara, hak, dan keselamatan rakyat.
"Aksi ini bentuk keseriusan menuntut tanggungjawab negara untuk segera berhenti memproduksi pembangunan yang berisiko tinggi, baik bagi lingkungan hidup, keselamatan, dan ruang hidup rakyat," ujarnya.
Kapolres Cirebon, AKBP Sugeng Hariyanto menjelaskan, ke-12 aktivis lingkungan itu diamankan karena menolak turun dari crane.
Pihaknya terpaksa mengevakuasi paksa mereka, namun meyakinkan seluruhnya selamat. "Kami evakuasi dengan selamat. Semuanya akan kami data dan diperiksa," jelasnya.
(nag)