Penyuka Sesama Jenis Ingin Diterima Masyarakat
A
A
A
BANDUNG - Sebagian public menganggap kaum lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) memiliki kehidupan yang tertutup. Mereka bahkan jarang bergaul dengan orang lain dan terkesan kurang ramah.
Tapi bagaimana sebenarnya kehidupan seseorang yang masuk dalam kategori LGBT? Benarkah mereka tertutup dan kurang ramah pada orang lain? "Pada dasarnya LGBT itu ramah," ujar gay asal Bandung, Alex (nama samaran).
Menurut pria 37 tahun itu, menjadi seorang yang dikategorikan LGBT jelas tidak mudah. Butuh keberanian sangat besar untuk mengakui secara terbuka soal orientasi seksualnya.
Ia sendiri maklum jika LGBT terkesan tertutup dalam kehidupannya. Itu karena kondisi yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk terbuka. Sebab mereka akan berhadapan dengan norma dan agama yang ada di masyarakat.
"Tapi saat mereka diterima oleh masyarakat, mereka akan sangat senang. Itu yang bikin kita welcome," ungkapnya.
Alex sendiri memilih terbuka soal orientasi seksualnya. Ia tak ragu mengaku sebagai gay jika ada yang bertanya. Tapi jika tidak ada yang bertanya, ia akan menutup orientasi seksualnya.
Sejak terbuka sebagai seorang gay dalam kurun dua tahun terakhir, ia merasa tidak mendapat perlakuan berbeda. Keluarga, teman, serta orang-orang di sekitarnya tidak berubah. Mereka tetap menerima Alex dengan baik dan tidak mendiskriminasi.
Disinggung soal adanya pandangan yang menilai LGBT sebagai penyakit menular, ia tidak sependapat. Sebab hal itu dikembalikan pada diri sendiri. Keputusan menjadi LGBT atau tidak adalah hak setiap individu.
Ia sendiri mengaku tidak ingin mengajak orang lain untuk menjadi gay seperti dirinya. Bahkan untuk mencari pasangan, ia memilih memastikan ‘gebetannya’ itu seorang gay atau bukan terlebih dahulu.
"Susah sih kalau ngajak yang orientasi seksualnya berbeda. Mereka belum tentu mau juga," katanya.
Alex pun terbuka untuk berteman dengan siapa saja. Baginya, semakin banyak teman, maka kehidupan akan lebih menyenangkan. Ia tidak mau kehidupannya terbatas hanya di kalangan gay saja.
"Tapi kalau teman-teman gabung dengan LGBT, itu bukan berarti kita melakukan sosialisasi (mengajak agar menjadi LGBT). Itu persepsi yang salah," pungkasnya.
Tapi bagaimana sebenarnya kehidupan seseorang yang masuk dalam kategori LGBT? Benarkah mereka tertutup dan kurang ramah pada orang lain? "Pada dasarnya LGBT itu ramah," ujar gay asal Bandung, Alex (nama samaran).
Menurut pria 37 tahun itu, menjadi seorang yang dikategorikan LGBT jelas tidak mudah. Butuh keberanian sangat besar untuk mengakui secara terbuka soal orientasi seksualnya.
Ia sendiri maklum jika LGBT terkesan tertutup dalam kehidupannya. Itu karena kondisi yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk terbuka. Sebab mereka akan berhadapan dengan norma dan agama yang ada di masyarakat.
"Tapi saat mereka diterima oleh masyarakat, mereka akan sangat senang. Itu yang bikin kita welcome," ungkapnya.
Alex sendiri memilih terbuka soal orientasi seksualnya. Ia tak ragu mengaku sebagai gay jika ada yang bertanya. Tapi jika tidak ada yang bertanya, ia akan menutup orientasi seksualnya.
Sejak terbuka sebagai seorang gay dalam kurun dua tahun terakhir, ia merasa tidak mendapat perlakuan berbeda. Keluarga, teman, serta orang-orang di sekitarnya tidak berubah. Mereka tetap menerima Alex dengan baik dan tidak mendiskriminasi.
Disinggung soal adanya pandangan yang menilai LGBT sebagai penyakit menular, ia tidak sependapat. Sebab hal itu dikembalikan pada diri sendiri. Keputusan menjadi LGBT atau tidak adalah hak setiap individu.
Ia sendiri mengaku tidak ingin mengajak orang lain untuk menjadi gay seperti dirinya. Bahkan untuk mencari pasangan, ia memilih memastikan ‘gebetannya’ itu seorang gay atau bukan terlebih dahulu.
"Susah sih kalau ngajak yang orientasi seksualnya berbeda. Mereka belum tentu mau juga," katanya.
Alex pun terbuka untuk berteman dengan siapa saja. Baginya, semakin banyak teman, maka kehidupan akan lebih menyenangkan. Ia tidak mau kehidupannya terbatas hanya di kalangan gay saja.
"Tapi kalau teman-teman gabung dengan LGBT, itu bukan berarti kita melakukan sosialisasi (mengajak agar menjadi LGBT). Itu persepsi yang salah," pungkasnya.
(nag)