Eks Gafatar Kembali ke Daerah Asal dengan Sejuta Persoalan

Selasa, 26 Januari 2016 - 10:01 WIB
Eks Gafatar Kembali...
Eks Gafatar Kembali ke Daerah Asal dengan Sejuta Persoalan
A A A
SEMARANG - Ratusan orang yang terusir dari Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat karena tempat tinggal mereka dibakar, akhirnya merapat di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Senin (25/1/2016) pagi. Mereka adalah orang-orang yang awalnya bergabung dengan organisasi masyarakat (ormas) Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).

Mereka diangkut menggunakan KRI Tanjung Gili Manuk 531, menempuh perjalanan laut sekira 40 jam. Rata-rata, sesampainya berlabuh di Tanah Jawa, asal kelahirannya, mereka bingung. Sebab, beberapa harta benda sudah terkuras, diuangkan untuk biaya perjalanan dan tinggal di Kalimantan. Ya, mereka ini pulang ke tanah asal, namun dengan sejuta persoalan. Mereka bingung bagaimana melanjutkan hidup.

Lustari (28), warga Kabupaten Banyumas, mengaku berangkat bersama anak istrinya ke Mempawah, Kalimantan Barat,sekira dua bulan lalu.

"Saya ke sana karena ditawari orang Jakarta ketemu di Banyumas. Saya ditawari garap lahan di Mempawah. Katanya, lahan disewakan, kalau sudah punya uang bisa dibeli," katanya di Terminal Penumpang Pelabuhan Tanjung Emas Semarang sesaat turun dari kapal.

Harapan memperbaiki nasib membuatnya nekat menjual motor dan rumah di Banyumas. Uangnya, ia pergunakan untuk berangkat dan tinggal di Mempawah itu.

"Berangkatnya modal sendiri, tidak diganti. Saya tidak tahu soal itu (Gafatar). Berangkatnya dulu bareng-bareng, kelompok tani. Sebetulnya, orang Mempawah baik-baik, kami tidak tahu yang menyerang (membakar) itu siapa," lanjutnya.

Nanang Kosim, warga Desa Kagungan, Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo, bernasib tak jauh beda dengan Lustari. Nanang, tiba di Tanjung Emas Semarang beserta Astari, istrinya dan anaknya yang baru berumur 3,5 tahun.

"Kami ke Mempawah murni bertani. Karena tanah lebih luas, kalau di Wonosobo (lahan) sudah ditanami pohon-pohon tinggi," kata Nanang Kosim.

Mereka berangkat dari Wonosobo sekira tiga bulan lalu. Mereka hanya tahu ada kelompok tani yang akan berangkat, sehingga bergabung.

"Di sana, kami tanam padi dan sayur-sayuran. Sebetulnya ini sudah mulai panen. Tapi gara-gara ini (dibakar diusir), tidak jadi. Rumah kami dibakar. Sebetulnya orang Mempawah baik-baik, tapi ada segelintir orang saja (yang tidak suka)," bebernya.

Dia tak mau disebut sebagai anggota Gafatar, karena memang dari awal tidak mengetahuinya. "Kami kelompok tani. Di sana, memang diajari bagaimana cara menanam. Dulu kami berangkat 10 sampai 15 orang, izin sama keluarga, modal sendiri," lanjut Nanang Kosim.

Galih (27), warga Yogyakarta, pergi ke Mempawah bersama istri dan dua anaknya. Satu anaknya masih balita, satu sudah kelas 2 SD, pindahan dari Yogyakarta. Dahulu, Galih bekerja serabutan.

"Desember awal kami ke Mempawah. Berangkatnya juga dari sini (Tanjung Emas Semarang). Aktivitas di sana, bertani. Kami berangkat bareng-bareng kelompok tani, ditawari menggarap lahan, janjinya kalau sudah tiga tahun bisa dimiliki," katanya.

Surahman (38), asal Sedayu, Bantul, DIY, mengaku tertarik pindah ke Mempawah karena dijanjikan lahan untuk bertani. Ia kemudian mengajak istrinya, Kesi, dan anaknya yang masih bayi. Surahman dan Kesi mengaku dahulu bekerja serabutan, lulusan SMA.

"Di sana bertani. Ada pengajian, salat juga. Musala juga ada (sedang dibangun). Sekarang permukiman kami dibakar, tidak tahu mau tinggal di mana lagi," kata Surahman.

Kesi mengaku dari awal memang sudah tahu soal Gafatar. "Tapi kalau itu (sesat) saya tidak tahu, soalnya di sana tidak ada TV. Saya tahu Gafatar terakhir tahun 2014 tidak lagi (ada izin)," ungkap Kesi bercerita sembari menyusui anaknya.

Persoalan ekonomi menarik orang-orang ini pindah juga diceritakan Budi (35). Ia mengajak istri dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil untuk pindah. Sebelum ke Mempawah, mereka tinggal di kontrakan di Sleman, DIY.

"Dulu saya bisnis online, ternak anjing ras untuk dijual. Tapi karena bisnis sedang lesu, saya akhirnya ikut (ke Kalimantan). Saya tahunya menggarap lahan, yang setahu saya dibeli teman-teman saya," kata Budi yang mengaku asli Batak ini.

Di Mempawah, Budi memang menggarap lahan, ditanami sayur-sayuran. "Modal sendiri, saya berangkat akhir Desember, dari sini juga pakai kapal (Tanjung Emas). Saya tahu soal Gafatar, tapi tahunya ya organisasi sosial yang izinnya di pusat ada," bebernya.

Disinggung soal aktivitas keagamaan di sana, Budi mengaku tak ada yang ganjil. "Salat ada, di sana juga lagi bangun musala. Cuma gereja memang tidak ada, mungkin karena sedikit (penganut nasrani). Sekarang saya bingung mau pulang ke mana, dulunya saya kontrak. Kalau ada 300 ribu-500 ribu sih saya mau ngekos dulu," ucap Budi.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, berdasar pendalamannya, rata-rata eks Gafatar itu tidak mau terbuka soal aktivitas keagamaannya.

"Saya melihatnya seperti itu. Rata-rata pergi cari kehidupan baru, di sinilah sebenarnya (nantinya bisa) untuk dipengaruhi," kata Ganjar saat menemui ratusan orang eks Gafatar itu.

Saat ini, kata Ganjar, pihaknya akan melakukan assessment kepada ratusan orang itu. "Sekaligus mengumumkan jika ada familinya yang merasa anggota keluarganya ada yang hilang, untuk bisa dijemput."
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0806 seconds (0.1#10.140)