Cikal Bakal Terbentuknya Kodam I/Bukit Barisan

Selasa, 08 Desember 2015 - 05:06 WIB
Cikal Bakal Terbentuknya Kodam I/Bukit Barisan
Cikal Bakal Terbentuknya Kodam I/Bukit Barisan
A A A
MEDAN - Terbentuknya ketentaraan (militer) di Sumatera Timur, tidak bisa dilepaskan dari era Jepang di Medan. Sebagaimana diketahui, Jepang mendarat di Pantai Prupuk, Tanjung Tiram, 12 Maret 1942.

Kehadiran Jepang ini, menggantikan kolonialisme Belanda di Sumatera Utara. Untuk memperkuat basis militer Jepang di negara-negara koloninya, maka diselenggarakan pendidikan militer bagi pemuda pribumi di Sumatera Utara.

Pendidikan militer ini terutama bertujuan untuk menyiapkan militer cadangan dalam menghadapi perang yang akan dilakoni oleh Jepang.

Dalam waktu kurang dari dua tahun, Jepang telah melatih, mendidik dan menempa pemuda terjajah dalam barisan-barisan pertahanan yang memiliki patriotisme, nasionalisme dan kebangsaan yang pro-Jepang.

Pendidikan militer Jepang ini, berhasil menciptakan barisan pertahanan pemuda terjajah yang ulet, tegas, gigih dan berpribadian.

Alumni sejumlah pendidikan militer bentukan Jepang kurun waktu 1943-1944 di Medan yang memiliki nasionalisme dan patriotisme itu, menjadi cikal bakal lahirnya angkatan perang yang terorganisir di Sumatra Utara.

Pada bulan Mei 1943, Jepang membentuk Heiho (prajurit pembantu). Alumni Heiho terutama menjadi cadangan pasukan Jepang melawan serangan Sekutu.

Selanjutnya, pada 20 Juli 1943, Inoue Tetsuro membuka sekolah yang disebut dengan Talapeta (Taman Latihan Pemuda Tani) di Gunung Rintis, Deli Serdang.

Mereka dilatih secara fisik dan mental dan ditetapkan sebagai prajurit Jepang. Model pelatihan Talapeta dipakai untuk pendidikan sekolah pertanian di Nagahuta, Siantar pada 1943.

Kader militer berikutnya ditempa lewat Badan Oentoek Membantoe Pertahanan Asia (BOMPA) yang dibentuk tanggal 28 November 1943.

BOMPA bertujuan untuk membangkitkan dukungan bagi keperluan perang Jepang melalui propaganda. Dengan demikian, sejumlah kader BOMPA dibekali dengan pola-pola propaganda menurut cara militer Jepang.

Kader-kader BOMPA ini telah mewarnai perlawanan untuk mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Utara.
Pada Februari 1944, Jepang membentuk Gyugun (prajurit sukarela) di Pulau Sumatera.

Jika di Pulau Jawa terdapat Pembela Tanah Air (PETA) maka di Sumatera terdapat Gyugun. Keduanya dibentuk oleh sebuah keputusan yang sama tapi berdiri secara terpisah.

Pasukan Gyugun dilatih untuk membantu Jepang menghadapi tentara Sekutu dalam menghadapi Perang Asia Pasifik dan berkeinginan merebut Indonesia. Setiap alumni Gyugun diberi gaji sebesar Rp35 perbulan dan tinggal di asrama.

Untuk mengawal daerah perairan, pada Juni 1944 dibentuk Kaijo Jikeidan (Barisan Pertahanan Pantai). Personelnya ialah pemuda tani dan nelayan di pesisir pantai.

Secara khusus mereka dilatih dan dididik sebagai penjaga pantai untuk mengawasi peredaran kapal-kapal asing terutama Sekutu.

Selanjutnya, pada 20 Maret 1945, dalam suatu upacara rahasia di Medan dibentuk Kenkokutai (Barisan Pengabdi Pembangunan Tanah Air). Barisan ini dibagi menjadi dua kelompok yang disebut dengan Mokutai dan Kenko Tai Sin Tai.

Mokutai dijuluki Pasukan Harimau yang dididik khusus berperang di daerah pegunungan. Mereka ini adalah pasukan penggempur yang dapat mematahkan serangan musuh dalam waktu yang singkat dan kemudian menghilang.

Sedangkan Kenko Tai Sin Tai adalah pasukan yang dikhususkan untuk menjaga pantai. Personilnya berasal dari pemuda tani dan nelayan yang dilatih sebagai spionase perairan terutama di Selat Malaka.

Hingga pada pertengahan tahun 1945, lebih kurang 10.000 kader militer telah dihasilkan Jepang di Sumatera Utara.

Dari tiga kali penerimaan Gyugun tersebut ditetapkan 40 orang calon perwira dan 80 orang calon bintara. Beberapa perwira Gyugun tersebut adalah seperti Achmad Tahir, Hotman Sitompul, R. Sucipto, Nazaruddin, Wiji Alfisah, Zein Hamid, TPR. Sinaga, Wilson Nasution, Mahidin, Sihar Hutauruk, Alwi Nurdin, M. Kasim Nasution, Jamin Gintings, Ricardo Siahaan, Nelang Sembiring, Martinus Krilangga Lubis, Zainuddin Hasibuan maupun Boyke Nainggolan. Mereka ini adalah perwira Gyugun yang ditempatkan di Sumatera Timur.

Sementara di Tapanuli ditempatkan perwira Gyugun seperti Kristian Rajagukguk, Jansen Siahaan, Lucius Aruan, Bongsu Pasaribu, Waldemar Siregar, Hamahe Rambe, Johan Marpaung, Hamonangan Sihombing, Kornelius Rajaguguk, Tahi Manik, Elbiker Situmeang, Jese Simanjuntak, Tambatua Simbolon, Oloan Sarumpaet, Binsar Simangunsong, Bona Parte Siagian, Paima Sibagariang, Togar Muda Dalimunte, S.M Sinurat dan lain-lain.

Singkatnya, kader-kader militer yang dididik, dilatih dan ditempa di era Belanda dan terutama oleh Jepang, menjadi bekal lahirnya ketentaraan di Sumatera Utara.

Karena terbentuknya ketentaraan di Sumatera Timur tidak terlepas dari pertemuan sejumlah alumni Heiho dan Gyugun pada 23 September 1945 di Fuji Dori Medan yang terletak di Jalan Imam Bonjol Medan.

Beberapa referensi menyebutkan, pertemuan itu menjadi bagian penting terbentuknya Kodam I/BB.
Dia menyebutkan, pada saat itu sebanyak 53 orang pemuda kader Heiho dan Gyugun berkumpul untuk membentuk satu kekuatan dalam rangka memuluskan proklamasi di Sumatera Timur yang tersendat akibat ditolak pemerintah swapraja.

“Dalam pertemuan di Hotel Fuji Dori, Ahmad Tahir, pewira Gyugun diangkat sebagai Ketua Barisan Pemuda Indonesia (BPI). Mereka inilah yang berupaya mendorong Moh Hasan (Gubernur Sumatera) dan Moh Amir (Gubernur Muda Sumatera Timur) untuk segera menyiarkan proklamasi di Sumatera Timur,” ujar Erond.

Pertemuan ini berlanjut pada 31 September 1945 di Perguruan Taman Siswa kawasan Amplas. Di sana disepakati bahwa proklamasi dibacakan pada 6 Oktober 1945 di Lapangan Fukuraido atau sekarang disebut Lapangan Merdeka Medan.

“Itu mengapa Lapangan Merdeka sangat kita minta agar dijaga. Nilai historis dalam fase kemerdekaan di Kota Medan sangat penting,” timpalnya.

Ketentaraan di Sumatera Utara, bermulai dengan dibentuknya Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pada 5 Oktober 1945 di Yogyakarta, maka BPI beserta seluruh alumni Heiho dan Gyugun serta seluruh barisan pemuda di Medan, membentuk TKR Sumatera Timur pada 10 Oktober 1945. Pada waktu itu, Ahmad Tahir ditunjuk sebagai ketua.

“Selanjutnya, dibentuk jawatan-jawatan khusus ditubuh TKR seperti Jawatan Penerangan, Jawatan Perlengkapan, Jawatan Persentaraan, Jawatan Kesehatan dan Jawatan Perhubungan. Secara struktur, organisasi ketentaraan di Sumut sudah cukup lengkap,” bebernya.

Pada 5 November 1945, Suharjo Harjowarjoyo (Panglima Komando Komandemen TKR Sumatera) berdasarkan instruksi dari Markas TKR di Yogyakarta, memerintahkan Ahmad Tahir (pimpinan TKR Sumatera Timur) untuk membentuk divisi TKR di Medan.

Pada saat itu juga dibentuk kesatuan tentara di Sumatera Timur yang disebut Divisi-IV TKR Sumatera dengan Ahmad Tahir sebagai Komandan dan R Sujipto sebagai Kepala Staf.

Divisi-IV TKR Sumatera yang berkedudukan di Medan memiliki kekuatan lima batalyon yakni: Batalyon-I berkedudukan di Berastagi dipimpin Kasim Nasution, Batalyon-II berkedudukan di Kabanjahe dipimpin Djamin Gintings, Batalyon-III berkedudukan di Tanjung Morawa dipimpin T Nurdin, Batalyon-IV berkedudukan di Tanjung Balei dipimpin Saleh Karim, dan Batalyon-V berkedudukan di Binjai dipimpin Wiji Alfisah.

Disamping itu terdapat dua batalion khusus yakni batalyon A pengawal khusus yang berkedudukan di Deli Tua dan Batalion B pengawal khusus di Two Rivers.

Ditambahkan Erond, untuk memperkuat kader-kader militer di Sumatera Timur, pada 27 Desember 1945 dilakukan penerimaan kader militer untuk dididik dan dilatih di lokasi Bukit Kubu Berastagi. Peresmian sekolah militer ini dilakukan Ahmad Tahir dan disaksikan Moh Hasan, Gubernur Sumatera.

“Pada saat itu Martinus Krilangga Lubis ditetapkan sebagai Kepala Sekolah Militer ‘Kadet Brastagi’ dengan jumlah 149 siswa calon tentara,” terang Erond.

Pada 25 Januari 1946 nama TKR diubah menjadi Tentara Republik Indonesia. Pada Oktober 1946, Divisi-IV TRI Sumatera diubah menjadi Divisi Gajah-II.

Pada perkembangan selanjutnya, Divisi Gajah-II Sumatera yang berkedudukan di Pematangsiantar diubah namanya menjadi Teritorium Tentara Sumatera Utara (TTSU) dimana AE Kawilarang sebagai komandan.

Selanjutnya, pada Mei 1950, jabatan Ko TTSU diserahkan kepada Maludin Simbolon (alumni Gyugun Pagar Alam).

Sewaktu, Maludin Simbolon sebagai Ko TTSU, Divisi Banteng (Sumatera Barat) dan Divisi Babiri (Riau) digabung ke wilayah TTSU.

Penggabungan itu sekaligus mengubah nama TTSU menjadi Komando Tentara dan Teritorium-I (Ko TT-I).

“Tak lama kemudian, sesuai topografi Sumatera yang berbukit-bukit, Maludin menambahkan nama ‘Bukit Barisan’ dibelakang nama kesatuan tentara tersebut sehingga dikenal menjadi Komando Tentara dan Teritorium-I Bukit Barisan. Sebutan komandan juga diubah menjadi panglima,” terangnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5219 seconds (0.1#10.140)