Nasib Guru Seni Tatah Sungging di Wonogiri (1)
A
A
A
WONOGIRI - Sesuatu yang langka, biasanya lebih mahal harganya. Tetapi, profesi ahli yang jarang ada duanya seperti guru seni tatah sungging di Wonogiri, Jawa Tengah, ternyata tidak terlalu dihargai.
Jumlah guru honorer tatah sungging di seluruh wilayah Wonogiri, hanya dua orang. Honor mereka mengajar ternyata hanya Rp200 ribu per bulan.
Salah satu guru tersebut adalah Siti Nur Khotimah (30) yang mengajar di SMPN 2 Kecamatan Manyaran, Wonogiri. Sebagai seorang guru, Siti punya beban tugas dan tanggung jawab sama seperti profesi guru-guru lainnya, yakni mencerdaskan generasi bangsa.
Ibu dua anak tersebut mengajar materi yang terhitung jarang yakni seni tatah sungging atau membuat wayang. Ijazah pendidikannya pun diperoleh dari perjuangan keras selama lima tahun, di Jurusan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Bedanya hanya terletak pada nasib. Saat guru-guru lain sibuk mengurus berbagai tunjangan kesejahteraan dan sertifikasi, Siti harus puas memainkan pahat agar tidak menggores jari sendiri.
Bagaimana tidak! Profesinya selama lima tahun sebagai guru seni langka yang mampu melahirkan seniman kelas dunia, hanya dipandang sebelah mata. Setiap bulan, honor mengajar Siti hanya Rp200 ribu.
Di zaman sulit seperti sekarang ini, penghasilan Siti dalam sebulan itu praktis habis hanya untuk keperluan makan selama dua hari.
"Kalau mengajar full selama 24 jam, honornya sebulan 270 ribu, Mas," ungkap Siti di sela-sela kesibukannnya menatah wayang di rumahnya.
Beruntung, selain mengajar, seniman wayang ini juga mahir memahat wayang sebagai profesi seni yang diwariskan ayahnya, Dwi Sunaryo. Di sela-sela kesibukan mengurus rumah tangga seusai menjalankan profesinya sebagai guru, Siti juga memahat wayang di rumahnya, di Desa Kepuhsari, Kecamatan Manyaran, Wonogiri. (Bersambung)
Jumlah guru honorer tatah sungging di seluruh wilayah Wonogiri, hanya dua orang. Honor mereka mengajar ternyata hanya Rp200 ribu per bulan.
Salah satu guru tersebut adalah Siti Nur Khotimah (30) yang mengajar di SMPN 2 Kecamatan Manyaran, Wonogiri. Sebagai seorang guru, Siti punya beban tugas dan tanggung jawab sama seperti profesi guru-guru lainnya, yakni mencerdaskan generasi bangsa.
Ibu dua anak tersebut mengajar materi yang terhitung jarang yakni seni tatah sungging atau membuat wayang. Ijazah pendidikannya pun diperoleh dari perjuangan keras selama lima tahun, di Jurusan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Bedanya hanya terletak pada nasib. Saat guru-guru lain sibuk mengurus berbagai tunjangan kesejahteraan dan sertifikasi, Siti harus puas memainkan pahat agar tidak menggores jari sendiri.
Bagaimana tidak! Profesinya selama lima tahun sebagai guru seni langka yang mampu melahirkan seniman kelas dunia, hanya dipandang sebelah mata. Setiap bulan, honor mengajar Siti hanya Rp200 ribu.
Di zaman sulit seperti sekarang ini, penghasilan Siti dalam sebulan itu praktis habis hanya untuk keperluan makan selama dua hari.
"Kalau mengajar full selama 24 jam, honornya sebulan 270 ribu, Mas," ungkap Siti di sela-sela kesibukannnya menatah wayang di rumahnya.
Beruntung, selain mengajar, seniman wayang ini juga mahir memahat wayang sebagai profesi seni yang diwariskan ayahnya, Dwi Sunaryo. Di sela-sela kesibukan mengurus rumah tangga seusai menjalankan profesinya sebagai guru, Siti juga memahat wayang di rumahnya, di Desa Kepuhsari, Kecamatan Manyaran, Wonogiri. (Bersambung)
(zik)