Legenda Meriam Ki Amuk, Jelmaan Prajurit Demak yang Dikutuk

Senin, 08 Juni 2015 - 05:00 WIB
Legenda Meriam Ki Amuk, Jelmaan Prajurit Demak yang Dikutuk
Legenda Meriam Ki Amuk, Jelmaan Prajurit Demak yang Dikutuk
A A A
Kesultanan Banten adalah merupakan salah satu Kerajaan Islam terkuat wilayah Nusantara, selama hampir 3 abad mulai abad ke-15 hingga ke-18.

Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar biasa, padahal diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan menanamkan pengaruhnya.

Begitu kuatnya, sehingga sejarawan Belanda kenamaan HJ De Graff menyatakan pada abad 17, ada dua adidaya yang sangat disegani Belanda di kawasan Jawa waktu itu yakni Mataram dan Banten.

Penilaian De Graff merujuk pada kualitas dan kuantitas pertahanan militer Kesultanan Banten.

Selain dikenal memiliki pasukan infanteri yang terlatih, benteng pertahanan kokoh dan angkatan laut yang kuat, pertahanan militer Banten juga dilengkapi perangkat artileri yang mumpuni pada zamannya.

Salah satunya yang legendaris adalah Meriam Ki Amuk. Selain Ki Amuk terdapat juga Meriam Si Jagur.

Sedemikan hebatnya Meriam Ki Amuk, sehingga banyak warga yang beranggapan bahwa meriam ini mempunyai kekuatan gaib.

Karena kekuatan suara dentumannya bisa membuat ciut hati pasukan musuh yang mendengarnya.

Selain itu ketika meledak dapat membuat musuh kocar-kacir. Hal ini dibuktikan ketika melawan armada laut Portugis maupun Belanda yang akan mendarat di Pantai Banten pada abad ke-15 dan abad ke-18

Konon kedua meriam kembar ini Ki Amuk dan Si Jagur adalah jelmaan dari prajurit Demak yang dikutuk sehingga berubah wujud menjadi meriam.

Dikisahkan, pada saat itu wilayah Pelabuhan Banten dikenal sebagai pelabuhan niaga rempah-rempah yang cukup terkenal sampai ke daratan Eropa sehingga banyak menjadi incaran bangsa asing.

Sehingga wilayah Banten yang saat itu ada di bawah pemerintahan Kerajaan Demak dalam keadaan terancam.

Sultan Demak lalu mengirim pasukannya ke Banten di bawah pimpinan prajurit-prajurit pilihannya.

Di antara prajurit pilihannya itu terdapat tiga bersaudara prajurit yang terjun ke medan laga. Salah satu dari tiga prajurit pilihannya itu adalah seorang wanita.

Dengan gagah berani mereka memimpin anak buahnya menghadang penyerbuan balatentara Portugis yang datang dari arah laut.

Nah, saat menjalankan tugas negara itulah dua kakak beradik lelaki dan perempuan yang ternyata kembar itu melanggar larangan leluhur mereka.

Yakni dengan mandi air laut pada waktu matahari bersinar terik. Akibatnya mereka terkena kutukan dan berubah wujud menjadi sepasang meriam.

Melihat kejadian yang menimpa saudara kembarnya itu, si adik berniat untuk membawa pulang kedua meriam itu ke Demak untuk dipersembahkan pada rajanya.

Untuk memudahkan membawanya, kedua meriam itu lalu dipasangi dua buah gelang oleh seorang pandai besi yang bertempat tinggal di sebuah desa di kaki gunung.

Desa tempat pandai besi yang memberi tambahan gelang pada meriam itu lalu diberi nama Pandaigelang, yang akhirnya menjadi nama Kota Pandegelang.

Sebelum dibawa pulang kedua meriam ini dipakai untuk menggempur musuh yang akan mendarat di Pantai Banten.

Ternyata kedua meriam itu memberi andil yang cukup besar dalam peperangan yang berkecamuk di Pantai Banten tersebut.

Kedua meriam itu nampak seperti mengamuk dengan menimbulkan suara menggelegar memuntahkan peluru ke arah musuh-musuhnya. Akibat jasanya itu, kedua meriam itu lalu diberi nama Ki Amuk dan Si Jagur.

Ki Amuk bisa dilihat di Museum Situs Banten Lama, namun Si Jagur sekarang berada di Museum Fatahillah, Jakarta.

Meriam Ki Amuk atau ada juga yang menyebutnya sebagai Ki Jimat memiliki ukuran diameter mulut luar 0,59 meter, mulut dalam 0,32 meter, dan diamater di ujung maksimal 0,70 meter dengan total panjang 3,45 meter.

Ada juga versi lain mengenai asal mula meriam ini, salah satunya pendapat dari ahli sejarah, yang mengatakan Meriam Ki Amuk merupakan hadiah dari Sultan Trenggono dari Demak kepada Sunan Gunung Jati.

Tapi ada juga yang menyatakan Meriam Ki Amuk merupakan hasil rampasan perang dari Belanda, serta hadiah dari Kompeni Belanda.

Tapi yang jelas, meriam ini sangat membantu Kesultanan Banten saat berperang melawan penjajah pada zamannya.

Jarak tembaknya yang jauh dan suaranya yang menggelegar, menjadikan Meriam Ki Amuk sebagai senjata pamungkas dan andalan yang paling ditakuti sehingga membuat para musuh lari tunggang langgang.

Oleh karena itulah meriam ini disebut dengan Meriam Ki Amuk. Dia selalu mengamuk ditengah-tengah pasukan musuh.

Sebelumnya Ki Amuk diletakan di Pelabuhan Karangantu, akan tetapi karena warga setempat beranggapan meriam ini mempunyai kekuatan gaib.

Sehingga banyak warga menjalankan ritual-ritual seperti melempar koin, atau memeluk moncongnya yang konon kalau pergelangan tangannya bisa bertemu maka orang tersebut akan kaya raya. Hal ini dilakukan warga Banten maupun masyarakat dari luar tanah para jawara ini.

Akibatnya meriam itu kemudian dipindah ke Banten Lama, tepatnya di depan museum. Meski sudah dipindahkan, nyatanya masih banyak orang yang melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi syirik itu.

Sementara itu, mengutip keterangan Hoesein Djajadiningrat dalam kitab Babad Banten Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten, menyebutkan nama-nama meriam atau senapan yang digunakan Pasukan Kesultanan Banten ketika terlibat peperangan dengan musuh-musuhnya.

Di antaranya adalah meriam Ki Amuk, Jaka Tua, Jaka Pekik, Kalantaka, Nilantaka, Kalijaya, Muntab, Urang Ayu dan Pranggi Sela.

Khusus Ki Amuk yang beratnya mencapai 7 ton, menurut Karel Christiaan Crucq dalam De Geschiedenis van het Heilig Kanon te Banten.

Keterangan pertama tentang meriam ini terdapat dalam sebuah peta perencanaan Kota Banten yang dibuat menjelang pertengahan abad ke-17.

Tulisan yang terbaca “meriam besar ‘t Desperant” pada peta yang disimpan di perpustakaan Castello Firenze, Italia ini, menurut Crucq mengacu pada meriam Ki Amuk.

Meriam sepanjang lebih dari 3 meter ini, memiliki hiasan motif Mentari Majapahit pada bagian mulutnya. Selain itu, juga didapati prasasti berhuruf Arab.

Prasasti pertama, medalion pertama, terbaca, Aqibah al-Khairi Salamah al-Imani yang artinya buah dari segala kebaikan adalah kesempurnaan iman.

Sedangkan Prasasti kedua, berbunyi La fata illa Ali la saifa illa Zu al-faqar, isbir ala ahwaliha la mauta yang berarti tiada pemuda kecuali Ali, tiada pedang selain Zulfiqar, hendaklah engkau bertakwa sepanjang masa kecuali mati.

Crucq menyimpulkan, Ki Amuk memang dibuat di Jawa Tengah pada pertengahan abad ke-16 sekitar 1529 Masehi atau tahun 1450 Saka.

Angka tahun itu sama dengan pernikahan Sultan Hasanuddin Banten dengan putri Sultan Trenggana Demak.

Saat itu Sultan Trenggana menghadiahi Sultan Hasanuddin sebuah meriam bernama Ki Jimat lalu berubah nama menjadi Ki Amuk. Wallahualam bissawab.


Sumber :
-ekorisanto.blogspot
-wikipedia
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3928 seconds (0.1#10.140)