Dampak Virus Corona, 1.139 Hotel di Indonesia Tutup Operasional
A
A
A
JAKARTA - Sebanyak 1.139 hotel di seluruh Indonesia telah tutup operasional terkait pandemi Covid-19 atau virus Corona.
"Itu benar datanya. Gara gara virus, orang pada takut beraktivitas, berarti enggak ada tamu yang datang ke hotel. Masalah utamanya di penanganan virus, selama virus enggak diatasi maka dampak ekonomi makin parah," ujar Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi Sukamdani kepada SINDOnews di Jakarta, Sabtu (4/4/2020).
Ia menjelaskan bahwa hotel-hotel ini tutup sementara, karena situasi tidak ada tamu yang datang. Haryadi menepis terkait hotel yang bangkrut akibat penutupan operasional ini.
"Kalau bangkrut enggak, soalnya kalau bangkrut, dia secara keuangan sudah minus lantaran antara kewajiban sama asetnya lebih besar kewajiban utangnya. Aset ada di situ, pinjaman terkelola, yang enggak ada cash flow-nya," jelas Haryadi.
Terkait data yang masuk, Haryadi mengatakan bahwa itu berdasarkan laporan dari Badan Pimpinan Daerah PHRI yang mengumpulkan semua data. Data-data itu diambil dari hotel-hotel yang melapor, yang sudah menyatakan diri untuk tutup operasional.
"Dari data itu yang di-collect sejauh ini paling banyak yang tutup dari Jawa Barat. Bali saja yang belum laporan lengkap, kemungkinan rugi paling banyak," terangnya.
Haryadi mengatakan bahwa pihaknya belum tahu persis kerugian totalnya yang pasti berapa. "Tapi, hitung-hitungan dari turis yang batal saja bisa dilihat dari situ. Sekarang sudah April, dari cancellation turis saja sudah berapa, paling enggak USD2 miliar (kerugian) ada tuh. Belum dihitung domestic travellers, itu besar banget kerugiannya," ungkap Haryadi.
Untuk karyawan, selama penutupan operasional ini, jelas dia, karyawan dianggap cuti di luar tanggungan perusahaan. "Kalau perusahaan punya dana lebih atau cadangan ya mereka dibayar tapi enggak penuh. Kalau habis cash ya enggak dibayar," jelasnya.
Menurut Haryadi, di situasi seperti ini, hotel tidak bisa memaksa untuk buka karena tidak ada income. Menurut dia, ekonomi baru bergerak jika virus corona sudah berhasil ditangani. "Orang kan takut, angka positif kasus bertambah tiap hari, angka meninggal lebih banyak dari yang sembuh, belum tentu yang periksa ke RS rujukan akan dilayani juga," lanjutnya.
Terkait hotel yang menawarkan ruang isolasi, Haryadi menjelaskan bahwa tidak semua hotel berani mengambil risiko itu. "Masalahnya kalau terjadi penularan, karena (mungkin) bukan lewat droplet saja, tapi (bisa) lewat udara. 500 jemaat di gereja Bandung, 200 positif, enggak mungkin dari droplet, pasti udara. Enggak semua hotel berani ambil risiko karena hotel sistemnya beda sama RS, mulai dari lantai yang pakai karpet, ventilasi udaranya, dan hal lainnya," ungkap Haryadi.
Meski hotel tersebut sudah menawarkan sterilisasi, masih banyak pihak yang meragukan. "Dari jumlah yang mengisolasi diri, yang datang pasti yang ODP. Orang rumah takut kalau ada ODP, mau tidak mau isolasi diri di hotel, enggak ada orang sehat yang mau. Kita yang sehat saja takut pergi kemana-mana," tambahnya. Haryadi menegaskan bahwa tidak serta merta menawarkan isolasi di hotel itu menjadi peluang bisnis bagi hotel.
Lebih lanjut dia mengaku belum tahu pwerkiraan kondisi untuk musim mudik nanti. Segala risiko menurut dia masih ditimbang-timbang. Haryadi mengatakan bahwa dalam situasi seperti ini mudik sangat tidak disarankan karena pergerakan manusia ini berpotensi membahayakan karena dapat menyebarkan virus corona lebih luas.
"Itu benar datanya. Gara gara virus, orang pada takut beraktivitas, berarti enggak ada tamu yang datang ke hotel. Masalah utamanya di penanganan virus, selama virus enggak diatasi maka dampak ekonomi makin parah," ujar Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi Sukamdani kepada SINDOnews di Jakarta, Sabtu (4/4/2020).
Ia menjelaskan bahwa hotel-hotel ini tutup sementara, karena situasi tidak ada tamu yang datang. Haryadi menepis terkait hotel yang bangkrut akibat penutupan operasional ini.
"Kalau bangkrut enggak, soalnya kalau bangkrut, dia secara keuangan sudah minus lantaran antara kewajiban sama asetnya lebih besar kewajiban utangnya. Aset ada di situ, pinjaman terkelola, yang enggak ada cash flow-nya," jelas Haryadi.
Terkait data yang masuk, Haryadi mengatakan bahwa itu berdasarkan laporan dari Badan Pimpinan Daerah PHRI yang mengumpulkan semua data. Data-data itu diambil dari hotel-hotel yang melapor, yang sudah menyatakan diri untuk tutup operasional.
"Dari data itu yang di-collect sejauh ini paling banyak yang tutup dari Jawa Barat. Bali saja yang belum laporan lengkap, kemungkinan rugi paling banyak," terangnya.
Haryadi mengatakan bahwa pihaknya belum tahu persis kerugian totalnya yang pasti berapa. "Tapi, hitung-hitungan dari turis yang batal saja bisa dilihat dari situ. Sekarang sudah April, dari cancellation turis saja sudah berapa, paling enggak USD2 miliar (kerugian) ada tuh. Belum dihitung domestic travellers, itu besar banget kerugiannya," ungkap Haryadi.
Untuk karyawan, selama penutupan operasional ini, jelas dia, karyawan dianggap cuti di luar tanggungan perusahaan. "Kalau perusahaan punya dana lebih atau cadangan ya mereka dibayar tapi enggak penuh. Kalau habis cash ya enggak dibayar," jelasnya.
Menurut Haryadi, di situasi seperti ini, hotel tidak bisa memaksa untuk buka karena tidak ada income. Menurut dia, ekonomi baru bergerak jika virus corona sudah berhasil ditangani. "Orang kan takut, angka positif kasus bertambah tiap hari, angka meninggal lebih banyak dari yang sembuh, belum tentu yang periksa ke RS rujukan akan dilayani juga," lanjutnya.
Terkait hotel yang menawarkan ruang isolasi, Haryadi menjelaskan bahwa tidak semua hotel berani mengambil risiko itu. "Masalahnya kalau terjadi penularan, karena (mungkin) bukan lewat droplet saja, tapi (bisa) lewat udara. 500 jemaat di gereja Bandung, 200 positif, enggak mungkin dari droplet, pasti udara. Enggak semua hotel berani ambil risiko karena hotel sistemnya beda sama RS, mulai dari lantai yang pakai karpet, ventilasi udaranya, dan hal lainnya," ungkap Haryadi.
Meski hotel tersebut sudah menawarkan sterilisasi, masih banyak pihak yang meragukan. "Dari jumlah yang mengisolasi diri, yang datang pasti yang ODP. Orang rumah takut kalau ada ODP, mau tidak mau isolasi diri di hotel, enggak ada orang sehat yang mau. Kita yang sehat saja takut pergi kemana-mana," tambahnya. Haryadi menegaskan bahwa tidak serta merta menawarkan isolasi di hotel itu menjadi peluang bisnis bagi hotel.
Lebih lanjut dia mengaku belum tahu pwerkiraan kondisi untuk musim mudik nanti. Segala risiko menurut dia masih ditimbang-timbang. Haryadi mengatakan bahwa dalam situasi seperti ini mudik sangat tidak disarankan karena pergerakan manusia ini berpotensi membahayakan karena dapat menyebarkan virus corona lebih luas.
(vhs)