Sukarni, Sang Pemberani yang Keras Kepala Sejak Kecil
A
A
A
BLITAR - Lahir Kamis Wage, 14 Juli 1916 di Desa Sumberdiren, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Sukarni meyandang nama lengkap Sukarni Kartodiwirdjo.
Dia anak keempat dari sembilan bersaudara. Ayahnya, Kartodiwirdjo seorang jagal sapi yang kondang di masanya. Kartodiwirdjo keturunan Eyang Onggo, juru masak Pangeran Diponegoro. Sementara ibunya, Supiah wanita asal Kediri.
"Leluhur kami adalah pelarian laskar Diponegoro yang kalah dalam perang Jawa (1825-1830)," tutur Kiswoto (75) keponakan Sukarni kepada Sindonews.
Kiswoto bertempat tinggal 10 meter dari rumah kelahiran Sukarni. Sebagai kerabat dekat yang bertempat tinggal di Sumberdiren, dia memikul tanggung jawab atas rumah tempat kelahiran Sukarni.
Maklum lima anak Sukarni, yakni salah satunya dosen di Universitas Negeri Malang (UM), tidak ada yang berdomisili di Blitar. Di sisi lain, Kiswoto yang pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) pernah bertempat tinggal di sana.
Supiah, meminta anaknya (adik Sukarni) membiarkan salah satu cucunya (Kiswoto), yang kala itu masih berusia balita untuk menemaninya. "Saya pernah hidup serumah bersama nenek (ibu Sukarni)," tukas Kiswoto.
Mengingat usia bangunan yang tidak muda, rumah yang berjarak 100 meter dari jalan besar Blitar-Malang, ternyata masih berdiri kokoh. Arsitekturnya paduan limas dan joglo.
Kecuali dinding bambu yang sudah diganti tembok, seluruh bangunan masih asli. "Saya lupa persisnya dibangun kapan. Seingat saya rumah keluarga ini berdiri sejak tahun 1890," selorohnya.
Berdiri di atas tanah kurang lebih setengah hektar, pelataran rumah dipenuhi bunga yang tertata rapi. Di sisi kanan kiri tumbuh pohon buah buahan. Teduh.
Saat masuk ruang tamu, terlihat tampak empat soko (tiang) kayu jati berukuran besar. Sejumlah perabot antik mengisi ruang keluarga.
Lampu gantung kuno dengan porselain bulat, melingkar menyerupai topi pendekar Cina, terjulur dari atas langit-langit ruangan. Ukuran yang cukup luas membuat suasana ruang terasa nyaman.
"Dulu, mulai sore hingga malam, waktu dihabiskan di ruang ini (keluarga)," papar Kiswoto.
Sejumlah foto keluarga menghiasi dinding ruang tamu. Dengan peci sedikit miring dan posisi kepala setengah menunduk, Sukarni muda bergaya dengan mengulum senyuman.
Ketua Umum Partai Murba ini, hingga akhir hayatnya memang selalu mengenakan peci hitam dengan gaya miring ke kiri.
"Sampai sekarang banyak yang belum tahu kenapa peci yang dikenakan tokoh pejuang saat itu, termasuk Pak Karni, selalu miring ke kiri?," tanya Kiswoto heran.
Ada foto hitam putih, Sukarni sedang bersama Bung Karno. Posisi peci hitamnya sama-sama sedikit miring ke kiri.
Secara umum di dalam rumah ada lima kamar. Jarak kamar satu sama lain saling berdekatan. Salah satunya kamar Sukarni. Berukuran medium yang di dalamnya terdapat dua ranjang tidur. "Pak Adam Malik pernah menginap semalam di rumah ini," terang Kiswoto menjelaskan.
Di sisi belakang rumah tampak dapur, ruang makan, dan dua kamar mandi di sebelahnya. Ada juga gudang tempat penyimpanan kayu bakar di sisi luar bangunan.
Tepat di sebelah kiri bangunan utama, ada bangunan lain yang dihubungkan teras kecil. Bangunan itu berfungsi sebagai pavilun.
Sejak tahun 1979 hingga sekarang, Supriyanto, warga setempat yang dipercaya menjaga rumah, bertempat tinggal di sana.
Terkait cerita soal Sukarni, menurut Kiswoto, pamannya berperangai keras kepala. Sejak kecil berwatak pemberani, ulet memegang pendirian sekaligus bengal.
Entah dari mana benih nasionalismenya berasal, belum genap berusia 12 tahun, Sukarni sudah bersikap antipati terhadap penjajah Belanda.
Sukarni yang secara fisik berambut ikal, berbadan kekar dan aktif bergerak, dikenal gemar berkelahi. Dia kerap berduel dengan sinyo (anak Belanda), putra pejabat Pabrik Gula di wilayah Kecamatan Garum.
"Pak Karni hobi mengganggu sinyo-sinyo Belanda, yang asyik bermain sepatu roda. Kalau ada yang berani langsung ditantang berkelahi," kenang Kiswoto tersenyum.
Sifat berani itu tidak kenal tempat dan waktu. Apalagi bila merasa posisi benar, siapapun akan dia lawan. Sikap ksatria itu, kata Kiswoto kemungkinan pengaruh cara pandang Kartodiwirdjo.
Orang tua Sukarni selalu mengedepankan pendidikan. Kartodiwirdjo lebih suka melihat anak-anaknya menjadi kaum cerdik pandai, daripada hanya menjadi pengumpul harta.
Karenanya, Kartodiwirdjo tidak pernah menjadikan dirinya sebagai tuan tanah. Meski mampu, dirinya tidak pernah menjalani hidup sebagai aristokrat feodal yang menimbun tanah dimana-mana. "Eyang (Kartodiwirdjo) lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin," jelasnya.
Sukarni memulai pendidikan formalnya di sekolah Mardisiswo Blitar. Di sekolah sejenis Taman Siswa Ki Hajar Dewantara itu, Sukarni bertemu Moh. Anwar, guru sekaligus pendiri Mardisiswo.
Moh. Anwar juga salah satu tokoh pergerakan Indonesia. Dari lelaki asal Banyumas itu, Sukarni mengenal nasionalisme secara teori dan praktek.
Kebenciannya kepada Belanda pun menemukan bentuknya. Saat masih sekolah, Sukarni pernah mengorganisir pelajar pribumi Blitar.
Dipimpinnya para pelajar pribumi untuk berkelahi dengan anak-anak Belanda di Blitar. Karena dianggap terus mengusik Belanda, Sukarni dikeluarkan dari sekolah MULO.
Hukuman itu tidak membuatnya jera. Dia memilih melanjutkan pendidikan guru ke Yogyakarta dan Jakarta. Berkat arahan dan bantuan Ny. Soekarmini Wardoyo (kakak kandung Bung Karno), Sukarni mengenal sekolah Jurnalistik di Bandung.
Dia juga ikut kursus politik yang dimentori langsung Bung Karno. Dilingkaran ini dia mengenal Wikana, Asmara Hadi dan SK Trimurti yang kelak menjadi satu barisan bernama kelompok pemuda Menteng 31.
Buku "Menteng 31, Membangun Jembatan Dua Angkatan" menyebut pemuda Menteng 31 berbeda haluan dengan kelompok Prapatan 10, atau kelompok Pemuda Sjahrir.
Sebelum pecah dan masing-masing berdiri sebagai dua kelompok (Menteng 31 dan Prapatan 10). Mereka menjadi satu dalam organisasi Persatuan Pemuda.
Tahun 1934 Sukarni menjadi Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda. Dia juga menjabat Ketua Umum Partai Murba (Partai bentukan Tan Malaka) hingga akhir hayatnya.
Secara de facto, Sukarni menempuh jalur pergerakan nasional. Sejak itu hidupnya tidak lepas dari jeratan penjara penguasa. "Watak berani, bandel, keras kepala, tak kenal takut tampaknya terus terbawa dalam pergerakan," kata Kiswoto.
Sikap keras kepala, tak kenal takut dan menolak kompromi Sukarni tercermin dalam peristiwa 3 Juli 1946. Yakni, peristiwa penangkapan Tan Malaka dan pengikutnya atas tuduhan kudeta.
Rezim Soekarno memenjarakan Tan dan pengikutnya, karena mempertanyakan testamen (surat wasiat) penyerahan kekuasaan ke Tan bila Soekarno-Hatta gagal melanjutkan republik.
Sebagai sekretaris Persatuan Perjuangan (organ aliansi bentukan Tan Malaka), Sukarni nekat melanjutkan program kampanye Tan ke Pulau Jawa. Dia tetap melakukan check sound untuk menguji sejauh mana dukungan rakyat Jawa, kepada Tan Malaka.
Dalam buku "Negara Madiun " karya Hersri Setiawan, Sukarni menolak ketika diperingatkan untuk tidak melanjutkan kampanye Tan Malaka di Jawa Timur.
Sukarni yang bermalam di Hotel Merdeka Madiun, menolak ketika diminta Soemarsono (tokoh kunci peristiwa 10 November, dan Madiun 1948) kembali ke Yogyakarta, atau tempat Sukarni bertempat tinggal.
"Oh, kenapa saya mesti kembali?. Buat saya tidak ada kamus itu. Saya mesti melakukan kampanye. Saya meneruskan perjalanan menurut program. Saya mesti lakukan. Saya tak peduli resiko itu," tantang Sukarni.
Dan resiko bui, benar-benar terjadi. Selama tahun 1946-1948 hidup Sukarni berpindah dari penjara ke penjara. Mulai rumah tahanan Ponorogo, Madiun, dan Solo.
Pada tahun 1961 Pemerintahan Soekarno, mengangkat Sukarni sebagai duta besar Indonesia untuk Republik Rakyat Tjina (RRT). Setelah tiga tahun di Peking, dia kembali ke tanah air pada tahun 1964.
Konon akibat memperingatkan bahaya PKI, Bung Karno membekukan Partai Murba. Pembekuan berlangsung tahun 1965. Sukarni bersama sejumlah tokoh Murba, kembali dijebloskan ke dalam tahanan.
Pada tahun 1966 rezim Orde Baru membebaskan Sukarni, sekaligus merehabilitasi Partai Murba. Sebelum wafat 7 Mei 1971, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta tahun 1967, Sukarni sempat menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Kiswoto, dan keponakan lain merasa banyak dibantu pamannya (Sukarni), yakni khususnya menyangkut sekolah. Bagi Sukarni pendidikan adalah segalanya.
"Pak Karni siap membantu urusan sekolah. Beliau siap menyekolahkan. Namun, untuk pekerjaan beliau menegaskan, yang bersangkutan harus berikhtiar sendiri," jelas Kiswoto.
Mulai tahun 2014, Presiden Joko Widodo secara resmi menetapkan Sukarni sebagai Pahlawan Nasional. Kiswoto menambahkan, sebelum pemerintah resmi menetapkan gelar pahlawan nasional, tidak banyak warga Desa Sumberdiren, yang tahu bahwa Sukarni tokoh kunci peristiwa Rengasdengklok.
"Yang diketahui warga desa dan para tetangga, Pak Karni pejuang kemerdekaan. Awalnya tidak banyak yang tahu, bahwa beliau itu tokoh kunci peristiwa Rengasdengklok," pungkasnya. Baca Juga: Ketika Soekarno-Sukarni Berdebat Isi Teks Proklamasi
Dia anak keempat dari sembilan bersaudara. Ayahnya, Kartodiwirdjo seorang jagal sapi yang kondang di masanya. Kartodiwirdjo keturunan Eyang Onggo, juru masak Pangeran Diponegoro. Sementara ibunya, Supiah wanita asal Kediri.
"Leluhur kami adalah pelarian laskar Diponegoro yang kalah dalam perang Jawa (1825-1830)," tutur Kiswoto (75) keponakan Sukarni kepada Sindonews.
Kiswoto bertempat tinggal 10 meter dari rumah kelahiran Sukarni. Sebagai kerabat dekat yang bertempat tinggal di Sumberdiren, dia memikul tanggung jawab atas rumah tempat kelahiran Sukarni.
Maklum lima anak Sukarni, yakni salah satunya dosen di Universitas Negeri Malang (UM), tidak ada yang berdomisili di Blitar. Di sisi lain, Kiswoto yang pensiunan pegawai negeri sipil (PNS) pernah bertempat tinggal di sana.
Supiah, meminta anaknya (adik Sukarni) membiarkan salah satu cucunya (Kiswoto), yang kala itu masih berusia balita untuk menemaninya. "Saya pernah hidup serumah bersama nenek (ibu Sukarni)," tukas Kiswoto.
Mengingat usia bangunan yang tidak muda, rumah yang berjarak 100 meter dari jalan besar Blitar-Malang, ternyata masih berdiri kokoh. Arsitekturnya paduan limas dan joglo.
Kecuali dinding bambu yang sudah diganti tembok, seluruh bangunan masih asli. "Saya lupa persisnya dibangun kapan. Seingat saya rumah keluarga ini berdiri sejak tahun 1890," selorohnya.
Berdiri di atas tanah kurang lebih setengah hektar, pelataran rumah dipenuhi bunga yang tertata rapi. Di sisi kanan kiri tumbuh pohon buah buahan. Teduh.
Saat masuk ruang tamu, terlihat tampak empat soko (tiang) kayu jati berukuran besar. Sejumlah perabot antik mengisi ruang keluarga.
Lampu gantung kuno dengan porselain bulat, melingkar menyerupai topi pendekar Cina, terjulur dari atas langit-langit ruangan. Ukuran yang cukup luas membuat suasana ruang terasa nyaman.
"Dulu, mulai sore hingga malam, waktu dihabiskan di ruang ini (keluarga)," papar Kiswoto.
Sejumlah foto keluarga menghiasi dinding ruang tamu. Dengan peci sedikit miring dan posisi kepala setengah menunduk, Sukarni muda bergaya dengan mengulum senyuman.
Ketua Umum Partai Murba ini, hingga akhir hayatnya memang selalu mengenakan peci hitam dengan gaya miring ke kiri.
"Sampai sekarang banyak yang belum tahu kenapa peci yang dikenakan tokoh pejuang saat itu, termasuk Pak Karni, selalu miring ke kiri?," tanya Kiswoto heran.
Ada foto hitam putih, Sukarni sedang bersama Bung Karno. Posisi peci hitamnya sama-sama sedikit miring ke kiri.
Secara umum di dalam rumah ada lima kamar. Jarak kamar satu sama lain saling berdekatan. Salah satunya kamar Sukarni. Berukuran medium yang di dalamnya terdapat dua ranjang tidur. "Pak Adam Malik pernah menginap semalam di rumah ini," terang Kiswoto menjelaskan.
Di sisi belakang rumah tampak dapur, ruang makan, dan dua kamar mandi di sebelahnya. Ada juga gudang tempat penyimpanan kayu bakar di sisi luar bangunan.
Tepat di sebelah kiri bangunan utama, ada bangunan lain yang dihubungkan teras kecil. Bangunan itu berfungsi sebagai pavilun.
Sejak tahun 1979 hingga sekarang, Supriyanto, warga setempat yang dipercaya menjaga rumah, bertempat tinggal di sana.
Terkait cerita soal Sukarni, menurut Kiswoto, pamannya berperangai keras kepala. Sejak kecil berwatak pemberani, ulet memegang pendirian sekaligus bengal.
Entah dari mana benih nasionalismenya berasal, belum genap berusia 12 tahun, Sukarni sudah bersikap antipati terhadap penjajah Belanda.
Sukarni yang secara fisik berambut ikal, berbadan kekar dan aktif bergerak, dikenal gemar berkelahi. Dia kerap berduel dengan sinyo (anak Belanda), putra pejabat Pabrik Gula di wilayah Kecamatan Garum.
"Pak Karni hobi mengganggu sinyo-sinyo Belanda, yang asyik bermain sepatu roda. Kalau ada yang berani langsung ditantang berkelahi," kenang Kiswoto tersenyum.
Sifat berani itu tidak kenal tempat dan waktu. Apalagi bila merasa posisi benar, siapapun akan dia lawan. Sikap ksatria itu, kata Kiswoto kemungkinan pengaruh cara pandang Kartodiwirdjo.
Orang tua Sukarni selalu mengedepankan pendidikan. Kartodiwirdjo lebih suka melihat anak-anaknya menjadi kaum cerdik pandai, daripada hanya menjadi pengumpul harta.
Karenanya, Kartodiwirdjo tidak pernah menjadikan dirinya sebagai tuan tanah. Meski mampu, dirinya tidak pernah menjalani hidup sebagai aristokrat feodal yang menimbun tanah dimana-mana. "Eyang (Kartodiwirdjo) lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin," jelasnya.
Sukarni memulai pendidikan formalnya di sekolah Mardisiswo Blitar. Di sekolah sejenis Taman Siswa Ki Hajar Dewantara itu, Sukarni bertemu Moh. Anwar, guru sekaligus pendiri Mardisiswo.
Moh. Anwar juga salah satu tokoh pergerakan Indonesia. Dari lelaki asal Banyumas itu, Sukarni mengenal nasionalisme secara teori dan praktek.
Kebenciannya kepada Belanda pun menemukan bentuknya. Saat masih sekolah, Sukarni pernah mengorganisir pelajar pribumi Blitar.
Dipimpinnya para pelajar pribumi untuk berkelahi dengan anak-anak Belanda di Blitar. Karena dianggap terus mengusik Belanda, Sukarni dikeluarkan dari sekolah MULO.
Hukuman itu tidak membuatnya jera. Dia memilih melanjutkan pendidikan guru ke Yogyakarta dan Jakarta. Berkat arahan dan bantuan Ny. Soekarmini Wardoyo (kakak kandung Bung Karno), Sukarni mengenal sekolah Jurnalistik di Bandung.
Dia juga ikut kursus politik yang dimentori langsung Bung Karno. Dilingkaran ini dia mengenal Wikana, Asmara Hadi dan SK Trimurti yang kelak menjadi satu barisan bernama kelompok pemuda Menteng 31.
Buku "Menteng 31, Membangun Jembatan Dua Angkatan" menyebut pemuda Menteng 31 berbeda haluan dengan kelompok Prapatan 10, atau kelompok Pemuda Sjahrir.
Sebelum pecah dan masing-masing berdiri sebagai dua kelompok (Menteng 31 dan Prapatan 10). Mereka menjadi satu dalam organisasi Persatuan Pemuda.
Tahun 1934 Sukarni menjadi Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda. Dia juga menjabat Ketua Umum Partai Murba (Partai bentukan Tan Malaka) hingga akhir hayatnya.
Secara de facto, Sukarni menempuh jalur pergerakan nasional. Sejak itu hidupnya tidak lepas dari jeratan penjara penguasa. "Watak berani, bandel, keras kepala, tak kenal takut tampaknya terus terbawa dalam pergerakan," kata Kiswoto.
Sikap keras kepala, tak kenal takut dan menolak kompromi Sukarni tercermin dalam peristiwa 3 Juli 1946. Yakni, peristiwa penangkapan Tan Malaka dan pengikutnya atas tuduhan kudeta.
Rezim Soekarno memenjarakan Tan dan pengikutnya, karena mempertanyakan testamen (surat wasiat) penyerahan kekuasaan ke Tan bila Soekarno-Hatta gagal melanjutkan republik.
Sebagai sekretaris Persatuan Perjuangan (organ aliansi bentukan Tan Malaka), Sukarni nekat melanjutkan program kampanye Tan ke Pulau Jawa. Dia tetap melakukan check sound untuk menguji sejauh mana dukungan rakyat Jawa, kepada Tan Malaka.
Dalam buku "Negara Madiun " karya Hersri Setiawan, Sukarni menolak ketika diperingatkan untuk tidak melanjutkan kampanye Tan Malaka di Jawa Timur.
Sukarni yang bermalam di Hotel Merdeka Madiun, menolak ketika diminta Soemarsono (tokoh kunci peristiwa 10 November, dan Madiun 1948) kembali ke Yogyakarta, atau tempat Sukarni bertempat tinggal.
"Oh, kenapa saya mesti kembali?. Buat saya tidak ada kamus itu. Saya mesti melakukan kampanye. Saya meneruskan perjalanan menurut program. Saya mesti lakukan. Saya tak peduli resiko itu," tantang Sukarni.
Dan resiko bui, benar-benar terjadi. Selama tahun 1946-1948 hidup Sukarni berpindah dari penjara ke penjara. Mulai rumah tahanan Ponorogo, Madiun, dan Solo.
Pada tahun 1961 Pemerintahan Soekarno, mengangkat Sukarni sebagai duta besar Indonesia untuk Republik Rakyat Tjina (RRT). Setelah tiga tahun di Peking, dia kembali ke tanah air pada tahun 1964.
Konon akibat memperingatkan bahaya PKI, Bung Karno membekukan Partai Murba. Pembekuan berlangsung tahun 1965. Sukarni bersama sejumlah tokoh Murba, kembali dijebloskan ke dalam tahanan.
Pada tahun 1966 rezim Orde Baru membebaskan Sukarni, sekaligus merehabilitasi Partai Murba. Sebelum wafat 7 Mei 1971, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta tahun 1967, Sukarni sempat menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Kiswoto, dan keponakan lain merasa banyak dibantu pamannya (Sukarni), yakni khususnya menyangkut sekolah. Bagi Sukarni pendidikan adalah segalanya.
"Pak Karni siap membantu urusan sekolah. Beliau siap menyekolahkan. Namun, untuk pekerjaan beliau menegaskan, yang bersangkutan harus berikhtiar sendiri," jelas Kiswoto.
Mulai tahun 2014, Presiden Joko Widodo secara resmi menetapkan Sukarni sebagai Pahlawan Nasional. Kiswoto menambahkan, sebelum pemerintah resmi menetapkan gelar pahlawan nasional, tidak banyak warga Desa Sumberdiren, yang tahu bahwa Sukarni tokoh kunci peristiwa Rengasdengklok.
"Yang diketahui warga desa dan para tetangga, Pak Karni pejuang kemerdekaan. Awalnya tidak banyak yang tahu, bahwa beliau itu tokoh kunci peristiwa Rengasdengklok," pungkasnya. Baca Juga: Ketika Soekarno-Sukarni Berdebat Isi Teks Proklamasi
(eyt)