'Desa Hantu' Sedot Dana Desa, Siapa Tanggungjawab?

Kamis, 07 November 2019 - 07:32 WIB
Desa Hantu Sedot Dana Desa, Siapa Tanggungjawab?
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Foto/Dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Publik tiba-tiba saja dibuat kaget dengan pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, tentang adanya dugaan desa fiktif atau "desa hantu".

Menteri yang akrab disapa Ani tersebut, mengaku menemukan ada penerima dana desa fiktif pada laporan dana desa. Disebut desa hantu bukan karena yang menghuni desa tersebut sebangsa makhluk halus.

Desa hantu merujuk pada desa fiktif yang menerima dana dari pusat. Ia hanya berupa wilayah tanpa penduduk, namun dicatat dan didaftarkan oleh pemerintah daerah demi mendapatkan anggaran dana desa.

Sri Mulyani mengungkap keberadaan "desa gaib" ini saat melaporkan evaluasi kinerja APBN Tahun Anggaran 2019 di Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (4/11/2019).

Benarkah ada desa fiktif seperti yang diungkapkan Sri Mulyani? Hingga kemarin, semua memang masih serba misteri. Namun karena sudah diungkapkan di forum resmi, tidak pelak isu ini mengundang kegaduhan.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian langsung merespons dengan menurunkan tim untuk mengecek keberadaan desa fiktif tersebut. Diduga desa hantu dimaksud terdapat di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).

Tim Kemendagri melakukan pengusutan bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Sultra dan kepolisian daerah setempat. Ada empat desa penerima dana desa di provinsi ini yang ditengarai fiktif.

Langkah cepat Mendagri menurunkan tim untuk menyelidiki sangat tepat. Ini demi mengklarifikasi kebenaran informasi yang disampaikan Menkeu. Diharapkan tidak perlu waktu yang lama untuk menemukan jawaban yang dibutuhkan.

Jika nanti informasi desa fiktif terbukti benar adanya, tentu mekanisme hukum sudah menanti para pelaku. Sanksi pidana menanti oknum-oknum di pemerintah daerah setempat karena perbuatan dimaksud, jelas bentuk penyelewengan dan masuk kategori pidana korupsi.

Pemerintah menyalurkan dana desa sejak 2015. Jumlahnya sudah mencapai ratusan triliun. Tahun ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengalokasikan anggaran dana desa sebesar Rp70 triliun. Dana ini dibagikan ke 74.597 desa yang tersebar di 514 kabupaten kota. Setiap desa, rata-rata mendapatkan anggaran sekitar Rp900 juta.

Jika benar ada desa fiktif yang menerima kucuran dana dari pusat; pertanyaannya, selemah itukah pengawasan dana desa yang dijalankan selama ini?

Padahal, syarat sebuah desa untuk mendapatkan kucuran dana sudah ada, yakni harus teregistrasi terlebih dulu oleh Kemendagri. Ada kode wilayah desa yang diterbitkan Kemendagri sebelum sebuah desa dinyatakan layak mendapatkan kucuran dana.

Mekanisme penerimaan dana ini diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 37/2017 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa.

Isu desa fiktif sebenarnya bukan hal yang baru. Isu ini telah muncul sejak 2015. Hal ini sejalan dengan penjelasan Kabiro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah.

Diakui, pada 2015 dalam pelaksanaan tugas pencegahan, KPK pernah melakukan kajian tentang dana desa dan menemukan beberapa potensi masalah. Febri menyebut kajian terhadap dana desa itu juga sudah disampaikan lembaganya kepada instansi terkait.

KPK bahkan sudah bekerja sama dengan Polda Sultra untuk menangani dugaan korupsi dana desa fiktif ini. Bahkan, kasusnya saat ini sudah masuk tahap penyidikan.

Penyidikan dilakukan karena ada dugaan pemerintah daerah membentuk atau mendefinitifkan desa-desa yang tidak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen yang tidak sah.

Lokasi dimaksud terletak di Kabupaten Konawe, Sultra, untuk Tahun Anggaran 2016 hingga 2018. KPK mencatat ada 31 desa lain yang juga bermasalah karena surat keputusan pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur.

Meski isu lama, karena Sri Mulyani mengungkapnya di rapat DPR, tak pelak ini terus menjadi bola panas. Ketua Badan Koordinasi Nasional Pembangunan, Pemerintahan, dan Pemberdayaan Kemasyarakatan Desa/Bakornas P3KD Muhammad Asri Anas membantah keras isu desa fiktif ini.

Dia tidak percaya apa yang dijelaskan Menkeu karena desa di Indonesia, selama ini semua mendapatkan bantuan APBD dalam bentuk Anggaran Dana Desa (ADD) dari kabupaten, serta bantuan provinsi.

Artinya, jika ada desa fiktif, pasti sangat mudah ditemukan. Dia menilai desa fiktif yang disampaikan oleh Menkeu tersebut hanya upaya untuk memojokkan desa dan pemerintah kabupaten.

Koordinasi antar lembaga, yakni Kemenkeu, Kemendagri, pemerintah daerah, kepolisian, dan KPK sangat penting untuk segera mengungkap kasus ini. Jika memang terbukti, para pelaku penyelewengan harus ditindak tegas.

Ini sekaligus memberi pesan kepada pemerintah di daerah lain untuk tidak bermain-main dengan dana desa yang diperoleh melalui pajak rakyat. Dana desa sejatinya disalurkan untuk kesejahteraan masyarakat desa, bukan untuk dimanipulasi oleh oknum tidak bertanggung jawab.

Kasus ini juga harus menjadi bahan evaluasi oleh lembaga terkait, terutama Kemendagri, dan Kementrian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa PDTT), agar memperketat pengawasan dana desa sehingga tidak mudah disalahgunakan.

Selain itu, lembaga-lembaga terkait juga harus semakin menguatkan peran aktif dan keberdayaan masyarakat desa dalam pengawasan tata kelola desa, termasuk penggunaan dana desa, karena desa memiliki mekanisme lembaga pengawasan yakni melalui musyawah desa.

Musyawarah desa, sesuai amanat UU. No. 6/2014 tentang desa, menjadi forum tertinggi di desa, yang bisa menentukan arah kebijakan dan pengawasan tata kelola desa, langsung oleh masyarakat desa.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 3.6702 seconds (0.1#10.140)