Jejak Meno Memetik Masa Depan di Kawah Peraduan Surabaya

Kamis, 19 September 2019 - 18:12 WIB
Jejak Meno Memetik Masa Depan di Kawah Peraduan Surabaya
Anak-anak Papua, di Kota Surabaya, menyerap banyak kesempatan untuk berdaya sebagai bekal dibawa pulang ke kampung halaman. Foto/SINDOnews/Aan Haryono
A A A
HOS Tjokroaminoto pernah meminta Soekarno muda belajar nasionalisme di Kota Surabaya. Berkumpul dengan berbagai tokoh Nusantara untuk bisa memahami mereka.

Pada kehidupan yang keras, Surabaya menjadi hulu dalam membentuk karakter perjuangan. Di kota ini, benih nasionalisme itu tumbuh subur. Dengan riang masyarakat dan kota yang santun.

Indung semang para pencetak tokoh nasional itu menjadikan Surabaya sebagai miniatur pembelajaran mental para pejuang. Masyarakat yang egaliter dan hangat dalam menerima berbagai perbedaan.

Sampai saat ini, tak ada yang berubah dalam peran Surabaya sebagai kota yang membentuk karakter seseorang. Perjalanan waktu tetap menjadikan Surabaya sebagai kota yang mampu mencetak tokoh dan aset masa depan.

Para Meno, sebutan yang bermakna saudara untuk warga asli Papua yang tinggal di pegunungan maupun pesisir, mempercayai Kota Pahlawan sebagai ruang aliran air di hulu yang bisa membentuk mereka menjadi sosok yang berbeda. Menanamkan sisi nasionalisme yang kuat dalam kawah belajar dengan sahaja.

Di berbagai lembaga pendidikan, para Meno rela meninggalkan jauh kampung halamannya untuk memetik mimpi menjadi kenyataan. Mereka ingin mewujudkan mimpi itu menjadi pondasi kehidupannya dengan menyerap banyak ilmu di Kota Pahlawan.

Kedua mata Ade Kulla (19), masih berbinar saat derap langkahnya menyusuri lorong putih menuju kitchen di sekolah memasak Ottimmo International. Harapannya terbentang. Ia berada di Surabaya dan mewujudkan impian kecilnya untuk bisa melanjutkan pendidikan di sebuah akademi chef.

Pagi itu, ia datang lebih awal dari teman-temannya yang lain. Berkali-kali ia membersihkan sedikit debu yang menempel pada baju putihnya. Senyumnya pun mengembang Pandangan pagi itu masih tertuju pada berbagai alat masak yang berada di dinding.

Tadi malam, ia hanya menghabiskan waktu empat jam untuk tidur lelap. Setelah beberapa jam melahap berbagai buku sebagai rujukan belajar hari ini. "Saya tak mau melewatkan sedikit pun kesempatan untuk belajar," katanya, Kamis (19/9/2019).

Pada sebuah senja di tepi pantai yang berpasir putih, Amaris Mariawasi (22), pernah berikrar dalam hatinya untuk mengangkat derajat para nelayan di kampungnya yang berada di Perkampungan Yaru, Distrik Aroba, Teluk Bintuni, Papua Barat.

Keinginan seorang anak yang masih belia, hanya memakai celana pendek menantang angin yang berhembus kencang. Di benaknya terpatri, kehidupan tak hanya berhenti di ujung dermaga.

Saat selesai lulus dari bangku sekolah tingkat atas, kesadarannya mulai tumbuh. Tepat di depan rumahnya yang bisa melihat lautan, di pertengahan matahari yang masih sepenggalah, Amaris memutuskan untuk pergi ke Surabaya.

Perjalanannya dimulai dengan melihat jauh dermaga yang setiap hari menjadi peraduannya. "Kami semua, anak-anak di Papua selalu ingin bisa sekolah di Jawa, di Surabaya. Nama kota itu begitu dikenal," katanya.

Ia sudah menyiapkan diri dengan menyeberangi lautan menggunakan long boat selama satu setengah jam. Kapal perintis yang tersisa membawanya menuju Kecamatan Babo. Menepikan kampungnya yang hanya terlihat dari ujung kuku dengan begitu berat. Hilang dalam pendar senja yang begitu hangat.

Di benaknya selalu mengendap sebuah cita-cita untuk bisa kembali ke kampung halamannya dan bisa membudidayakan tambak ikan di kampung halaman tercinta. Selesai naik kapal perintis kecil, ia melanjutkan dengan naik kapal perintis yang berukuran besar yang akan mengantarkannya ke Sorong selama 24 jam.

Sampai di Sorong, ia melanjutkan lagi perjalanan naik kapal ke Tanjung Perak Surabaya selama empat hari. "Tujuan kami hanya mau ke Surabaya. Sampai di sana kami belajar, menjadi pintar dan kami akan kembali ke kampung kami," katanya.

Para Meno menyadari kebutuhan yang harus dilakukannya untuk bisa pintar dan menularkan itu pada warga di kampungnya. Surabaya sendiri menjadi medan perang bagi dirinya untuk bisa mengembangkan bakat dan kemampuan untuk bekal dalam kehidupan.

Amaris sendiri merupakan salah satu dari 76 mahasiswa asal Papua yang akhirnya diterima menempuh pendidikan di Universitas dr Soetomo (Unitomo) Surabaya. "Kami selalu fokus untuk belajar dan kami menyukai berada di di sini (Surabaya)," ucapnya.

Rektor Unitomo Surabaya Bachrul Amiq menuturkan, Surabaya merupakan kota multi etnis yang begitu hangat dalam menyambut berbagai entitas. Sehingga semua orang yang datang ke Surabaya, termasuk para Meno dari Papua akan selalu disambut dengan riang.

"Surabaya itu menjadi miniatur Indonesia akan memberikan rasa aman dan nyaman bagi semua mahasiswa yang menempuh pendidikan," katanya.

Wakil rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Istitut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Prof Dr Ir Adi Soeprijanto , MT menuturkan, kondisi mahasiswa asal papua yang menempuh pendisikan di Surabaya dalam kondisi yang aman. Mereka menjalani pendidikan dengan baik dan nyaman.

"Ada perlindungan yang yang dilakukan semua pihak untuk memastikan mereka bisa terus menjalani proses perkuliahan dengan baik," jelasnya.

Di ITS sendiri ada 103 mahasiswa asal Papua yang masih aktif menjalani proses belajar. Mereka tersebar di berbagai program studi yang mendukung kemampuan untuk bisa dikembangkan. "Minat mereka paling banyak di engginering. Tiap tahun saja setidaknya ada 25 mahasiswa asal papua yang selalu menjadi mahasiswa kami," jelasnya.

Para Meno juga terlihat aktif dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan. Mereka tak hanya datang dalam perkuliahan di kelas, tapi juga mewarnai berbagai kegiatan kebudayaan serta keahlian lainnya.

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menuturkan, sudah sejak lama hubungan masyarakat Surabaya dengan warga Papua berjalan baik. Mereka sudah seperti saudara yang berdampingan sehari-hari. Menjadi bagian dari entitas warga yang setiap hari bertemu.

Kedekatan yang kuat itu kerap membuatnya menjadikan anak-anak dari Papua yang tinggal di Surabaya seperti anaknya sendiri. Tak ada perbedaan yang diberlakukan pada mereka. Bahkan, selama menempuh pendidikan di Surabaya, mereka juga diberikan fasilitas dalam upaya mengembangkan bakat dan minat.

"Mereka kan jauh dari orang tua, karena itu saya selalu sampaikan ke mereka untuk menjadi orang yang sukses. Para mama-mama di Papua pingin anaknya jadi orang yang hebat," kata Risma.

Wali kota perempuan pertama di Surabaya ini menambahkan, anak-anak Papua yang menempuh pendidikan di Surabaya selalu disambut dengan pelukan hangat. Mereka juga selalu dilibatkan dalam kegiatan besar Pemerintah Kota Surabaya. Baik itu kegiatan kebudayaan, pendidikan, kesehatan sampai kegiatan sosial lainnya.

"Mahasiswa Papua sering ikut kegiatan tari-tarian di Balai Kota. Kalau kita ada acara mereka juga datang. Kalau kita ada kunjungan tamu dari Papua, mereka juga ikut hadir," jelasnya.

Risma juga menjelaskan, para orang tua di Papua juga suka datang ke Surabaya. Mereka blusukan ke pasar-pasar tradisional yang tersebar di berbagai wilayah Surabaya. Mereka juga mencoba untuk memahami tata niaga di Surabaya.

Para mama dari Papua itu juga belajar pemberdayaan ekonomi dan program-program wirausaha. Mereka ingin maju dan merekam semua keberhasilan. Keinginan kuat yang ditunjukkan untuk bisa berubah dan memperbaiki nasibnya.

"Mereka mama-mama Papua itu datang dari berbagai wilayah untuk belajar di Surabaya, mulai dari tanam sayur, bikin baju, sampai bikin bakso ikan," ucapnya.

Sosiolog Universitas Airlangga Prof Bagong Suyanto menuturkan, kondisi masyarakat Surabaya selama ini tidak pernah ada masalah dengan penyambutan anak-anak Papua. Mereka selalu membuka tangan lebar-lebar untuk semua anak bersekolah dan bekerja di Kota Pahlawan.

"Ciri orang Surabaya sejak dulu sudah egaliter. Sehingga mereka selalu menerima siapa saja yang masuk ke Surabaya," ungkapnya.

Para anak muda Surabaya dan Papua juga menjadi bagian yang tak terpisahkan di berbagai sektor sosial. Mereka bisa bekerja bersama atau menempuh pendidikan beriringan antara satu dengan yang lainnya.

"Jadi kota ini menerima dengan baik hubungan keduanya. Tak pernah ada yang bermasalah. Surabaya sejak lama, bahkan sebelum era kemerdekaan sudah begitu terbuka dengan setiap kelompok masyarakat," jelasnya.

Ia menambahkan, pendidikan adalah eskalator bagi masyarakat Papua untuk meningkatkan kesejahteraan. Peranan pendidikan yang begitu vital menjadi dasar mereka untuk bisa bangkit dan memperbaiki kehidupan.

Surabaya sendiri menjadi kota yang mutipluralis. Sehingga cocok bagi siapa pun yang masuk. Termasuk anak-anak dari Papua yang ingin belajar. "Ada faktor historis juga yang mempengaruhi. Surabaya sejak dulu sudah dikenal sebagai kota yang nyaman untuk belajar," jelasnya.

Saling Membahu Dalam Menjaga Kesehatan

Surabaya juga menjadi tulang punggung pelayanan kesehatan di Indonesia Timur. Masyarakat Papua banyak yang datang untuk berobat dan memastikan kesehatannya membaik.

Herlina (30), sudah bisa menebar jala senyum ketika sampai di Surabaya. Ia menempuh perjalanan Laut selama 120 jam dari Papua menuju Surabaya.

Siang yang terik menjadi momen mendebarkan dalam hidupnya. Sudah lima tahun terakhir ini ia harus menyimpan rasa sakit di kepala. Bahkan, wajah merot dan tak bisa berfungsi normal.

Ibu dua anak ini menderita Hemifacial Spasm (HFS) yang sudah lima tahun di deritanya. Perjalanan laut yang melelahkan dari tempat tinggalnya di Manokwari, Papua Barat menuju Surabaya tak mengetarkan hatinya. Kalah pamor dengan harapan yang sudah lama dinantikan.

"Tidak masalah meski lima hari mengalami kelelahan dan mabuk laut yang penting saya bisa segera sembuh dan wajah saya bisa kembali normal," jelasnya.

Herlina datang ditemani Mohammad (31) dan Iqbal (5), suami dan anak bungsunya tersebut menceritakan sakit yang membuat bentuk wajahnya menjadi tidak sempurna itu muncul sejak lima tahun silam.

"Suatu siang tanpa sebab tiba-tiba wajah bagian kiri saya, mulai bibir, pipi, sampai otot sekitar mata bergerak-gerak ketarik ke belakang tak terkendali. Saya panik, sempat saya pikir kena stroke," jelasnya.

Karena otot matanya bergerak-gerak ia pikir ada gangguan pada mata sehingga ia datang ke dokter mata di kotanya. Namun dokter yang memeriksannya tidak menemukan masalah tapi untuk melakukan diagnosa lebih lanjut.

"Karena keterbatasan biaya, saya tidak bisa segera berangkat. Saya harus kumpulkan uang dan baru 2016 bisa melakukan pemeriksaan di Makassar," katanya.

Setelah diperiksa dokter mata, dokter menjelaskan jika matanya sehat. Soal merot di wajahnya ia diminta untuk memeriksakan ke salah seorang dokter saraf. "Saya disuruh untuk berobat ke dokter di Surabaya yang ahli dalam operasi HFS," terangnya.

Muncul perasaan kecil hati begitu mengetahui proses penyembuhannya harus melalui operasi dan dilakukan di Surabaya. Karena sebagai orang berpenghasilan pas-pasan bukan pekerjaan mudah bisa berobat di Surabaya.

Di tengah usahanya mengumpulkan uang ia mendapat kabar baik dari komunitas HFS jika diminta segera ke Surabaya untuk dilakukan operasi. Dan yang membahagiakan ia tidak perlu mengeluarkan biaya penuh karena sebagian besar biaya operasi mendapat bantuan dari tim dokter, rumah sakit serta anggota komunitas.

Tim Dokter di National Hospital dr Gigih Pramono SpS mengatakan, Surabaya sangat terbuka untuk membantu banyak masyarakat di Papua. Kesadaran ini sudah terbentuk lama dan prinsip untuk bisa saling berbagi dengan sesama.

"Perkembangan teknologi, baik itu di sektor pendidikan maupun di wilayah kesehatan yang ada di Surabaya lebih lengkap. Kami ingin bisa membaginya dengan masyarakat lainnya," ujarnya.

Sektor lainnya pun bergerak beriringan. Di kota ini, pengumpulan buku-buku juga menjadi ruang literasi yang dibagikan pada anak-anak dari Papua. Seperti petuah Tjokroaminoto yang selalu didengungkan kalau benih nasionalisme itu tumbuh subur di Surabaya.
(eyt)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.0051 seconds (0.1#10.140)