Psikolog Unair: Kebiri Kimia Tak Cukup Selesaikan Kejahatan Seksual
A
A
A
SURABAYA - Persoalan kejahatan seksual pada anak di Indonesia, masih menjadi perbincangan publik. Hukuman kebiri kimia bagi pelaku, tak cukup untuk menyelesaikan masalah.
Psikolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Margaretha menuturkan, hukuman kebiri kimia belum cukup menyelesiakan persoalan kejahatan seksual saat ini.
"Perlu dipahami, hukuman maksimum, baik seumur hidup maupun kebiri kimia itu belum cukup menyelesaikan persoalan yang dimiliki oleh pelaku. Karena, dasar perilaku kejahatan seks itu adalah penyimpangan seks," kata Margaretha, Selasa (3/9/2019).
Ia melanjutkan, pelaku kejahatan seksual tetap berisiko mengulangi perbuatannya. Meski, sudah mengalami hukuman maksimal atau dikebiri kimia. Kemungkinan itu terjadi karena ada ide yang salah dan diyakini benar oleh pelaku.
"Istilahnya belum sembuh benar. Kalau hal tersebut tidak dapat diatasi, maka hukuman yang diberikan kepada pelaku ini tidak efektif untuk menyelesaikan masalah," katanya.
Makanya, situasi ini yang perlu dibenahi adalah cara berpikirnya. Dampak obat kimia yang diberikan dalam menurunkan libido pelaku hanya berfungsi selama zat itu bekerja. Setelah zat itu tidak lagi dikonsumsi dan cara berpikir pelaku masih sama, bukan tidak mungkin pelaku akan kembali menjadi predator anak lagi.
"Ini masalah besar bagi indonesia. Kita jangan cuma bikin bom atau menunda bom untuk meledak. Kita perlu menyiapkan langkah-langkah," ucapnya.
Sementara itu, hukuman badan seperti kurungan penjara saja dinilai masih kurang untuk mengatasi persoalan kejahatan seks. Seharusnya, ada psikoterapi yang mendalam dan intensif untuk mengoreksi cara berpikir pelaku yang salah.
Pelaku kejahatan seks pada anak atau disebut dengan pedofilia pada dasarnya mempunyai gangguan pemikiran. Persoalan kejahatan seks tidak lagi dapat dianggap hal yang remeh.
"Kalau pelaku kejahatan selesai pidananya, selesai mendapatkan hukuman kebiri kimia, lalu pindah ke tempat lain. Kalau masalahnya belum terkoreksi, dia bisa mencari lagi tempat bekerja dengan anak," jelasnya.
Psikolog Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Margaretha menuturkan, hukuman kebiri kimia belum cukup menyelesiakan persoalan kejahatan seksual saat ini.
"Perlu dipahami, hukuman maksimum, baik seumur hidup maupun kebiri kimia itu belum cukup menyelesaikan persoalan yang dimiliki oleh pelaku. Karena, dasar perilaku kejahatan seks itu adalah penyimpangan seks," kata Margaretha, Selasa (3/9/2019).
Ia melanjutkan, pelaku kejahatan seksual tetap berisiko mengulangi perbuatannya. Meski, sudah mengalami hukuman maksimal atau dikebiri kimia. Kemungkinan itu terjadi karena ada ide yang salah dan diyakini benar oleh pelaku.
"Istilahnya belum sembuh benar. Kalau hal tersebut tidak dapat diatasi, maka hukuman yang diberikan kepada pelaku ini tidak efektif untuk menyelesaikan masalah," katanya.
Makanya, situasi ini yang perlu dibenahi adalah cara berpikirnya. Dampak obat kimia yang diberikan dalam menurunkan libido pelaku hanya berfungsi selama zat itu bekerja. Setelah zat itu tidak lagi dikonsumsi dan cara berpikir pelaku masih sama, bukan tidak mungkin pelaku akan kembali menjadi predator anak lagi.
"Ini masalah besar bagi indonesia. Kita jangan cuma bikin bom atau menunda bom untuk meledak. Kita perlu menyiapkan langkah-langkah," ucapnya.
Sementara itu, hukuman badan seperti kurungan penjara saja dinilai masih kurang untuk mengatasi persoalan kejahatan seks. Seharusnya, ada psikoterapi yang mendalam dan intensif untuk mengoreksi cara berpikir pelaku yang salah.
Pelaku kejahatan seks pada anak atau disebut dengan pedofilia pada dasarnya mempunyai gangguan pemikiran. Persoalan kejahatan seks tidak lagi dapat dianggap hal yang remeh.
"Kalau pelaku kejahatan selesai pidananya, selesai mendapatkan hukuman kebiri kimia, lalu pindah ke tempat lain. Kalau masalahnya belum terkoreksi, dia bisa mencari lagi tempat bekerja dengan anak," jelasnya.
(eyt)