Santri Tewas Dianiaya, Pesantren Akui Kecolongan dan Minta Maaf

Sabtu, 24 Agustus 2019 - 16:24 WIB
Santri Tewas Dianiaya, Pesantren Akui Kecolongan dan Minta Maaf
Kuasa Hukum Agus Sholahuddin (kiri), Pengasuh Pesantren Mambaul Ulum Makhfuddin Akbar (tengah) saat konferensi pers.Foto/SINDONews/Tritus Julan
A A A
MOJOKERTO - Pengasuh Pesantren Mamba'ul Ulum, Desa Awang-awang, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto, mengaku kecolongan. Terkait insiden penganiayaan santri oleh pengurus keamanan hingga tewas.

Pengasuh pesantren Mamba'ul Ulum juga meminta maaf kepada pihak keluarga dan warga masyarakat atas insiden tersebut. Menurut pihak pesantren, aksi penganiayaan baru terjadi kali ini, sejak pesantren tersebut didirikan pada 68 tahun silam.

"Pondok memang kecolongan dalam hal ini. Pondok meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada wali santri, pesantren-pesantren lain, yang mana mungkin ada kelalaian atau kelengahan kami dalam mengawasi santri," kata penasihat hukum Pesantren Mamba'ul Ulum, Agus Sholahuddin, Sabtu (24/8/2019).

Selain itu, pesantren Mamba'ul Ulum juga siap untuk mengikuti proses hukum yang saat ini sudah berjalan. Mereka juga menyerahkan sepenuhnya kasus penganiayaan yang dilakukan pengurus keamanan pondok WN, 17, asal Desa Pandanarum, Kecamatan Pacet, Mojokerto itu ke pihak kepolisian.

Menurut Sholahuddin, selama ini di pesantren Mamba'ul Ulum tidak pernah sekalipun melakukan pembiaran terhadap tindakan penganiayaan. Meski diakui ada sanksi yang diberikan kepada santri yang melanggar tata tertib pesantren. Namun, sanksi itu bukan berupa hukuman fisik.

"Apabila ada yang melanggar, santri di sini disuruh menghafalkan surat-surat pendek, praktik ibadah dan sebagainya. Ada denda uang yang itu dikumpulkan di akhir tahun untuk digunakan kegiatan santri. Tidak ada yang mengajarkan tentang kekerasan," kata dia.

Selama ini, kata Sholahuddin, pihak pesantren sudah melakukan pengawasan terhadap para santri. Namun tak bisa dipungkiri, insiden penganiayaan hingga membuat AR, 16, santri asal Kelurahan Sepanjang, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo, meninggal dunia itu merupakan sebuah kelalaian.

"Terkait masalah pengawasan, saya kira seluruh asatid (orang yang dituakan di pesantren) sudah mengawasi. Namun, namanya manusia itu kadang-kadang lelah. Tapi waktu itu saya tanya, ustad mengetahui ada santri yang keluar, tapi tidak tahu apa yang terjadi," jelas dia.

Untuk itu, lanjut Sholahuddin, ke depan pihak pesantren bakal lebih meningkatkan pengawasan kepada para santri agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi. Tak hanya itu, Sholahudin pun memastikan, dalam kasus ini tidak ada dendam pribadi antara pelaku dan korban.

"Sesuai dengan BAP yang saya juga ikut menandatangani karena saya penasehat hukum WN, tidak ada persoalan pribadi. Ini murni tindakan spontan. Keluarga korban dan pelaku sudah bertemu, kemudian saling maaf-maafan. Itu juga tertuang dalam perjanjian perdamaian," pungkas Sholahuddin.

Diberitakan sebelumnya, AR, santri pesantren Mamba'ul Ulum yang masih duduk di bangku kelas X SMA tewas saat menjalani perawatan medis di RS Sakinah, Mojokerto. Dia mengalami penganiayaan di dalam kamar ponpes pada Senin (19/8/2019) malam.

WN menendang AR hingga membentur tembok. Lantaran AR dianggap keluar lingkungan pondok tanpa izin. Akibat benturan itu, AR mengalami luka parah di kepala dan langsung dilarikan ke RSUD Prof dr Soekandar, Mojosari, hingga akhirnya dirujuk ke RS Sakinah.

Kasus ini kemudian ditangani pihak kepolisian. Polisi memeriksa empat orang, salah satunya WN. Petugas juga sudah menggelar olah Tempat Kejadian Perkara (TKP) terkait dengan kasus penganiayaan berujung maut ini.

Satu orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Yakni WN, pengurus keamanan pondok yang juga santri senior. Dari hasil pemeriksaan, WN sengaja menganiaya AR hingga mengakibatkan ia tewas. Tengkorak kepala bagian belakangnya pecah.
(nth)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.8143 seconds (0.1#10.140)