Disertasi Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital Dikritisi Penguji

Selasa, 03 September 2019 - 07:00 WIB
Disertasi Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital Dikritisi Penguji
Disertasi Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital Dikritisi Penguji. Ilustrasi
A A A
YOGYAKARTA - Disertasi mahasiswa S3 Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, Abdul Azis tentang “Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital” telah disidangkan melalui ujian terbuka, Rabu (28/8/2019).

Abdul Aziz dinilai telah melakukan penelitian secara objektif dan sesuai dengan aturan-aturan akademik, tentang penafsiran Muhammad Syahrur atas istilah Milk Al-Yamin. Hanya saja Abdul Aziz tetap dituntut mampu mendeskripsikan pandangan dan penafsiran Syahrur atas kata tersebut. Terutama pandangan Syahrur bahwa Milk Al-Yamin itu tidak hanya budak, tetapi ‘semua orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual’.

Dimana pendapat Syahrur ini dikaji dan dikritisi Abdul Aziz, baik dari segi linguistik maupun dari sisi pendekatan gender. Hanya saja kritikannya masih belum sempurna dan belum komprehensif. Karena itu, di ujian terbuka disertasi itu, baik promotor dan penguji mempertanyakan dan mengkritisi juga pandangan Syahrur ini.

Abdul Aziz meneliti konsep Milk Al-Yamin ala Muhammad Syahrur karena prihatin terhadap maraknya kriminalisasi, stigmatisasi dan pembatasan akses terhadap orang yang melakukan hubungan seksual non marital. Meski begitu ia menyadari konsep ini susah diterapkan karena mengandung bias gender lantaran melarang wanita yang sudah menikah untuk melakukannya dan hanya membolehkan laki-laki. Sehingga perlu ada pembahasan.

Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Yudian Wahyudi yang juga sebagai ketua sidang disertasi Abdul Aziz mengatakan jika konsep itu diterapkan di Indonesia akan menghancurkan negara, dalam pemikiran Syahrur hubungan seks diluar nikah dengan batasan tertentu tidak melanggar syariat islam. Berbahaya karena akan menjadi legitiminasi seks di luar pernikahan yang sah.

“Ini sangat bahaya kalau dilegalkan dan akan meruntuhkan negara dari dalam. Itu harus diingat karena dengan konsep itu kami harus merombak meruntuhkan negara dengan cara melegalkan perkawianan yang tanpa syarat. Ini berarti negara akan hancur, maka kami menggangap ini persoalan serius,” paparnya.

Menurut Yudian negara pertama kali dibangun dari keluarga. Jika Indonesia belandaskan pendapat itu akan menimbulkan permasalahan sosial. Sehingga untuk diberlakukan, pemahaman Syahrur tentang milk al-yamin harus ditambah akad nikah, wali, saksi dan mahar. Sebagai konsekuaensinya, kata-kata Syahrur: “Jika masyarakat menerima”, maka harus mendapatkan legitimasi dari ijmak.

Dalam konteks Indonesia, dibuat usulan melalui MUI kemudian dikirim ke DPR, agar disyahkan menjadi Undang-undang. Sebab tanpa proses ini pendapat Syahrur tidak dapat diberlakukan di Indonesia. “Dengan demikian, draf disertasi yang diujikan pada tanggal 28 Agustus harus direfisi sesuai dengan kritik dan saran para penguji,” terangnya.

Promotor disertasi Abdul Aziz, Prof Khoiruddin Nasution mengatakan disertasi yang ditulis Abdul Aziz membahas konsep milk al-yamin Muhammad Syahrur. Syahrur mengkontekstualkan konsep milk al-yamin dalam kehidupan kontemporer sekarang dengan beberapa perkawinan yang bertujuan memenuhi kebutuhan biologis, yakni nikah al-mut’ah, nikah al-muhallil, nikah al-‘irfi, nikah al-misyar, nikah al-misfar, nikah friend, nikah al-musakanah (samen leven).

Nikah-nikah sejenis ini sekarang umum dilakukan orang-orang Eropa, termasuk Rusia, dimana Syahrur hidup lama. “Secara hermenutika konteks inilah barangkali yang menginspirasi Syahrur,” terangnya.

Dalam disertasi, Abdul Aziz mengkritik konsep Syahrur, dengan menyebut tampaknya ada bias-bias subjektivitas pencetusnya. Di antara bias dimaksud barangkali adalah Syahrur ingin mengubah hukum zina yang didasarkan pada sentimen pribadi (politik), bukan atas pembuktian. Sebab pensyaratan pembuktian zina yang demikian ketat, menurut Syahrur, ingin menunjukkan agar janganlah mudah menghukum orang berzina.

“Sayangnya, dalam abstrak, Abdul Aziz tidak menulis kritik tersebut. Malah menyebut konsep Syahrur ini sebagai teori baru dan dapat dijadikan justifikasi keabsahan hubungan seksual non-marital. Kalimat terakhir ini juga yang menjadi bagian dari keberatan tim penguji promosi. Karena itu tim meminta Abdul Aziz menyempurnakan abstrak untuk disesuaikan dengan isi disertasi,” tandasnya.

Promotor disertasi Abdul Aziz lainnya Phil. Sahiron berpandangan penafsiran Syahrur terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tentang Milk Al-Yamin atau yang semisalnya itu cukup problematik. Problemnya terletak pada subyektivitas penafsir yang berlebihan yang dipengaruhi oleh wawasannya tentang tradisi, kultur dan sistem hukum keluarga di negara-negara lain.

“Subjektivitasnya yang berlebihan ini kemudian memaksa ayat-ayat Al-Qur’an agar sesuai dengan pandangannya, sehingga ayat-ayat tentang Milk Al-Yamin yang dulu ditafsirkan oleh para ulama dengan ‘budak’ dipahami oleh Syahrur dengan setiap orang yang diikat oleh kontrak hubungan seksual,” terangnya.

Selain itu, analogi antara budak dan orang yang diikat kontrak itu sangat simplisistik, karena hanya memandang satu aspek perbudakan, yakni seksualitas, padahal sisi lain yang harus diperhatikan dari perbudakan yang sudah ada jauh sebelum turunnya ayat-ayat milk al-yamin.

“Sisi lain yang saya maksud di sisi adalah ‘martabat kemanusiaan’ yang oleh ayat-ayat Al-Qur’an sangat dijunjung tinggi,” paparnya.

Selain dari promotor penguji disertasi Abdul Aziz juga turut mengkritisi pemikiran Syahrur, antara lain Agus Moh. Najib. Menurutnya konsep Milk Al-Yamin hanya terfokus pada “budak perempuan” yang dimaknai secara kontemporer, sehingga pembahasan yang dilakukan tidak komprehensif dan secara konseptual masih dipertanyakan, apalagi kemudian akan diterapkan dalam masyarakat.

“Pandangan Syahrur tersebut di samping secara teoritis masih diperdebatkan, juga secara paksis tidak sesuai dengan ‘Urf masyarakat muslim,” ungkapnya.

Penguji lainnya Prof. Euis Nurlaelawati, mengatakan disertasi ini merupakan kajian ilmiah atas pemikiran seorang tokoh, yaitu Syahrur. Penulis (Abdul Aziz) memahami bahwa dengan konsep milk al-yamin hubungan seksual di luar pernikahan diperbolehkan dalam Islam. Penulis menekankan bahwa Syahrur mengembangkan konsep ini untuk diterapkan di masa sekarang ini dalam beberapa bentuk pernikahan atau tepanya hubungan seksual, seperti nikah misyar, nikah pertemanan, dan lainnnya.

Sementara penguji Samsul Hadi mengatakan mengalihkan makna milk al-yamin kepada makna diperbolehkannya hubungan seks non-marital dalan bentuk nikah misyar, muhallih, samen leven dan lainnya, selain tidak sesuai dengan maksud diturunkannya perintah menikah untuk membentuk suatu keluarga yang abadi sakinah mawaddah dan rahmah, juga tidak sesuai dengan perwujudan kemaslahatan agama.

“Bahwa Islam menghendaki keadilan bagi semua manusia laki-laki dan perempuan. Pengalihan makna tersebut mengakibatkan perempuan menjadi korban dan bukan perlindungan dan keadilan. Dalam aspek lain, konsep Syahrur tersebut sangat tidak sesuai dengan prinsip penghormatan terhadap kaum ibu, dan bahwa kemuliaan laki-laki bisa dinilai ketika dia memuliakan wanita,” jelasnya.

Sementara penguji Alimatul Qibtiyah menilai pemikiran Syahrur soal milk al-yamin problematis terutama jika dilihat dari perspektif kesetaraan gender. Perspektif yang digunakan lebih menekankan kriteria perempuan yang boleh ‘dinikahi’ secara non-marital (nikah hanya untuk kepuasan seksual), tidak melihat dampak yang ditimbulkan terhadap istri pertama (istri yang di rumah), kesehatan reproduksi, hak-hak anak dan hak-hak perempuan dari ‘pernikahan’ non-maritalnya. Selain itu, hakikat pernikahan yang dipahami oleh jumhur ulama adalah perjanjian yang sakral dan kuat (mitsaqan ghalizhan), tidak sekadar menghalalkan hubungan seksual.

“Karena itu, ‘pernikahan’ non-marital dalam bentuk apapun tidak sesuai dengan hakekat pernikahan yang dipahami oleh kebanyakan ulama. ‘Pernikahan’ non-marital’ yang diprediksi akan mengurangi praktik poligami, sehingga perempuan terlindungi, maka sebenarnya hal itu justru menimbulkan ketidakadilan dalam bentuk lain, legalitas perselingkuhan, jadi argumentasi menjadi problematis,” ungkapnya.
(mif)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.8925 seconds (0.1#10.140)