PKBH SAPA dan UCY Kupas Kekerasan saat Pacaran

Selasa, 18 Desember 2018 - 21:31 WIB
PKBH SAPA dan UCY Kupas Kekerasan saat Pacaran
Dosen Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Andrie Irawan (kiri) saat menjadi pembicara dalam talkshow yang digelar PKBH SAPA dan UCY. FOTO/IST
A A A
YOGYAKARTA - Kasus kekerasan dalam pacaran mungkin jarang kita dengar dibanding kasus kekerasan dalam rumah tangga. Apalagi jika kasus kekerasan itu menimpa kaum difabel.

Nah, membahas masalah itu, Yayasan Sahabat Anak, Perempuan, dan Keluarga (SAPA) melalui Pusat Konsultasi dan Bantuan Hukum (PKBH) SAPA bekerja sama dengan Dewan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (Dema FH UCY) menggelar talkshow bertajuk "Dating Violence: Mitos atau Fakta?", Senin (17/12/2018).

Pendamping penyintas perempuan dan juru bahasa isyarat, Ramadhany Rahmi yang menjadi narasumber pertama menceritakan bagaimana pengalamannya sebagai pendamping penyintas perempuan pada pacaran dalam lingkaran komunitas remaja tuli. Banyak hambatan serta tantangan yang dihadapinya.

"Salah satunya adalah keterbatasan pemahaman penyandang tuli dalam mengintepretasikan sesuatu. Sehingga pendamping maupun juru bahasa isyarat lainnya harus secara perlahan menjelaskan serta juga detail," katanya.

Sementara itu, pemateri kedua Dosen Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Andrie Irawan SH MH mengupas mengenai kekerasan dalam pacaran dilihat dari aspek hukum. Menurutnya, ada beberapa bentuk kekerasan, seperti kekerasan fisik, kekerasan psikis atau emosional, kekerasan seksual, serta kekerasan ekonomi. "Cukup sulit untuk menjelaskan konsep adanya penipuan maupun bujuk rayu dan kebohongan kepada teman tuli pada kasus tersebut. Karena konsep itu dianggap asing oleh teman-teman tuli," kata Direktur PKBH SAPA ini.

Dosen psikologi Universitas Sarjana Wiyata Taman Siswa, Titik Mutiah yang juga menjadi pemateri secara gamblang menyebut ciri-ciri awal seseorang dapat menjadi seorang pelaku kekerasan dalam pacaran. "Salah satunya adanya sikap cemburu buta, pengekangan, serta menunjukkan sikap sering mengatur terhadap pasangannya," paparnya.

Dia juga menjelaskan mengenai siklus kekerasan dalam pacaran terjadi, dimulai dari fase bulan madu, yaitu hubungan terlihat masih baik-baik saja. Berlanjut pada fase ketegangan, yaitu fase hubungan yang mulai muncul perdebatan dan pertengkaran. Fase ketiga adalah fase terjadinya kekerasan yaitu salah satu pasangan melakukan kekerasan terhadap lainnya, kemudian fase penyesalan atau permohonan maaf. Siklus tersebut akan selalu berulang, ajeg, dan sangat mudah ditebak.

"Maka, jika di antara mahasiswa merasa dalam hubungannya sudah menunjukkan gejala seperti itu, sebaiknya dipikirkan kembali, apakah hal tersebut patut dipertahankan atau tidak. Karena, sorry is not enough," ungkapnya.

Talkshow ini merupakan agenda rutin akhir tahun dari SAPA, sekaligus juga digelar menyusul rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang puncaknya di diselenggarakan pada 10 Desember lalu. Acara ini juga sebagai gerakan solidaritas bersama untuk mendukung agar RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan. Hadir dalam acara tersebut Dekan Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Iin Suny Atmadja yang juga membuka acara.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.4611 seconds (0.1#10.140)