Soal Rencana Pembebasan 300 Koruptor, KPK Tak Diajak Koordinasi

Jum'at, 03 April 2020 - 10:35 WIB
Soal Rencana Pembebasan 300 Koruptor, KPK Tak Diajak Koordinasi
Rencana Kemenkumham membebaskan ratusan narapidana kasus korupsi guna menghindari penularan virus corona di LP perlu dikaji matang. Foto/ILustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) akan membebaskan 300 narapidana kasus korupsi guna menghindari penularan virus corona di lembaga pemasyarakatan (LP). Rencana ini perlu dikaji matang mengingat korupsi adalah kejahatan dengan dampak kerusakan yang besar sehingga pelakunya seharusnya tidak mudah mendapatkan keringanan hukuman.

Menteri Hukum dan HAM Yassona Laoly menyebut alasan membebaskan ratusan penghuni penjara tersebut, termasuk napi koruptor dan narkoba, karena pertimbangan kemanusiaan. Atas rencana tersebut Kemenkumham akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Namun, Kemenkumham juga dinilai perlu menjelaskan secara transparan kepada publik mengenai kondisi LP yang saat ini dihuni para koruptor, termasuk soal kecilnya kapasitas ruang tahanan yang terjadi. Pasalnya, selama ini publik sangat sering menerima informasi mengenai napi koruptor yang justru mendapatkan fasilitas mewah saat menjalani tahanan. Tanpa transparansi, kebijakan ini rentan memicu polemik luas dan pemerintah bisa dianggap tidak sungguh-sungguh berpihak pada pemberantasan korupsi.

Pelaksana Tugas Juru Bicara Bidang Penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri menyatakan, sebelum sebuah aturan diubah semestinya dikaji dulu secara matang dan sistematis. "Apabila fokus pengurangan jumlah napi untuk mengurangi wabah bahaya Covid-19, Kemenkumham semestinya menyampaikan secara terbuka ke publik bahwa yang kelebihan penghuni di LP saat ini dari jenis kejahatan apa," ujar Ali kepada wartawan di Jakarta kemarin.

Terkait kebijakan ini, Kemekumham tidak melakukan koordinasi apa pun dengan KPK. Menurut Ali, KPK melalui Biro Hukum tidak pernah diminta pendapat tentang substansi dari materi yang akan dimasukkan ke dalam perubahan PP Nomor 99/2012 tersebut.

Dalam konteks pencegahan korupsi, kata dia, KPK telah melakukan kajian terkait layanan LP yang juga mengidentifikasi persoalan overload yang ada. KPK telah menemukan dan mengidentifikasi potensi penyalahgunaan kewenangan sebagaimana perkara korupsi Wahid Husen selaku Kepala LP Sukamiskin yang ditangani KPK pada 2018.

Tindak lanjut kajian tersebut, dari 14 rencana aksi yang diimplementasikan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sejak 2019 baru 1 rencana aksi yang statusnya closed (selesai). "KPK meyakini jika rencana aksi tersebut telah dijalankan semuanya, persoalan terkait layanan LP, termasuk kelebihan penghuni sebenarnya dapat diselesaikan," katanya.

Ali menyebutkan, mengingat nyaris separuh dari penghuni LP dan rumah tahanan negara (rutan) adalah kasus narkoba, salah satu rekomendasi jangka menengah KPK dalam menekan overstay adalah mendorong revisi PP Nomor 99/2012, khususnya untuk pemberian remisi bagi pengguna narkoba.
"Jika dilakukan revisi terhadap PP tersebut KPK berharap tidak diberikan kemudahan bagi para napi koruptor. Mengingat dampak dan bahaya dari korupsi yang sangat merugikan negara dan masyarakat," ucapnya.

Terkait pencegahan penyebaran virus korona di LP, Kemenkumham berencana membebaskan sekitar 30.000 narapidana dewasa dan anak melalui program asimilasi dan integrasi. Napi yang bisa mendapatkan asimilasi harus memenuhi syarat menjalani 2/3 masa pidana pada 31 Desember 2020 dan telah menjalani 1/2 masa pidana pada 31 Desember 2020 bagi narapidana anak. Atas kebijakan ini Kemenkumahm menerbitkan Permenkumham Nomor 10/2020 dan Kepmen Hukum dan HAM Nomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi.

Dalam keputusan menteri tersebut dijelaskan bahwa salah satu pertimbangan membebaskan para tahanan adalah tingginya tingkat hunian di LP, rutan, termasuk lembaga pembinaan khusus anak. Kondisi ini membuat penghuni rentan terhadap penyebaran virus korona. Hanya, khusus napi korupsi dan narkotika tidak bisa diakomodasi karena terganjal PP 99/2012. Karena itulah Kemenkumham mengusulkan revisi terhadap peraturan tersebut.

Di lain pihak, Komisi III DPR meminta Kemenkumham memberikan daftar tertulis nama-nama orang yang akan ikut dalam program pembebasan 30.000 narapidana dan anak, termasuk di antaranya 300 napi koruptor yang menuai pro dan kontra di masyarakat.

Anggota Komisi III DPR Taufik Basari mengatakan, Komisi III akan mengawasi apakah sudah benar orang-orang yang nanti ikut dalam program ini adalah mereka yang memang memenuhi kriteria, atau sebaliknya ada napi yang seharusnya memenuhi kriteria namun tidak dimasukkan karena terlewatkan secara administratif atau karena ada kongkalikong.

"Komisi III akan melakukan pengawasan ketat agar tidak sembarang membebaskan orang, tidak sembarang memberikan asimilasi atau pembebasan bersyarat bagi orang-orang yang sebenarnya tidak memenuhi syarat menurut parameter yang sangat ketat," tutur Ketua Kelompok Fraksi Partai Nasdem ini kemarin.

Taufik meminta seluruh aparat yang terkait dalam program pembebasan napi ini agar tidak pernah berpikir menjadikan program ini sebagai kesempatan untuk kongkalikong, melakukan hal-hal di luar ketentuan hukum.

"Kami minta Menkumham melakukan tindakan tegas apabila ada oknum-oknum yang memanfaatkan situasi ini untuk melakukan kepentingan di luar kepentingan kita bersama, yakni mengurangi kecilnya kapasitas (penjara) dan menanggulangi penyebaran Covid-19 di LP. Tindakan tegas harus diberikan Menkumham kalau ada oknum-oknum yang bermain," pintanya.

Taufik menambahkan, Komisi III DPR tidak punya pilihan lain selain menyetujui usulan Menkumham untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99/2012. Selain untuk mengurangi jumlah napi di dalam LP yang memang kapasitasnya terbatas, para napi adalah kelompok yang rentan terkena Covid-19. Langkah ini tidak hanya dilakukan Pemerintah Indonesia, namun juga sejumlah negara lain seperti Iran, Afghanistan, termasuk Amerika Serikat (AS).

"Kebijakan ini memang suatu keharusan yang dihadapi negara, terlebih lagi di Indonesia ada problem lain yaitu kelebihan penghuni LP yang kalau tidak dilakukan langkah ini maka kita sedang mempertaruhkan nyawa para napi," tuturnya.

Menurut Taufik, kebijakan ini menjadi penting karena para napi adalah kelompok orang yang tidak bisa hidup mandiri, namun bergantung kepada pemerintah. Dari kebutuhan makan, minum, hingga lainnya. "Terhadap kelompok yang tidak bisa mandiri dalam menentukan dirinya ini, pemerintah memang harus mengambil satu kebijakan penting," katanya.

Mengenai polemik 300 napi koruptor yang juga akan dibebaskan, Taufik berpendapat, berdasarkan prinsip-prinsip hukum dan HAM, ketika ada suatu kebijakan untuk napi maka tidak boleh ada perlakuan diskriminatif.

"Konteksnya bicara soal napi, semua napi harus dilihat sama dan memiliki hak yang sama sebagai napi, terlepas dari apa pun latar belakang kasusnya," ujar Taufik. (Sabir Laluhu/Abdul Rochim)
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.1768 seconds (0.1#10.140)