Dosen UGM Sukses Kembangkan Alat Pengolah Limbah Batik

Kamis, 30 Januari 2020 - 15:00 WIB
Dosen UGM Sukses Kembangkan Alat Pengolah Limbah Batik
Dosen Departemen Kimia FMIPA UGM Roto menunjukkan alat pengolah limbah batik Electro-De yang dikembangkan. Foto/Dok Humas UGM
A A A
YOGYAKARTA - Dua dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) bersama peneliti Kochi University of Technology Jepang berhasil mengembangkan alat pengolah limbah batik. Dengan alat yang diberi nama Electro-DE (Electrolytic-Dye Eater) air limbah batik mendekti ambang normal, sehingga saat dibuang ramah lingkungan.

Pengajar dari UGM itu adalah Roto, dosen Departemen Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) dan Ahmad Kusumaatmaja, dosen Departemen Fisika FMIPA. Sementara peneliti dari Kochi University adalah Fean D Sarian.

Roto menjelaskan, pengembangan alat ini karena pengelolaan limbah yang dilakukan perajin batik masih dilakukan secara manual dan tradisional seperti model penyulingan, filtrasi dengan pasir dan ijuk, serta diendapkan di beberapa tahapan yang belum bisa menghasilkan air bening. Pengolahan seperti itu hanya menyaring padatan, sedangkan zat kimia dan zat warnanya tidak terproses, masuk ke tanah. Jika masuk ke sumber mata air maupun sumur, maka bisa membahayakan kesehatan saat dikonsumsi.

"Itulah awal pengembangan alat pengolah limbah batik ini," kata Roto, Kamis (30/1/2020).

Roto mengatakan, Electro-DE dirancang berbasis teknologi elektrokimia dengan menggunakan elektroda khusus. Dilengkapi dengan radiasi untuk mempercepat pemecahan zat warna menjadi senyawa yang ramah lingkungan dan dalam bentuk portabel berukuran 40 x 50 x 60 cm. Dengan bentuk ini mesin mudah dipindah-tempatkan.

"Dalam pengoperasiannya dapat dilakukan dengan mode automatik maupun manual dan membutuhkan daya sebesar 500 watt," katanya.

Mesin ini mampu menampung limbah cair berkapasitas 50 liter dengan konsentrasi zat warna maksimal 100 mg/L. Dalam sehari, mesin dapat beropreasi non-stop hingga 8-10 jam dengan kemampuan memproses limbah 500 liter per hari. Untuk satu kali proses pengolahan limbah memakan waktu sekitar 1 jam hingga menghasilkan air yang mendekatai batas ambang baku, yaitu kadar zat warna dari 100 mg/L menjadi <0,1 mg/L.

"Alat pengolah limbah batik ini mampu menghancurkan limbah zat warna, khususnya limbah industri batik kecil dan menengah. Proses penghancuran limbah dilakukan secara kimia yakni melalui metode elektrolisis," katanya.

Air hasil pengolahan limbah bukan hanya bisa digunakan kembali untuk proses batik berikutnya.Namun juga aman dibuang ke saluran air karena sudah memenuhi baku mutu limbah industri yang meliputi BOD, COD, TDS, pH, kadar logam berat dan lainnya.

Menurut Roto alat yang dikembangkan sejak tahun 2017 silam ini telah didaftarkan paten dan ditargetkan bisa segera dikomersialisasikan pada tahun 2020 ini. “Kalau diproduksi secara massal satu unitnya sekitar Rp 80 juta dan bisa dipakai hingga 20 tahun kedepan,” ungkapnya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.3300 seconds (0.1#10.140)