Nuwi Ulung, Tradisi Menang Perang Suku Dayak Lundayeh

Senin, 02 Maret 2015 - 05:00 WIB
Nuwi Ulung, Tradisi Menang Perang Suku Dayak Lundayeh
Nuwi Ulung, Tradisi Menang Perang Suku Dayak Lundayeh
A A A
Suku Dayak Lundayeh punya tradisi mendirikan tiang atau Nuwi Ulung jika berhasil memenangkan peperangan.

Tradisi ini merupakan salah cerminan budaya yang dipertahankan oleh suku yang saat ini paling banyak mendiami Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara (Kaltara).

Dalam tradisi mereka zaman dahulu, sudah memahami bagaimana membuat sebuah identitas pada wilayah mereka. Salah satunya adalah dengan mendirikan sebuah tiang tinggi yang terbuat dari kayu.

“Dahulu, Nuwi Ulung itu merupakan perayaan atas kemenangan usai berperang. Tradisi ini muncul karena zaman dulu itu memang sering perang antarsuku,” kata seorang warga Lundayeh, Jouwens Sandra Jonathan.

Seiring perkembangan zaman, tradisi Nuwi Ulung tak lagi melambangkan kemenangan usai berperang di medan perang.

Nuwi Ulung bisa menjadi simbol rasa syukur dan rasa persatuan antar berbagai suku dan agama di Indonesia.

Prosesi pendirian tiang melibatkan banyak orang, sehingga warga dari suku lain juga dilibatkan.

Bupati Malinau Yansen Tipa Padan, dalam sebuah perbincangan dengan Sindonews, menjelaskan, tradisi Nuwi Ulung ini dahulunya merupakan pertanda kemenangan usai peperangan.

Seiring waktu, peperangan tak hanya dalam bentuk fisik, namun juga perlawanan atas berbagai kekuatan jahat.

Kekuatan jahat ini, harus diperangi agar memberikan kemakmuran, kenyamanan, dan ketenteraman bagi warga. Simbol Nuwi Ulung sebagai pertanda kemenangan itu. Di zaman modern saat ini, Nuwi Ulung kini disimbolkan sebagai rasa syukur.

“Warga Dayak Zaman dahulu kan memahami jika ada yang menguasai alam ini. Kalau kita sekarang disebut sebagai tuhan. Nah, berkomunikasi dengan alam ini yang dilakukan oleh warga. Sebagai bentuk rasa syukur, dan dilambangkan dengan mendirikan ulung (tiang),” kata Yansen.

Salah satu contoh pendirian ulung sebagai wujud rasa syukur ini dilakukan saat Festival Irau yang dilaksanakan di Malinau, Bulan Oktober 2014 lalu. Pusat kegiatan dilaksanakan di Alun-alun Kabupaten Malinau, Kompleks Kantor Bupati Malinau.

Saat itu, pendirian tiang dilakukan sebagai bentuk kesyukuran atas pembangunan yang terus berjalan, sehingga Kabupaten Malinau tak lagi tertinggal.

Daerah ini adalah salah satu kabupaten yang berada di pedalaman Kalimantan, dan berbatasan langsung dengan Malaysia.

Kisah kehidupan masyarakat perbatasan sudah banyak diulas di berbagai media. Isi beritanya tentu saja cerita miris kehidupan masyarakat perbatasan yang sangat bergantung dengan negara tetangga.

Meski pembangunan bertahap, warga mulai merasakan pembangunan, terutama di kawasan terpencil, terisolir, dan pedalaman.

Ketergantungan dengan negara tetangga mulai terkikis. Atas dasar itu, upacara Nuwi Ulung digelar.

“Peperangan tidak hanya di medan perang. Perang melawan keterbatasan dan keterisoliran juga perang yang butuh energi sangat banyak. Kalau kita berhasil membuka banyak akses ke perbatasan dan kawasan terisolir, itu juga merupakan kemenangan,” ujar Yansen.

Sebelum Nuwi Ulung digelar, dilaksanakan upacara Ngukub Fulung terlebih dahulu. Upacara ini adalah upacara yang diselenggarakan untuk menjalin hubungan dengan alam agar diperkenankan membuka hutan untuk mengolah ladang dan diberikan hasil yang maksimal.

Upacara ini menyimbolkan kegiatan manusia, mulai dari mencari lokasi, menyiapkan lahan, menanam hingga menuai hasil.

Sedangkan, Nuwi Ulung adalah upacara adat yang bertujuan sebagai tanda kemenangan di medan perang yang digambarkan berdirinya Ulung atau tiang disamping Buaye Tana atau patung buaya.

Buaya ini digambarkan sebagai sebuah kekuatan yang tidak dapat ditaklukkan oleh kekuatan manusia.

Tiang tinggi yang didirikan memerlukan banyak bantuan manusia. Bahkan untuk mendirikan tiang, diperlukan empat utas tali yang besar. Setiap tali dipegang oleh puluhan orang.

“Pendirian Ulung ini melambangkan persatuan. Sebagaimana kita lihat bersama tadi, pendirian Ulung dilakukan oleh tidak hanya masyarakat Dayak Lundayeh, tapi juga berbagai etnis masyarakat yang ada. Bahkan ada pula dari TNI dan Polri,” kata Yansen.

Setelah Ulung berdiri tegak, maka Buaye Tana dimusnahkan melalui tarian pemusnahan. Persis disamping Ulung ini dibuatkan patung buaya yang sangat besar.

Setiap orang, dipimpin oleh Fadan Liu Burung, melakukan tarian sambil berpegangan pundak mengelilingi Ulung dan Buaye Tana. Mereka yang terlibat mendirikan Ulung juga ikut dalam tarian ini.

Fadan Liu Burung adalah nama dan sekaligus gelar seorang pemimpin dan pahlawan Suku Lundayeh yang menurut legenda memiliki kharisma dan kekuatan yang tak tertandingi oleh siapapun. Bupati Yansen dinobatkan menjadi Fadan Liu Burung saat ini.

Sebagai seorang Fadan Liu Burung, Yansen lalu memimpin ritual pemusnahan buaya yang disimbolkan sebagai kekuaatan jahat di darat dan di air.

Dia mengangkat sebilah mandau. Sebelum ditebaskan ke tubuh Buaye Tana, ada mantra yang dibacakan sebagai simbol kemenangan.

“Keanekaragaman itu yang menyatukan dalam membangun Malinau ini. Mendirikan ulung atau tiang atau tugu ini, mereka mendirikannya bersama-sama, tidak pandang itu dari suku mana.,” kata Yansen.

Dia menjelaskan, budaya itu adalah aset bangsa. Dalam konteks Bhineka Tunggal Ika, keragaman ini harus dimanfaatkan dalam pembangunan. Nilai keberagaman ini akhirnya bisa menjadi satu kekuatan.

“Ulung ini bukan barang yang ringan, tidak bisa didirikan oleh satu dua orang. Tidak juga bisa didirikan oleh satu dua suku. Kebersamaan dari keragaman itu yang menghasilkan Ulung bisa berdiri tegak,” paparnya.

Yansen menambahkan, posisi pendirian Ulung ini kini dijadikan titik nol kilometer Kabupaten Malinau.

Ini menandakan, Ulung yang dibangun dari keragaman akan menyimbolkan pusat gerak Kabupaten Malinau.

Ulung ini juga menjadi penanda, menggambarkan kemenangan masyarakat Malinau melawan segala keterbatasan.

Upacara ini ditutup dengan Maman Merarar yakni makan bersama. Makanan disajikan adalah nasi, bentuknya seperti tumpeng besar, dikelilingi oleh sayur mayur dan sejumlah lauk pauk.

Setiap anak, akan menyuapi orangtuanya terlebih dahulu sebagai simbol kewajiban anak kepada orangtua yang telah bersusah payah membesarkan.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.1525 seconds (0.1#10.140)