Ruwatan, Tradisi yang Hampir Dilupakan

Sabtu, 27 Desember 2014 - 06:04 WIB
Ruwatan, Tradisi yang Hampir Dilupakan
Ruwatan, Tradisi yang Hampir Dilupakan
A A A
KENDAL - Seiring perkembangan zaman, tradisi ruwatan hampir dilupakan orang. Namun, upaya untuk mempertahankan tradisi Jawa tersebut, terus dilakukan.

Sejumlah orang berpakaian Jawa lengkap dengan blangkon berkumpul di sebuah pendopo di Kampung Djawa Sekatul, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal. Nuansa Jawa tampak bukan hanya dari pakaian yang dikenakan, melainkan juga dengan tindak tanduk orang-orang yang penuh tata krama.

Pemandangan itu kental terlihat dalam kegiatan Sarasehan Ruwatan Sukerta dengan tema Ruwatan sebagai Media Pembersihan Diri. Hadir dua narasumber yakni Rama Sudiatmana (budayawan) dan Teguh Supriyanto (akademisi Unnes).

Ruwatan merupakan ritual khusus dan bertujuan untuk membersihkan diri dalam tradisi Jawa. Namun, tradisi tersebut dinilai sudah mulai pudar seiring perkembangan zaman. Untuk itu, sarasehan kali ini bertujuan mempertahankan salah satu tradisi Jawa tersebut.

Pemilik Kampung Djawa Sekatul Kanjeng Pangeran Harya Adipati (KPHA) Djojo Nagoro mengatakan bahwa tradisi ruwatan memiliki makna mengajar manusia untuk membersihkan diri, berbuat baik, berhati-hati, dan menghindarkan diri dari sengkala.

"Ruwatan tradisi yang dijunjung tinggi orang Jawa untuk membersihkan dari dosa dan kesalahan agar terhindar dari sengkala atau rintangan hidup yang diakibatkan energi negatif dalam diri," ujarnya di sela acara, kemarin.

Prosesinya bisa dilakukan dengan banyak hal, mulai dari upacara pagelaran wayangan, upacara sesaji dan berkorban, mandi kembang setaman, memakai pakaian serba putih dan ritual doa memohon keselamatan pada sang hyang widhi yakni Dewi Sri (dewi pemberi rezeki), dan menjauhkan dari batara kala atau berbagai keburukan yang dapat menimpa seseorang.

"Tradisi ruwatan itu dilakukan sesuai tradisi yang ada. Misalkan hanya memiliki satu anak baik perempuan atau laki-laki, maka disebut ontang-anting. Anak itu harus diruwat agar terhindar dari segala mara bahaya," jelasnya.

Ruwatan juga berlaku bagi pasangan pengantin yang ingin menikah, yakni dengan melihat hari kelahiran masing-masing calon.

"Memang terkesan tradisi Jawa ribet, tapi sebetulnya ini adalah upaya berhati-hati agar hidupnya bisa selamat," tandasnya.

Menurutnya, tradisi ruwatan tidak berbatas dengan agama yang dianut masyarakat. Artinya, tradisi ruwatan bisa dilaksanakan oleh pemeluk agama tanpa menyalahi akidah.

"Ruwatan yang memiliki nilai tinggi dan mengajaran manusia akan kebaikan tersebut justru banyak ditinggalkan oleh masyarakat Jawa. Ibarat kata, ruwatan adalah sikap pasrah terhadap ketentuan Tuhan disertai dengan doa dan perilaku kebaikan agar terhindar dari keburukan."

Ketua Panitia Kanjeng Raden Tumenggung Setijo Negoro mengatakan, dialog ruwatan tersebut diikuti seratus peserta, terdiri berbagai aliran kepercayaan, budayawan, akademisi, tokoh agama dan tokoh masyarakat, serta tokoh-tokoh kerajaan-kerajaan di Jawa.

"Harapannya ruwatan ini bisa kembali hidup di bumi Jawa ini," tandasnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.7990 seconds (0.1#10.140)