Perjalanan Panjang Rupiah Menjadi Mata Uang

Senin, 20 Oktober 2014 - 05:00 WIB
Perjalanan Panjang Rupiah Menjadi Mata Uang
Perjalanan Panjang Rupiah Menjadi Mata Uang
A A A
Tanggal 2 November 1949, kemudian dijadikan hari ditetapkannya rupiah sebagai mata uang resmi Bangsa Indonesia. Lalu, mata uang rupiah dicetak, serta diatur pengunaannya oleh Bank Indonesia.
Sehingga, tak heran, jika keberadaan Bank Indonesia tak bisa dilepaskan dari eksistensi rupiah.

Meskipun, saat itu Kepulauan Riau dan Irian Barat memiliki variasi rupiah mereka sendiri, tetapi penggunaan mereka dibubarkan pada 1964 di Riau dan 1974 di Irian Barat.

Pemerintah memandang perlu mengeluarkan mata uang sendiri, selain berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah, juga dijadikan lambang utama negara yang sudah merdeka.

Rupiah berasal dari perkataan Rupee, satuan mata uang India. Indonesia telah menggunakan mata uang Gulden Belanda dari 1610 hingga 1817. Setelah 1817, dikenalkan mata uang Gulden Hindia Belanda.

Mata uang rupiah pertama kali diperkenalkan secara resmi pada waktu Pendudukan Jepang sewaktu Perang Dunia ke-2, dengan nama rupiah Hindia Belanda. Setelah berakhirnya perang, Bank Jawa (Javaans Bank, selanjutnya menjadi Bank Indonesia) memperkenalkan mata uang rupiah jawa sebagai pengganti.

Mata uang Gulden NICA yang dibuat oleh sekutu dan beberapa mata uang yang dicetak kumpulan gerilya juga berlaku pada masa itu.

Rupiah merupakan mata uang yang boleh ditukar dengan bebas, tetapi didagangkan dengan pinalti disebabkan kadar inflasi yang tinggi. Mata uang baru dalam sejarah nilai fungsi uang dan jenis-jenis uang, serta pembuatannya ternyata mengalami banyak cerita dan sejarah.

Keadaan ekonomi di Indonesia pada awal kemerdekaan ditandai dengan hiperinflasi akibat peredaran beberapa mata uang yang tidak terkendali, sementara pemerintah Republik Indonesia belum memiliki mata uang.

Ada tiga mata uang yang dinyatakan berlaku oleh pemerintah Republik Indonesia pada 1 Oktober 1945, yaitu mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang De Javasche Bank.

Di antara ketiga mata uang tersebut yang nilai tukarnya mengalami penurunan tajam adalah mata uang Jepang. Peredarannya mencapai empat miliar, sehingga mata uang Jepang tersebut menjadi sumber hiperinflasi.

Lapisan masyarakat yang paling menderita adalah petani, karena merekalah yang paling banyak menyimpan mata uang Jepang.

Kekacauan ekonomi akibat hiperinflasi diperparah oleh kebijakan Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) Letjen Sir Montagu Stopford yang pada 6 Maret 1946 mengumumkan pemberlakuan mata uang NICA di seluruh wilayah Indonesia yang telah diduduki oleh pasukan AFNEI.

Kebijakan ini diprotes keras oleh pemerintah Republik Indonesia karena melanggar persetujuan bahwa masing-masing pihak tidak boleh mengeluarkan mata uang baru, selama belum adanya penyelesaian politik. Namun, protes keras ini diabaikan oleh AFNEI.

Mata uang NICA digunakan AFNEI untuk membiayai operasi-operasi militernya di Indonesia dan sekaligus mengacaukan perekonomian nasional, sehingga menyebabkan krisis kepercayaan rakyat terhadap kemampuan pemerintah Republik Indonesia dalam mengatasi persoalan ekonomi nasional.

Karena protesnya tidak ditanggapi, maka pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan yang melarang seluruh rakyat Indonesia menggunakan mata uang NICA sebagai alat tukar. Langkah ini sangat penting karena peredaran mata uang NICA berada di luar kendali pemerintah Republik Indonesia, sehingga menyulitkan perbaikan ekonomi nasional.

Karena AFNEI tidak mencabut pemberlakuan mata uang NICA, maka pada 26 Oktober 1946 pemerintah Republik Indonesia memberlakukan mata uang baru ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai alat tukar yang sah di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Sejak saat itu, mata uang Jepang, mata uang Hindia Belanda, dan mata uang De Javasche Bank dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian, hanya ada dua mata uang yang berlaku yaitu ORI dan NICA. Masing-masing mata uang hanya diakui oleh yang mengeluarkannya.

Jadi ORI hanya diakui oleh pemerintah Republik Indonesia dan mata uang NICA hanya diakui oleh AFNEI. Rakyat ternyata lebih banyak memberikan dukungan kepada ORI.

Hal ini mempunyai dampak politik bahwa rakyat lebih berpihak kepada pemerintah Republik Indonesia daripada pemerintah sementara NICA yang hanya didukung AFNEI.

Untuk mengatur nilai tukar ORI dengan valuta asing yang ada di Indonesia, pemerintah Republik Indonesia pada 1 November 1946 mengubah Yayasan Pusat Bank pimpinan Margono Djojohadikusumo menjadi Bank Negara Indonesia (BNI).

Beberapa bulan sebelumnya pemerintah juga telah mengubah bank pemerintah pendudukan Jepang Shomin Ginko menjadi Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan Tyokin Kyoku menjadi Kantor Tabungan Pos (KTP) yang berubah nama pada Juni 1949 menjadi Bank tabungan Pos dan akhirnya di tahun 1950 menjadi Bank Tabungan Negara (BTN).

Semua bank ini berfungsi sebagai bank umum yang dijalankan oleh pemerintah Republik Indonesia. Fungsi utamanya adalah menghimpun dan menyalurkan dana atau uang masyarakat serta pemberi jasa di dalam lalu lintas pembayaran.

Jauh sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat perdagangan internasional. Sementara, di daratan Eropa muncul lembaga perbankan sederhana, seperti Bank van Leening di negeri Belanda. Sistem perbankan ini kemudian dibawa oleh bangsa barat yang mengekspansi nusantara pada waktu yang sama.

VOC di Jawa pada 1746 mendirikan De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang lahir di nusantara, cikal bakal dari dunia perbankan pada masa selanjutnya.

Pada 24 Januari 1828, pemerintah Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama De Javasche Bank (DJB). Selama berpuluh-puluh tahun, bank tersebut beroperasi dan berkembang berdasarkan suatu oktroi dari penguasa Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB Wet 1922.

Masa pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan Hindia Belanda untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia Belanda mengalami dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan Nederlandsche Indische Civil Administrative (NICA). Perbankan pun terbagi dua, DJB dan bank-bank Belanda di wilayah NICA sedangkan “Jajasan Poesat Bank Indonesia” dan Bank Negara Indonesia di wilayah Republik Indonesia.

Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB sebagai bank sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus bertahan hingga masa kembalinya Republik Indonesia dalam negara kesatuan.

Berikutnya sebagai bangsa dan negara yang berdaulat, Republik Indonesia menasionalisasi bank sentralnya. Maka sejak 1 Juli 1953 berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia, bank sentral bagi Republik Indonesia dengan mata uang rupiah hingga saat ini.

Sumber berita: www.rumahuang.com/diolah dari berbagai sumber
(lis)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6223 seconds (0.1#10.140)