Aidit, Jalan Panjang Menuju Demokrasi

Senin, 22 September 2014 - 05:05 WIB
Aidit, Jalan Panjang Menuju Demokrasi
Aidit, Jalan Panjang Menuju Demokrasi
A A A
AIDIT merupakan tokoh fenomenal yang berhasil membawa Partai Komunis Indonesia (PKI) menjadi ketiga terbesar di dunia, setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina (RRC). Keberhasilan Aidit dalam membangkitkan PKI, membuat namanya melegenda.

Seperti tokoh komunis yang lebih tua Tan Malaka, pembahasan tentang sosok Aidit selalu menimbulkan kontroversi. Perannya yang utama dalam PKI, dan dugaan keterlibatannya dalam Gerakan 30 September 1965, membuat sejarahnya dihilangkan selama 32 tahun lebih.

Ulasan singkat Cerita Pagi kali ini, merupakan satu dari sekian banyak usaha untuk membuka halaman-halaman yang hilang itu. Dalam penulisan ini, akan dipaparkan sekilas kemunculan Aidit dan keberhasilannya dalam membesarkan PKI.

Aidit mulai tampil dipentas politik nasional sejak tahun 1950. Namanya mulai melambung saat dirinya bersama tiga sahabat sehidup dan sematinya, yakni MH Lukman, Nyoto, dan Sudisman, berhasil menyingkirkan para pemimpin tua dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Aidit yang mewakili kelompok muda komunis, memulai karir politiknya dipermulaan tahun 1930. Pada 1939, Aidit telah menjadi pimpinan di organisasi kedaerahan Persatuan Timur Muda (PTM). Organisasi ini berisi orang-orang miskin dari keturunan minoritas, seperti Tionghoa, dan Arab.

Pada tahun yang sama, Aidit yang lahir 30 Juli 1923, bergabung dengan Barisan Muda Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Organisasi ini dipimpin Amir Syarifuddin. Di tahun ini juga, Aidit yang lahir dengan nama Achmad Aidit, mengubah nama depannya menjadi Dipa Nusantara.

Pada zaman itu, perubahan nama merupakan hal yang biasa dilakukan para pemuda. Kata Dipa merupakan kepanjangan dari Dipanegoro. Sedang kata Nusantara merupakan kata yang dipakai untuk menyebut Indonesia di zaman kerajaan. Dipa Nusantara sering disingkat menjadi DN.

Namun begitu, Aidit tetap mempertahankan nama belakangnya yang diambil dari sang ayah, yakni Abdullah Aidit. Saat itu, Aidit baru berusia 17 tahun. Selain Aidit, Hanafi juga mengubah namanya menjadi AM Hanafi. AM merupakan kepanjangan dari Anak Marhaen yang sering disingkat AM.

Perkenalan Aidit dengan Marxisme juga terjadi di tahun-tahun tersebut. Dia mulai membaca Das Kapital karangan Karl Marx, dan belajar Marxisme-Leninisme dari seorang tokoh komunis tua yang menghidupkan kembali partai itu sejak tahun 1945, yakni Muhammad Jusuf.

Perkenalan Aidit dengan M Jusuf membawa pengaruh kuat dalam perkembangan politiknya ke depan. Pada 1942, Aidit mulai aktif dalam gerakan buruh, dan menjadi Wakil Ketua Persatuan Buruh Angkutan. Aidit juga dipercaya memimpin sekolah politik Generasi Baru.

Setahun kemudian, pada tahun 1943, Aidit resmi menjadi anggota PKI, diajak oleh M Jusuf. Di tahun yang sama, Aidit mulai mengenal MH Lukman yang menjadi sahabat dekatnya. Perkenalan itu terjadi di bawah ancaman samurai Jepang, dan melahirkan organisasi antifasis.

Organisasi antifasisme itu kemudian diberi nama Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom), dan bergerak di bawah tanah. Usia gerakan ini sangat singkat. Para aktivis dan tokoh-tokohnya berhasil ditangkap Jepang, dan dihukum mati. Tetapi Aidit sanggup meloloskan diri.

Pada 1934, Aidit bergabung dengan Angkatan Muda (AM), dan ikut dalam Asrama Angkatan Baru Indonesia (AABI). Di asrama itu, Aidit mulai mengenal lebih dekat sejumlah tokoh-tokoh nasionalis, seperti Ir Sukarno, Muhammad Hatta, dan Amir Syarifuddin.

Di waktu yang sama, Aidit juga bergabung dengan Barisan Pelopor (BP), organisasi pemuda yang kemudian berganti nama menjadi Barisan Pelopor Istimewa (BPI), yang bertugas mengawal Sukarno.

Perkenalan Aidit dengan Sukarno selama di asrama dan BPI, membawa pengaruh yang sangat dalam terhadap pandangan politik nasionalis Aidit. Kedekatan Aidit dengan Sukarno mulai terjalin sejak itu.

Memasuki tahun 1945, Aidit bergabung dengan aktivis Pemuda Angkatan Baru (PAB). Organisasi ini merupakan salah satu organisasi yang terlibat dalam penculikan Soekarno-Hatta, di Rengasdengklok. Namun dalam peristiwa penculikan itu, Aidit dan MH Lukman tidak terlibat.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Aidit yang juga anggota Menteng Raya 31, mendirikan berbagai organisasi pemuda, di antaranya adalah Angkatan Muda Indonesia, Barisan Rakyat, dan Barisan Buruh. Organisasi itu merupakan penggerak Rapat Raksasa Ikada.

Akibat keterlibatannya dalam pengerahan massa di rapat itu, Aidit ditangkap tentara Jepang, dan dijebloskan ke penjara Bukit Duri. Namun dia berhasil meloloskan diri. Tetapi tertangkap lagi oleh tentara Inggris, lalu diserahkan kepada Pemerintah Belanda, dan dibuang ke Pulau Onrust, selama tujuh bulan.

Setelah dibebaskan, Aidit banyak menghabiskan waktu di organisasi partai. Saat itu, tahun 1947, PKI sedang melangsungkan Kongres ke-IV, dan Aidit terpilih menjadi anggota Central Committee (CC). Dia juga terpilih sebagai Ketua Fraksi PKI, dan menjadi anggota KNIP.

Memasuki tahun 1948, Aidit bekerja sebagai Sekretaris Dewan Eksekutif Front Demokrasi Rakyat (FDR), dan memimpin Partai Buruh dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Kemudian, pada September 1948, Aidit terpilih menjadi anggota Politbiro PKI.

Selama di parlemen, Aidit aktif mengumpulkan anggota-anggota KNPI dari sayap kiri, seperti Nyoto, Sudisman, Hasan Raid, dan Peris Pardede. Kelompok ini terdiri dari para pemuda komunis yang mendukung resolusi Jalan Baru untuk Indonesia yang digagas oleh Musso.

Sikap politik kelompok Aidit yang mendukung Jalan Baru Musso menemui jalan buntu, ketika terjadi Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Sejumlah tokoh PKI terlibat dalam aksi tersebut, di antaranya Soemarsono, Amir Syarifuddin, dan Musso.

Sedikitnya, ada sekitar 8.000 orang pendukung dan simpatisan PKI yang tewas dalam peristiwa itu. Termasuk Amir Syarifuddin dan Musso. Aidit sendiri selamat, setelah melarikan diri ke Singapura, dan Vietnam Utara, lalu ke China, dan kembali ke Indonesia, di pertengahan tahun 1950.

Tentang kaburnya Aidit ke Singapura dan Vietnam Utara, lalu ke China, sebelum akhirnya ke Indonesia, beberapa sumber menyebut kabar itu sengaja dibuat kelompok Aidit untuk mengelabui mata-mata Belanda.

Langkah Aidit dan kawan-kawannya berhasil. Setelah situasi dirasakan aman, Aidit yang berada di bawah tanah bersama Lukman, kembali muncul kepermukaan. Mereka lalu mengambil alih tampuk kepemimpinan partai dari tangan para pemimpin tua. Satu persatu pemimpin tua pun mulai disingkirkan.

Pemimpin dari golongan tua yang pertama disingkirkan adalah Wikana, dilanjutkan dengan Ngadiman Hardjosubroto, dan Tan Ling Djie. Dengan keluarnya para komunis tua itu, kelompok komunis muda yang diwakili Aidit dan kawan-kawannya berhasil menguasai pimpinan partai.

Pada 7 Januari 1951, Aidit terpilih menjadi Sekretaris Jenderal CC PKI, kemudian menjadi Ketua Umum CC PKI. Usia Aidit saat menjabat pimpinan PKI masih di bawah 30 tahun. Begitupun dengan sahabatnya, tidak ada yang usianya melebihi 30 tahun.

Di tangan golongan muda, PKI tumbuh dengan pesat menjadi partai yang kuat, dinamis, dan memiliki peran penting dalam percaturan politik nasional. Aidit sanggup membangun partai berbasis massa, dan memiliki anggota hingga tiga juta orang.

Pada tahun 1952, keanggotaan PKI hanya 7.000 orang, menjadi 150.000 orang di tahun 1954, dan 1,5 juta orang di tahun 1959. Jumlah itu terus meningkat hingga mencapai 3 juta orang di tahun 1965.

Demikian ulasan singkat Aidit, Jalan Panjang Menuju Demokrasi dalam penulisan Cerita Pagi ini diakhiri. Semoga menambah wacana sejarah pembaca. Sebagai rujukan, naskah ini memakai buku Komunisme Ala Aidit karya Peter Edman, tahun 2007.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5130 seconds (0.1#10.140)