Perjuangan Rakyat 1926-1927 dalam Karya Sastra

Jum'at, 08 Agustus 2014 - 05:05 WIB
Perjuangan Rakyat 1926-1927 dalam Karya Sastra
Perjuangan Rakyat 1926-1927 dalam Karya Sastra
A A A
KARYA sastra memiliki peran penting dalam penulisan sejarah Indonesia modern. Sebut saja karya pengarang besar Multatuli yang memotret sistem tanam paksa di abad ke-19, dan karya-karya Pulau Buru, hasil renungan mendalam pengarang kenamaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer yang lahir di abad ke-20.

Kendati berbeda zaman, kedua karya para pengarang besar itu memiliki karakter yang sama, yakni antikolonialisme. Terutama di dalam melakukan kritik terhadap sistem kolonial yang menindas, dan memotret peristiwa faktual yang terjadi pada masanya. Di luar hal itu, karya sastra tersebut memiliki daya dorong terhadap perubahan sistem masyarakat.

Sejarawan asal Belanda, Prof Drs G Termorshuizen dalam Pendahuluan buku Max Havelaar atau Lelang Kopi Persekutuan Dagang Belanda, terjemahan HB Jassin, terbitan Djambatan tahun 1972, pernah mengatakan, suatu karya sastra yang baik bisa menjadi tenaga sosial masyarakat.

Di situ, dia merujuk pada karya Multatuli atau Eduard Douwes Dekker dalam Max Havelaar. Sejak pertama kali diterbitkan dalam bahasa Belanda, di abad ke-19, karya itu langsung menguncang sistem Pemerintah Hindia Belanda, dan mendorong perbaikan tatanan masyarakat di bawah sistem kolonial tanam paksa.

Senada dengan Max Havelaar, Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer juga menggemparkan. Karya ini memiliki tenaga pendorong yang sangat kuat, di abad ke-20, terhadap kolonialisme. Terlebih, karya itu ditulis oleh pengarang yang berada di luar sistem itu dan sekaligus menjadi korbannya. Ini lah yang membedakannya dengan Max Havelaar.

Seperti diketahui, abad ke-20 merupakan zaman pencerahan bagi rakyat Indonesia. Di mana kesadaran masyarakat bumiputra sudah terbangun, dan mencapai titik klimaksnya dalam satu perjuangan rakyat bersenjata yang dilakukan secara nasional, dengan cita-cita Indonesia merdeka dari penjajahan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda.

Cerita pagi kali ini akan mengulas dengan singkat perjuangan itu, dengan merujuk pada sejumlah karya para sastrawan yang masih memiliki napas antikolonialisme, di tahun 1926-1927. Pemilihan topik ini untuk melihat secara faktual peristiwa yang terjadi saat itu.

Perjuangan rakyat tahun 1926-1927 menjadi sangat penting untuk diulas, karena memiliki ciri modern. Peristiwa ini dikenal juga dengan Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) atau Revolusi November. Ini lah tonggak perlawanan rakyat secara teroganisir di bawah sistem kolonial Belanda.

Pada tahun-tahun sebelumnya, sejak tahun 1800, rakyat juga sudah melawan. Tetapi cakupan perjuangannya sangat sempit atau lokal, tidak teroganisir, dan sifatnya tradisional. Tulang punggung gerakan ini adalah para petani.

Sejarawan terkemuka Indonesia, Sartono Kartodirdjo menyebutkan, ada beberapa perjuangan petani yang terlihat menonjol sejak abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di antaranya adalah Pemberontakan Cilegon tahun 1880, Gerakan Sidoarjo tahun 1904, Dermojoyo tahun 1907, Peristiwa Cimareme tahun 1919, dan Peristiwa Tangerang tahun 1924.

Perbedaan mencolok antara perjuangan secara tradisional dengan modern adalah corak perlawanannya. Para pelaku perlawanan rakyat yang bersifat tradisional, mengusung semangat perang suci atau sabil. Sedang pemberontakan modern, memiliki jiwa pembebasan nasional dan dimotori oleh organisasi modern.

Karena sifatnya itu, Perjuangan Rakyat 1926-1927 melibatkan semua elemen masyarakat, mulai dari petani, buruh, kiai, ulama, santri, jawara, dan kaum intelektual. Mereka juga bergerak melalui garis organisasi yang jelas dengan PKI sebagai ujung tombaknya.

Untuk mengetahui seberapa luas perjuangan itu, dan peran organisasi modern dalam peristiwa ini, baiknya dicantumkan petikan puisi berjudul Balada Api 26 Tak Pernah Mati karya Alifdal (salah satu nama pena dari Anwar Dharma), Redaktur Luar Negeri Harian Rakyat, organ resmi PKI.

Utusanutusan komite pemberontakan
Menyebar ke seluruh Nusantara
Membawa pesan
Ke Jakarta, Banten, dan Periangan
Ke Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan
Di manamana semangat menyala
Ke senjata, ke senjata
Partai di depan.


Untuk mengetahui bagaimana perlawanan itu meletus, dan daerah mana saja yang terjadi pergolakan, juga diungkapkan oleh Alifdal dalam puisinya. Bahkan, kenapa perlawanan itu bisa gagal tertuang dalam puisi ini.

Nyala api dicetuskan sudah
Berkobar-kobar menjilat merah
Jakarta-Kota, Jatinegara, dan Tangerang
Menes, Caringin, dan Labuan
Ciamis, Tasikmalaya, dan Padelarang
Solo, Boyolali, dan Banyumas
Kediri dan Pekalongan
Sawahlunto, Padang-Sibusuk, dan Silungkang
Dan rakyat di Kalimantan Barat
Bangkit perkasa bertekad bulat
Untuk merdeka, untuk bebas.

Meski pemberontakan dicetuskan
Komunis tak pernah surut di tengah jalan
Harus teruskan
Meski perang tidak seimbang
Tak pernah bimbang
Memang mereka kurang teori
Tapi mereka orang berani
Mereka pantang berkapitulasi
Bukan tukang likwidasi
Seperti Trotskis-trotskis dalam Pari.

Tentang adanya perpecahan dalam partai saat akan melangsungkan perlawanan, cerpen karya S Anantaguna, pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang diberi judul Sel D, memperkuat keterangan puisi Alifdal. Melalui percakapan para tokohnya, cerpen ini menggambarkan kebingungan para anggota partai. Seperti dipetik dalam pesan Pak Abdul Mutalib berikut ini:

"Yah. Meskipun semula kita belum menyetujui pemberontakan, tetapi Keputusan Perambanan, kata Pak Abdul Mutalib, bahwa rakyat sudah marah, karena Pemerintah Belanda makin menggila. Penderitaan, tekanan, kekangan sudah tidak tertahankan lagi, sehingga meletus juga pemberontakan."

Dalam percakapan itu, sang tokoh melanjutkan:

"Dalam keadaan seperti ini, jika Partai Komunis benar-benar mengabdi kepada rakyat, harus tampil ke depan. Partai kita adalah partainya kaum buruh dan tani. Jika massa menghendaki merah, tetapi kita menginginkan kuning, akan berarti partai kita mengkhianati massa. Partai kita berdiri karena dikehendaki massa, oleh kaum proletar dan kaum tani. Partai kita hidup dan matinya pun tergantung mereka."

Berikut pesan dari Pak Abdul Mutalib akhirnya ditutup:

"Apapun kesulitannya, risikonya, yang berontak harus dipimpin. Kita harus bersama-sama mereka, mati atau hidup."

Demikian percakapan dalam cerpen Sel D karya S Anantaguna dengan tepat menggambarkan kebingungan akibat perbedaan pandangan para pemimpin partai, dan peran partai dalam perjuangan. Hingga akhirnya, perlawanan meletus dan terjadi malapetaka. Tentang dampak perlawanan ini dikemukakan oleh Alifdal dalam puisinya sebagai berikut:

Ribuan diangkut ke pengasingan
Tanah Tinggi, Gudang Arang, dan Tanah Merah
Jauh, di hutan belantara Digul hulu
Namun mereka berlawan tak pernah menyerah
Karena mereka punya keyakinan:
"Suluh dinyalakan dalam malam-mu
Kami yang meneruskan kepada pelanjut angkatan."


Puisi lain yang juga menarik untuk dipetik dalam cerita pagi kali ini adalah karya Chalik Hamid, yang berjudul Kepada Aliarcham. Puisi ini penting, karena menggambarkan apa yang dirasakan tokoh Perjuangan Rakyat 1926-1927 selama di pembuangan, seperti ini:

Dalam pergaulan hidup dan derita
Ia tunjukkan keteguhan jiwa
"Suatu pemberontakan yang kalah
Adalah tetap benar dan sah.
Kita terima pembuangan ini
Sebagai risiko perjuangan yang kalah.
Tidak ada di antara kita yang salah
Karena kita berjuang melawan penjajah."


Kata-kata langsung dari Aliarcham sebelum meninggal di pembuangan, yang dimasukkan dalam puisi Kepada Aliarcham menjadi sangat. Kata-kata itu seolah menjawab perpecahan yang terjadi di tubuh partai sejak meletusnya perlawanan rakyat. Demikian ulasan singkat cerita pagi ini diakhiri, semoga memberikan manfaat.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7501 seconds (0.1#10.140)