Fakta sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 perlu dikaji lagi

Sabtu, 01 Maret 2014 - 06:50 WIB
Fakta sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 perlu dikaji lagi
Fakta sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949 perlu dikaji lagi
A A A
Sindonews.com - Fakta sebenarnya mengenai Serangan Umum (SU) 1 Maret masih perlu pengkajian dari para sejarawan, agar tidak terkesan hanya melanggengkan kepentingan dan penokohan terhadap pelaku yang terlibat dalam peristiwa SU 1 Maret tersebut. Tetapi lebih kepada memberikan kebenaran sejarah bagi generasi selanjutnya.

Dari berbagai literatur dan sumber yang didapat, peristiwa SU selama enam jam oleh anggota TNI dari Divisi III/GM III, pada 1 Maret 1949 terhadap Kota Yogyakarta menjadi catatan tersendiri bagi sejarah bangsa Indonesia. Tujuan SU 1 Maret adalah untuk menunjukkan pada dunia Internasional bahwa eksistensi Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih ada.

Karena dengan serangan selama enam jam tersebut TNI mampu mengadakan perlawanan terhadap tentara Belanda yang memiliki peralatan tempur lebih modern dibanding pasukan TNI dengan senjata seadanya. SU 1 Maret ini mampu menguatkan posisi tawar dari Republik Indonesia dan mempermalukan Belanda yang telah mengklaim bahwa RI sudah lemah.

Persoalannya, dalam perjalanan sejarah SU 1 Maret, ada beberapa fakta yang diputar balikkan dan direkayasa. Salah satunya, sejarah SU 1 Maret seolah hanya menokohkan seseorang yang paling berperan dan dominan dalam serangan tersebut, mulai dari penggagas yang masih menjadi perdebatan sampai dengan pelaksana serangan yang jelas-jelas menokohkan seseorang.

Selain itu, dalam buku-buku sejarah dan data-data sejarah tidak ada jawaban yang pasti mengenai siapa penggagas atau inisiator SU 1 Maret yang monumental tersebut.

Sejarawan DR Anhar Gonggong berpendapat bahwa penggagas SU 1 Maret bukan Soeharto, menurutnya inisiatif penyerangan seperti itu bukan berasal dari komandan brigade akan tetapi berasal dari pejabat yang lebih tinggi yaitu Panglima Divisi III, Kol Bambang Sugeng.

Hal ini berdasarkan tiga dokumen yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III, Kolonel Bambang Sugeng, yaitu:

  1. Perintah Siasat No. 4/S/Cop.I, tertanggal 1 Januari 1949 yang isinya antara lain: "... mengadakan perlawanan serentak terhadap Belanda sehebat-hebatnya... yang dapat menarik perhatian dunia luar...".

  2. Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949 dan,

  3. Perintah Siasat No. 9/PS/49, tertanggal 15 Maret 1949, yang berisi Perintah diberikan kepada komandan Wehrkreis I (Letkol Bachrun) dan II (Letkol Sarbini), untuk meningkatkan penyerangan terhadap tentara Belanda di daerah masing-masing, dalam upaya untuk mengurangi bantuan Belanda ke Yogyakarta dan tekanan Belanda terhadap pasukan Republik di wilayah Wehrkreis III yang membawahi Yogyakarta.

Sumber lain menyebutkan gagasan SU 1 Maret 1949 adalah inisiatif Panglima Besar Sudirman, sebab panglima Sudirman pucuk pimpinan militer tertinggi pada saat itu.
Bahkan Sultan Hamengkubuwono memberikan dukungan terhadap rencana ini.

Keterangan lain menyebutkan bahwa penggagas atau inisiator SU 1 Maret 1949 adalah dr Wiliater Hutagalung yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial yang bertugas membentuk jaringan di wilayah divisi II dan III.

Letkol Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman, dan kemudian dibahas bersama-sama yaitu:

  1. Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II dan III,

  2. Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III,

  3. Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,

  4. Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,

  5. Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional

Namun Sri Sultan HB IX, seperti dikutip buku Momoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno, pernah bertutur: “Sayalah yang semula membicarakan gagasan itu dengan Jenderal Sudirman yaitu minta izinnya untuk mendapatkan kontak langsung dengan Soeharto, ketika itu berpangkat mayor, untuk menjalankan tugas melaksanakan gagasan saya.” Hal itu juga terungkap dalam buku biografi Sultan HB IX, Takhta untuk Rakyat (1982).

Sedangkan, dalam buku 'Pak Harto Untold Stories' karya Mahpudi Cs, Soerjono yang saat itu menjadi staf Letkol Soeharto menyebut bahwa SU 1 Maret sudah dipersiapkan secara matang. Sejak sore hari para prajurit TNI telah memasuki Kota Yogyakarta dengan menyusup. Pos komando ditempatkan di Desa Muto. Malam hari, menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota.

"Sebelum serangan dilakukan, Pak Harto sering mengirim telik sandi (mata-mata) ke Kota Yogyakarta dan Keraton. Para komandan pun sering dipanggil untuk mematangkan strategi perang gerilya," ujar Soejono.

Pagi hari sekitar pukul 06.00 WIB, sewaktu sirene tanda jam malam berakhir berdering, serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro.

Wilayah barat dipimpin Ventje Sumual, Selatan dan Timur dipimpin Mayor Sardjono, Utara oleh Mayor Kusno . Di wilayah kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 WIB, pasukan TNI mengundurkan diri.

"Saya merasakan langsung kepemimpinan Pak Harto sejak perencanaan hingga pelaksanaan Serangan Umum 1 Maret," terang Soerjono.

Siapa penggagas SU 1 Maret masih menjadi perdebatan, namun momen serangan itu sangat penting dalam perjalanan sejarah Republik Indonesia.

Karenanya diharapkan para ahli sejarah mampu merumuskan dan meluruskan fakta sebenarnya soal SU 1 Maret tersebut agar dapat menjadi acuan yang benar bagi generasi selanjutnya.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.8662 seconds (0.1#10.140)