Riwayat Sumpah Pemuda dalam Alunan Lagu Indonesia Raya

Sabtu, 29 Oktober 2016 - 05:05 WIB
Riwayat Sumpah Pemuda dalam Alunan Lagu Indonesia Raya
Riwayat Sumpah Pemuda dalam Alunan Lagu Indonesia Raya
A A A
SUMPAH PEMUDA yang diperingati tiap 28 Oktober di Indonesia, merupakan putusan Kongres Pemuda ke-II yang dilangsungkan tahun 1928. Kongres ini dilangsungkan dua hari, Minggu 27 Oktober 1928 dan Senin 28 Oktober 1928.

Kongres hari pertama digelar di dua tempat, yakni di gedung klub milik Kathollieke Jongelingen Bond (Lapangan Banteng) dan gedung bioskop Oost Java, di Koningsplein Noord atau Jalan Merdeka Utara.

Hari kedua, Senin 28 Oktober 1928, kongres dilangsungkan di Gedung Klub Indonesia, Jalan Kramat Raya, No 106. Kongres dipimpin Soegondo Djojopoespito dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI).

Duduk sebagai Wakil Ketua RM Djoko Marsaid mewakili Jong Java, sekretaris Mohammad Jamin dari Jong Sumateranen Bond, dan bendahara Amir Sjarifuddin mewakili Jong Bataks Bond. Sedang pesertanya berjumlah 71 orang.

Kongres pemuda ini juga diikuti oleh empat orang perwakilan dari golongan Tionghoa, terdiri dari Kwee Thiam Hong, Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok, dan Tjio Djien Kwie. Keempat orang ini berperan sebagai peninjau kongres.

Sedikitnya ada tiga peristiwa dramatis yang menjadi simbol penting persatuan Indonesia dalam kongres ini. Pertama adalah putusan Kongres Pemuda-Pemudi Indonesia yang berisi tentang kebulatan tekad sebagai suatu bangsa.

"Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu, tanah Indonesia. Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Putra dan Putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia."

Putusan kongres ini awalnya tidak dikenal sebagai sumpah pemuda. Istilah sumpah pemuda baru diperkenalkan pada tahun 1931 dalam suatu laporan "Kerapatan Besar Pemoeda Indonesia jang ke-1" di Soerakata.

Sejak saat itulah, putusan Kongres Pemuda ke-II disebut dengan Sumpah Pemuda. Makna ini lebih bernuansa politis terhadap perkembangan gerakan saat itu, dan masih dipertahankan hingga saat ini sebagai simbol persatuan Indonesia.

Hal kedua yang menarik diperhatikan dalam Kongres Pemuda ke-II adalah dikenalkannya lagu Indonesia Raya ciptaan wartawan Sin Po, Wage Rudolf (WR) Soepratman. Lagu ini pertama didengarkan melalui gesekan biola Soepratman.

Kemudian diikuti koor pemuda-pemudi dari perkumpulan Pelajar Indonesia. Koor ini dipimpin langsung Soepratman dengan diiringi orkestra dari Indonesia Merdeka. Lagu itu kemudian ditetapkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia.

Sejak itu, Indonesia Raya menggema ke seluruh pelosok Indonesia. Soekarno bahkan menjadikan lagu tersebut sebagai lagu wajib PNI, selain "Partai Kita" ciptaan Inoe Perbatasari. Melihat fenomena itu, pers kolonial mencibir.

Koran Algemen Indisch Dagblad bahkan menulis, "Yang disebut rakyat Indonesia itu tidak ada, dengan begitu lagu (Indonesia Raya) tidak lebih daripada lagu pengantar tidur Nina Bobo yang sama sekali tidak perlu kita hormati."

Namun, yang sebenarnya ditakuti pihak kolonial kala itu adalah radikalisasi pemuda di perkotaan yang berada di bawah pengaruh PNI Soekarno. Meskipun dalam Kongres Pemuda ke-II saat itu Soekarno tidak mengambil peran penting.

Dalam kongres tersebut, Soekarno dikabarkan hadir. Namun hanya sebagai tamu undangan. Dalam buku otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia juga tidak dijelaskan keterlibatan Soekarno dalam peristiwa itu.

"Pada bulan Desember 1928 Sukarno tidak ketinggalan mendukung sumpah khidmat: Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa. Di tahun 1928 itu untuk pertama kali kami menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya," katanya, dikutip halaman 104.

Peristiwa ketiga yang menarik dari Kongres Pemuda ke-II adalah upacara pengibaran bendera merah putih yang diikuti dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Pengibaran bendera ini disaksikan langsung oleh polisi kepala reserse pusat.

Sejak saat itu, tokoh pemuda kerap dimata-matai polisi rahasia Belanda. Kemanapun mereka pergi, selalu dibuntuti polisi kolonial. Termasuk wartawan Soepratman yang menciptakan lagu Indonesia Raya.

Saat pengadilan Soekarno di Bandung, Soepratman menyempatkan diri melihat sidang. Baru saja dia menginjakkan kaki di muka sidang, Soekarno yang melihatnya dengan spontan menegur. Teguran Soekarno kontan mengundang perhatian pengunjung.

"Bukankah anda pencipta lagu Indonesia Raya? Berjuang teruslah demi kemerdekaan kita Tuan Soepratman!" kata Soekarno sembari teriak kepada Soepratman, yang dibalas dengan senyum dan anggukan kepala.

Kemudian, Soepratman dipanggil Procereur General. Dia dicecar pertanyaan, maksud dan tujuannya mengarang lagu Indonesia Raya. Selanjutnya, Soepratman diminta untuk tidak mencantumkan kata "Merdeka" di dalam syair Indonesia Raya.

Permintaan itu sangat memberatkan Soepratman dan membuatnya tertekan. Apalagi sejak panggilan itu, pengawasan terhadap dirinya semakin ketat. Soepratman jadi seperti ayam di lumbung mati kelaparan, itik di air mati kehausan.

Hidupnya menjadi sangat merana, sehingga ia sering jatuh sakit. Demi kesehatannya, dia kemudian dibawa keluarganya pindah ke Cimahi pada 1934 dan tinggal di rumah ayahnya, di Jalan Warung Contong B1 124 untuk beristirahat dan berobat.

Sebelumnya, Soepratman tinggal di Gang Tengah, Jakarta. Tetapi di Cimahi juga dia tidak bisa tenang. Mata-mata polisi selalu mengintainya. Atas pertimbangan keluarga, akhirnya dia pindah ke Randudongkal, Pemalang, Jawa Tengah.

Di tempat itu Soepratman merasa lebih lega dan terbebas dari panasnya suhu politik saat itu. Setelah agak sedikit tenang, dia pindah lagi ke Surabaya dan tinggal di rumah kakaknya Ny Roekijem Soepratijah van Eldik.

Soepratman tinggal Jalan Mangga No 21, Lingkungan Tambaksari. Di sini, dia menjalin hubungan dengan Dr Soetomo dan mulai mengikuti kursus yang diadakan Parinda dan Surya Wirawan, di Gedung Nasional Indonesia, Jalan Bubutan, Surabaya.

Di tengah kondisi fisiknya yang belum sehat betul, Soepratman tetap berkarya. Lagu ciptaannya yang terakhir adalah Matahari Terbit. Lagu ini dengan cepat populer ke seluruh penjuru Indonesia setelah disiarkan radio.

Namun, akibat lagu inilah dia kembali dipanggil oleh polisi kolonial Belanda. Soepratman dianggap mendukung Dai Nippon yang saat itu dikabarkan akan menduduki Indonesia. Dalam pemeriksaan itu, Soepratman sempat mendekam semalam di bui.

Setelah dinyatakan bersih, akhirnya Soepratman dibebaskan dan lagu Matahari Terbit diperbolehkan terus mengudara. Pada 17 Agustus 1938, Soepratman tutup usia. Bangsa Indonesia mengenalnya sebagai komposer besar pencipta lagu Indonesia Raya.

Sumber Tulisan:
*Dr Rushdy Hoesein, Terobosan Sukarno dalam Perundingan Linggarjati, Penerbit Buku Kompas, Cetakan Pertama, Mei 2010.
*Lambert Giebels, Soekarno Biografi 1901-1950, Grasindo, Cetakan Pertama, Jakarta, 2001.
*Dainel Dhakidae, Cendikiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Gramedia Pustaka Utama, 2003.
*Anthony C Hutabarat, Wage Rudolf Soepratman, PT BPK Gunung Mulia, Cetakan ke-1, 2001.
*Soempah Pemoeda, dikutip laman http://sumpahpemuda.org.
*Bob Hering, Soekarno, Founding Father of Indonesia: A Biography 1901-1945, Hasta Mitra & KITLV, Jakarta, Cetakan Pertama, 2003.
*Cindy Adams: Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Yayasan Bung Karno bekerja sama PT Media Pressindo, edisi revisi cetakan kedua 2011.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6508 seconds (0.1#10.140)