Situs Batu Nunggul Sandaan dan Kisah Eyang Sembah Agung

Sabtu, 08 Oktober 2016 - 05:00 WIB
Situs Batu Nunggul Sandaan dan Kisah Eyang Sembah Agung
Situs Batu Nunggul Sandaan dan Kisah Eyang Sembah Agung
A A A
Batu Nunggul yang berada di Blok Sandaan, Desa Kondangjajar, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran merupakan salah satu situs bersejarah mengenai perjalanan penyebaran Islam di Pangandaran. Sayangnya situs ini mulai terlupakan tidak banyak hal yang dikerjakan untuk merawat peninggalan bersejarah.

Situs ini kini hanya berupa seonggok batu yang berada di tengah Sungai Cijulang. Padahal berdasarkan buku Babad Cijulang, disebutkan bahwa di Batu Nunggul ini istri Jang Pati atau Eyang Sembah Agung melahirkan putranya.

Eyang Sembah Agung adalah salah satu ulama penyebar Agama Islam pada masa pergeseran Hindu Budha ke Islam di pesisir laut selatan pulau Jawa tepatnya Kabupaten Pangandaran.

Ada beberapa versi mengenai keberadaan Eyang Sembah Agung, versi pertama menyebutkan Jang Pati merupakan penasihat Kerajaan Mataram pada masa Amangkurat II berkuasa. Namun karena sang raja sudah mulai tunduk dan bekerja sama dengan VOC maka Eyang Sembah Agung, kemudian mengundurkan diri dan mengasingkan diri ke daerah Cijulang yang kemudian menjadi ulama.

Sedangkan versi kedua disebutkan Eyang Sembah Agung, merupakan putra dari Raja Mandala. Raja Mandala merupakan salah satu keturunan keturunan Kerajaan Pajajaran dan dikaruniai lima anak laki-laki, di antaranya Sembah Gede, Jang Pati, Jang Singa atau Maung Panjalu, Jang Raga, Jang Langas atau Sembah Agung.

Salah satu tokoh spiritual Kabupaten Pangandaran Abah Kundil mengatakan, dalam buku Babad Cijulang, Batu Nunggul merupakan salah satu tempat aktivitas Jang Pati tinggal bersama isterinya.

“Ditempat itulah Jang Pati mengajarkan kepada masyarakat untuk mengenal Agama Islam, kalimat ajakan yang diserukan diantaranya adalah, sebagai manusia seharusnya hanya menyembah kepada yang agung yaitu Allah SWT, dari situlah Jang Pati mendapat julukan Eyang Sembah Agung dari santrinya,” kata Kundil.

Menurut Kundil, dalam Babad Cijulang diterangkan, isteri Eyang Sembah Agung mengandung bayi kembar. Saat masih dalam kandungan Eyang Sembah Agung telah memberi nama Sulton Suldi dan Sulton Muradi, namun salah satu bayi yang dikandung oleh istrinya hilang saat masih dalam kandungan.

“Bayi yang lahir ke dunia hanya satu, lahirnya diatas batu yang berbentuk tunggul di sungai kecil tempat aktivitas mencuci peralatan rumah tangga. Ya konon di batu tersebut,” tambah Kundil.

Berdasarkan cerita saat bayi tersebut berusia empat bulan, isteri Sembah Agung meletakkan anaknya tersebut dalam ayunan, karena ada keperluan mau mencuci salah satu peralatan rumah tangga di tepian sungai.

“Isteri Sembah Agung berpesan ke Sembah Agung kalau bayinya menangis jangan diayunkan, biarkan saja menangis sampai selesai pekerjaan yang dilakukan oleh isterinya,” papar Kundil.

Tidak lama saat isteri Sembah Agung bekerja di tepian sungai bayi tersebut menangis, namun karena Sembah Agung lupa akan pesan istrinya akhirnya mengayunkan bayi yang berada di dalam ayunan hingga berhenti menangis.

“Setelah bayi berhenti menangis Sembah Agung kembali melakukan pekerjaan rumahnya yang sedang dikerjakan,” terang Kundil.

Tidak lama dari itu, isteri Sembah Agung sudah selesai melakukan pekarjaannya di tepian sungai dan kembali ke rumahnya, namun setelah sampai di rumah bayi yang disimpan dalam ayunan menghilang.

“Isteri Sembah Agung kemudian bertanya kenapa bayi yang ada dalam ayunan tidak ada, Sembah Agung menjawab kalau bayi tersebut ada karena sebelumnya sudah diayunkan lantaran menangis,” jelas Kundil.

Mendengar penjelasan itu isteri Sembah Agung berkata, kenapa diayunkan, padahal sebelumnya sudah berpesan kalau bayi menangis jangan diayunkan dan Sembah Agung hanya berkata lupa akan pesan tersebut.

“Setelah kejadian tersebut Sembah Agung bersama istrinya mencari bayi yang hilang menyusuri jalur Sungai Cijulang, namun tidak membuahkan hasil,” ungkap Kundil.

Setelah kejadian itu Batu Nunggul disebut dengan Batu Sandaan, karena memiliki latar belakang sejarah sebagai tempat bersandarnya isteri Sembah Agung saat melahirkan dan melakukan aktivitas penyiaran Agama Islam.

“Dalam buku Babad Cijulang ada penggalan kalimat Uga yang bunyinya Sandaan Bakal Jadi Panyandaran yang kalau dijabarkan daerah tersebut akan berkembang menjadi sebuah tempat bersandarnya perekonomian masyarakat,” terang Kundil.

Karena keberadaan Batu Nunggul atau Batu Sandaan ditengah sungai, masyarakat adat dan para tokoh supranatural pun kesulitan untuk melakukan penataan pada situs cagar budaya tersebut.

“Padahal Batu Nunggul Sandaan saat ini mulai ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai kalangan yang hanya ingin mengetahui fakta dan data fisik yang tertera dalam sejarah buku Babad Cijulang,” pungkas Kundil.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0803 seconds (0.1#10.140)