Rafidah Helmi, Sarjana Kedokteran Termuda

Senin, 18 April 2016 - 19:55 WIB
Rafidah Helmi, Sarjana Kedokteran Termuda
Rafidah Helmi, Sarjana Kedokteran Termuda
A A A
SEMARANG - Rata-rata, di usia 17 tahun seseorang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) atau paling cepat baru masuk perguruan tinggi. Namun tidak bagi Rafidah Helmi, gadis asal Sukabumi.

Pada usia 17 tahun delapan bulan, gadis kelahiran 31 Juli 1998 ini menyelesaikan pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang.

Rafidah tepat menyelesaikan pendidikan kedokterannya selama 3,5 tahun. Saat diterima masuk di FK Unissula, putri ketiga dari tiga bersaudara pasangan AKBP (purnawirawan) Helmi dan Rofiah ini juga tercatat sebagai mahasiswa termuda di Unissula, yakni pada usia 13 tahun enam bulan. Dia resmi diterima menjadi mahasiswa baru Unissula melalui jalur Penelusuran Bakat Skolastik (PBS).

Seusai mengikuti prosesi wisuda, Rafidah mengatakan sebelumnya dirinya tak bercita-cita ingin menjadi dokter. Cita-cita awalnya justru ingin menjadi seorang guru waktu masih duduk di bangku SMP. Namun, ketika kedua kakaknya sudah menjadi dokter, dia pun memantapkan diri ingin menjadi dokter juga.

"Selama belajar saya tidak pernah tertekan. Semua dijalani dengan baik hingga akhirnya selesai. Kalau di rumah ya saya seperti yang lain, main juga," kata Rafidah yang akan fokus Koas setelah lulus itu sembari tersenyum.

Rafidah mengaku, ketika masih di rumah dan belum kuliah, lebih banyak menghabiskan waktu membantu ibunya dan ketika tidak ada kerjaan dia lebih memilih belajar atau membaca buku. Buku yang dipilihnya pun bukan buku sejarah, novel, ataupun komik. Rafidah lebih memilih buku pelajaran eksakta.

Ketika duduk di bangku kuliah pun, dia tak mengalami masalah bergaul dengan teman-teman kuliahnya yang rata-rata memiliki usia jauh di atasnya.

"Alhamdulillah, selama kuliah ngobrol dan berteman dengan teman-teman saya yang usianya lebih dewasa tidak ada masalah dan kendala."

Ditemui di sela prosesi prosesi wisuda ke-71 Unissula, Senin (18/4/2016), ayah Rafidah yang menunggui di luar ruangan berkisah bahwa putri bungsunya itu memang sejak kecil mengikuti program akselerasi.

Dari mulai jenjang SD, SMP, hingga SMA bahkan ketika masuk sekolah taman kanak-kanak (TK) Kemala Bhayangkari Secapa Polri Sukabumi, Rafidah duduk di bangku TK nol kecil selama sehari. Esoknya langsung berpindah ke TK nol besar.

"Karena memang dia saat itu sudah bisa baca dan tulis," katanya.

Karena mengikuti program akselerasi, ketika berusia 4 tahun 10 bulan Rafidah masuk ke SD Sriwidari Sukabumi dan menyelesaikan pendidikannya selama lima tahun.

"Kemudian dilanjut di SMP selama dua tahun dan SMA juga dua tahun dan kemudian lulus," ujar Helmi.

Helmi mengaku tak pernah memaksa Rafidah dan kedua anaknya yang lain untuk memilih program studi di jenjang perkuliahan. Semuanya diserahkan kepada anak-anaknya sendiri.

Rafidah memilih kedokteran pun itu dikarenakan kedua kakaknya juga mengambil jurusan yang sama ketika duduk di bangku kuliah.

"Kalau dipaksa nanti terbebani dia. Karena kakak-kakaknya ambil kedokteran, akhirnya dia juga ingin masuk kedokteran. Sebagai orangtua kita hanya mendukung saja," paparnya.

Helmi mengatakan, anak yang pertama bernama Riana Helmi kini tengah mengambil spesialis anak. Riana yang merupakan alumni Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan kala itu juga dinobatkan sebagai lulusan termuda, yakni lulus pada usia 17 tahun 11 bulan dan sempat memecahkan rekor MURI.

Sedangkan anak keduanya, yakni Rosalina Helmi saat ini baru saja habis diambil sumpah doktornya di Universitas A Yani Bandung.

"Jadi, Fifi (nama panggilan Rafidah di keluarga) ini terinspirasi kakak pertamanya yang jadi lulusan termuda. Kakak pertamanya ini juga dulu akselerasi sejak SD. Yang kedua tidak akselerasi tapi juga ambil kedokteran dan Fifi ini juga sama ambil kedokteran," ujarnya.

Helmi mengaku tak menerapkan pembinaan khusus pada anak-anaknya. Dia beralasan, tiap anak memiliki keinginan dan kemampuan berbeda-beda. Les dan bimbingan belajar hanya sebagai proses penguatan pendidikan di luar sekolahnya saja.

"Tidak pernah dipaksa harus ini dan itu. Misalnya anak pertama sudah akselerasi, anak yang kedua tidak saya paksa ikut akselerasi. Kemampuan dan minat anak kan beda-beda. Kemudian Fifi ini akselerasi dan ingin jadi dokter itu juga bukan kita paksa," bebernya diamini Rofiah.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5786 seconds (0.1#10.140)