Nasib Museum Radya Pustaka Berada di Tangan Pemkot Solo

Sabtu, 16 April 2016 - 00:29 WIB
Nasib Museum Radya Pustaka Berada di Tangan Pemkot Solo
Nasib Museum Radya Pustaka Berada di Tangan Pemkot Solo
A A A
SOLO - Nasib Museum Radya Pustaka makin tak jelas. Komite Museum Radya Pustaka (KMRP) berencana menyerahkan kembali pengelolaan kepada Pemkot Solo, menyusul tak kunjung turunnya dana hibah operasional museum.

Sekretaris Komite Museum Radya Pustaka St Wiyono mengatakan, sampai kini dirinya belum dapat berkomunikasi dengan para karyawan yang telah mogok kerja hingga hari ketiga, sejak Rabu 13 April 2016.

Mereka semuanya kompak tidak mau mengangkat telepon seluler ketika dihubungi. Sehingga, museum belum dapat kembali dibuka karena pegawainya banyak yang tidak masuk.

Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo sebenarnya telah meminta agar museum dapat kembali dibuka, pada Jumat 15 April 2016 pagi.
“Tapi saya tidak bisa memaksa para karyawan untuk masuk, karena gaji mereka belum dibayar hingga empat bulan,” ucap Wiyono saat ditemui di Museum Radya Pustaka, Jumat siang.

Sehingga instruksi Rudy, sapaan Wali Kota Solo belum dapat dijalankan. Dirinya berencana, pada Sabtu 16 April 2016 pagi museum tertua di Indonesia ini dapat kembali dibuka.

Para karyawan diharapkan kembali masuk. Mereka rencananya juga akan diajak menghadap wali kota untuk membicarakan persoalan, termasuk menyampaikan segala uneg-unegnya.

“Kami juga akan minta palilah (izin) apakah pengelolaan museum diteruskan atau ditutup,” tandasnya.

KMRP akan pasrah sepenuhnya karena dulunya yang membentuk adalah Pemkot Solo. Ketika Museum Radya Pustaka tidak dipegang oleh KRH Dharmodipuro atau Mbah Hadi, kondisinya sudah tidak ada yang mengurus.

Kemudian Wali Kota Solo saat itu, Joko Widodo (Jokowi) yang kini menjadi Presiden RI membentuk Komite untuk mengelola Radya Pustaka. Saat ini, komite yang dibentuk kepengurusannya telah memasuki generasi kedua.

Persoalan dana hibah untuk operasional Radya Pustaka tak kunjung cair, karena Komite yang mengelola sampai kini belum berbadan hukum.

“Kami sebenarnya dapat saja menjadikan komite berbadan hukum. Tidak membutuhkan waktu lama dan biayanya murah,” terangnya.

Namun langkah itu tidak dipilih karena dikhawatirkan akan menimbulkan polemik baru. Yakni komite akan dianggap seolah-olah sebagai pemilik Radya Pustaka. Sementara, tanah Sriwedari, di mana tempat Museum Radya Pustaka berada, masih dalam sengketa antara Pemkot Solo dengan ahli waris Wiryodiningrat.

Pihaknya menegaskan, bahwa KMRP sama sekali tidak memerintah Radya Pustaka tutup dijadwal yang semestinya buka. Namun hal itu tutup dengan sendirinya, karena karyawannya mogok kerja.

Komite sebenarnya telah berencana untuk menulis surat kepada Pemkot Solo apabila dana hibah tidak cair pada bulan April.
“Komite juga tidak bisa menekan pegawai karena tidak bisa menjanjikan kapan dana hibah cair dan gaji mereka yang nunggak dibayar,” jelasnya.

Bendahara museum juga telah mengutak atik kondisi keuangan apakah bisa membayar pajak listrik di bulan Mei nanti. Hasilnya minus, dan kemungkinan tagihan listrik di bulan April tak terbayar. Risikonya adalah listrik diputus hingga tunggakan dibayar.

Kebutuhan listrik tidak bisa ditawar karena untuk menghidupkan AC di tempat penyimpanan benda kuno. Jika tidak memakai AC, barang-barang berusia tua seperti naskah kuno menjadi cepat rusak.

Belum lagi untuk menghidupkan CCTV guna mengawasi keamanan Radya Pustaka dari aksi pencurian atau orang yang tidak bertanggungjawab. Tiket masuk Rp5.000/orang tidak bisa diandalkan karena untuk membayar tagihan listrik terkadang kurang.

Idealnya, kunjungan mencapai 800 orang agar tagihan listrik terpenuhi. Sementara, kunjungannya setiap bulan naik turun mulai dari 20 orang, 80 orang, 1.000 orang hingga 2.000 orang.

Kebutuhan operasional lainnya yang tidak bisa tercover adalah untuk bersih bersih, hingga perawatan benda-benda kuno. Mengenai gaji para karyawan setiap bulan, rata-rata sama sekitar Rp1 juta.

Ada juga yang Rp2 juta, namun hanya segelintir karena memiliki keahlian lebih. Karyawan termasuk tiga pegawai honor Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah yang berjumlah tiga orang. Ketiganya juga tetap mendapatkan honor tambahan dari Radya Pustaka.

Sedangkan anggota komite yang berjumlah empat orang mendapatkan honor Rp3 juta, dan dua dewan pembina Rp2 juta. Namun di tahun ini kemungkinan honor komite akan dipangkas, karena dana hibah di tahun 2016 nilainya turun menjadi Rp300 juta.

Sedangkan tahun lalu besarannya Rp400 juta. “Dewan pembina tahun ini tidak mendapat honor karena dana hibah yang belum cair nilainya dipangkas,” bebernya.

Diterangkannya, Museum Radya Pustaka buka di hari Selasa hingga Minggu. Sedangkan hari Senin tutup untuk kegiatan bersih bersih. Museum juga tutup setiap tanggal 28 setiap bulan untuk bersih bersih dalam skala besar. Di antaranya jamasan pusaka, merawat arca, dan wayang.

Mengingat terbatasnya anggaran, Radya Pustaka tidak bisa mengirimkan delegasi ketika mendapatkan undangan pameran museum. Digitalisasi naskah juga mandek karena terbatasnya anggaran.

“Kami tidak tahu kenapa anggarannya dipangkas menjadi Rp300 juta. Padahal kami mengajukannya Rp400 juta,” tambahnya.

Sementara itu, Ketua Mitra Museum Comunity Teguh Prihadi sangat menyayangkan museum tutup di hari-hari yang semestinya buka. Museum bukan hanya sekedar untuk meletakkan koleksi lama, namun sebagai tempat yang menunjukkan fakta sejarah di masa lalu yang dapat dipakai sebagai sumber pendidikan dan peradaban manusia.

“Dengan tutupnya Museum Radya Pustaka, tentunya banyak menimbulkan pertanyaan, ada apa dengan museum?” ucap Teguh Prihadi.
Para pengunjung juga menjadi kecewa, terutama yang berasal dari jauh. Pemkot Solo diharapkan segera mengambil sikap terhadap nasib Radya Pustaka ke depan.

Jika memang harus tutup karena sebuah masalah internal, maka tidak masalah apabila merupakan kesepakatan. Dengan demikian, masyarakat menjadi tahu dan tidak kecele ketika datang serta semua pihak harus turut memikirkan.

Sementara dari pantauan di Museum Radya Pustaka, kondisinya masih tertutup rapat. Terlihat tiga pegawai yang masuk namun tidak membuka museum.

Ketiganya adalah pegawai honor Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah yang ditempatkan di lokasi itu. Mereka nampak membersihkan arca-arca yang ada di sisi timur gedung museum.

Mereka nampak buru-buru masuk ke dalam ketika para wartawan mencoba mendekatinya. “Kami hanya nurut saja,” ucap salah satu karyawan Radya Pustaka yang enggan menyebutkan identitasnya.

Meski tidak buka, dia dan kedua rekannya tetap masuk untuk merawat benda-benda yang tersimpan di dalam Radya Pustaka. Hanya saja, karyawan laki-laki ini enggan menjelaskan ketika ditanya mengenai penyebab karyawan lainnya tidak masuk.

Terpisah, Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo sudah meminta agar museum Radya Pustaka kembali dibuka. Mengenai pencairan dana hibah, dirinya sudah memberikan disposisi kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) untuk segera mencairkan.
Pencairan tidak perlu menunggu Komite Museum Radya Pustaka berbadan hukum.

“Saya tetap menggunakan Pasal 98 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 bahwa pemerintah pusat, provinsi dan daerah wajib mengamankan, merawat, dan menjaga benda cagar budaya, situs, maupun museum,” tandas Rudy, sapaan Wali Kota Solo.

Sehingga penganggarannya dari APBN, APBD Provinsi dan Pemerintah Kota. Mengingat APBN dan APBD Propinsi tidak menganggarkan untuk Radya Pustaka, maka APBD Kota Solo yang mengalokasikan.

Keterlambatan pencairan sebenarnya hanya persoalan kamunikasi saja. Namun dirinya tetap meminta agar dana tidak dipakai untuk kegiatan budaya. Dana hanya diperuntukan untuk merawat dan melestarikan.

“Kalau kegiatan untuk mendukung museum jangan pakai APBD. Nanti bisa dicarikan melalui dana CSR,” tegasnya.

Sementara itu, Kepala Disbudpar Solo Eny Tyasni Suzana mengaku telah menerima disposisi dari Wali Kota. Namun pencairan harus melalui proses kelengkapan administrasi.

Setelah itu, pihaknya baru mengajukan ke Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) untuk pencairan. “Saat ini tengah diverifikasi terkait biaya operasional museum Radya Pustaka,” jelas Eny.

Disparbud tidak mau terburu-buru dalam tahapan karena harus sesuai regulasi yang ada. Biaya operasional museum yang didirikan di masa pemerintahan Raja Keraton Kasunanan Surakarta Pakoe Boewono (PB) IX dialokasikan Rp300 juta dalam APBD 2016.

Pengajuan bertahap dalam tiga termin. Termin pertama diajukan 40%, dan termin kedua serta ketiga masing-masing 30%.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7400 seconds (0.1#10.140)