Suku Sakai, Benteng Terakhir Rimbo Lancang Kuning

Selasa, 19 Januari 2016 - 23:00 WIB
Suku Sakai, Benteng Terakhir Rimbo Lancang Kuning
Suku Sakai, Benteng Terakhir Rimbo Lancang Kuning
A A A
BENGKALIS - Keberadaan sejumlah perusahaan besar di sepanjang jalan lintas Pekanbaru-Dumai, Riau, kian menggerus areal hutan dan peradaban Suku Sakai yang mendiami hutan di kawasan itu.

Tercatat, jumlah masyarakat Suku Sakai yang kini mendiami hutan (hidup nomaden/berpindah-pindah) tak sampai 5.000 jiwa. Sebanyak 70 persen di antaranya tinggal di hutan sekitar pinggiran perkebunan sawit, yang sebenarnya tak lagi layak disebut hutan.

Di antara perusahaan besar yang kini ada di Kabupaten Siak, Bengkalis hingga Dumai, sebut saja, perusahaan minyak milik asing hingga sejumlah perkebunan besar kelapa sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Maraknya aktivitas industri terutama perkebunan sawit dan HTI di kawasan itu, praktis membuat area hutan yang menjadi tempat tinggal Suku Sakai, kini hanya tersisa 300 hektare. Itu pun berstatus tanah ulayat (tanah adat).

"Sebenarnya, selain tanah ulayat, seluruh hutan di kawasan ini dari dulunya juga punya kami. Tapi, kini hutan di sini sudah tak ada lagi. Sementara sumber penghidupan kami hanya dari hutan inilah, terutama untuk berkebun dan mencari penghidupan," kata Ahmad Yatim, tetua adat Suku Sakai Bathin Sobanga, Bengkalis.

Pria berumur 63 tahun yang bagi masyarakat Suku Sakai dipanggil Bathin (tetua adat) ini berujar, segala upaya bahkan perlawanan yang mereka lakukan untuk menjaga dan melestarikan hutan, hanya sia-sia.

Sebaliknya, hutan makin tergerus dan peradaban Suku Sakai kian terancam punah. Belum lagi, sikap pemerintah daerah setempat, yang dinilai masyarakat Suku Sakai tak pernah berpihak kepada mereka, bahkan cenderung memberi ruang bagi pemilik modal untuk mengubah fungsi hutan kawasan tersebut menjadi perkebunan.

"Agar hutan yang tersisa ini tak lagi ditebang, kami harus tegas. Sekarang, jangankan orang luar, orang Suku Sakai saja, kalau kedapatan menebang satu pohon di hutan itu kena denda. Kalau orang luar, ya hukumnya dibunuh," tegas Ahmad Yatim, geram.

Penjabat Bupati Bengkalis Herliyan Saleh menampik anggapan yang menyatakan pemerintah kurang peduli terhadap peradaban Suku Sakai. Apalagi, kata dia, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat telah diatur dalam Pasal 18 UUD 45 dan Perda Bengkalis yang mengatur soal masyarakat adat Suku Sakai.

Malah, kawasan hutan yang didiami masyarakat Suku Sakai dijaga agar tidak dirusak.

"Tapi, bukan berarti masyarakat Sakai harus tinggal di dalam hutan seperti dulu. Suku Sakai ini kan sudah memiliki pemikiran maju. Saya sangat tidak terima kalau masyarakat Suku Sakai dianggap suku terbelakang. Buktinya, bupati Bengkalis terpilih sementara ini, orang Sakai asli," ujarnya saat meresmikan rumah adat Suku Sakai Bathin Bongasa, yang merupakan bantuan Sinar Mas Group, Selasa (19/1/2016).

Direktur PT Indah Kiat (Sinar Mas Group) Hasan T menyatakan, sebagai salah satu perusahaan yang memiliki daerah operasi di kawasan Bengkalis, pihaknya tak menutup mata dengan kehidupan masyarakat Bengkalis, terutama Suku Sakai.

"Memang bantuan yang kami berikan ini belum ada apa-apanya. Seperti bantuan rumah adat ini, kalau dihitung nominalnya, tentu masih sangat kecil bagi masyarakat. Tapi, dengan adanya rumah adat beserta fasilitasnya ini, diharapkan mampu melestarikan peradaban Suku Sakai," tandasnya.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4309 seconds (0.1#10.140)