Kontroversi Tuanku Rao Panglima Perang Paderi

Senin, 16 November 2015 - 05:00 WIB
Kontroversi Tuanku Rao Panglima Perang Paderi
Kontroversi Tuanku Rao Panglima Perang Paderi
A A A
Tuanku Rao adalah panglima perang dan tokoh Paderi terkemuka yang gigih melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda di wilayah Pasaman, Kotanopan, Padang Lawas, hingga Padang Sidempuan.

Menurut Buya Hamka dalam bukunya 'Tuanku Rao Antara Fakta dan Khayal' setebal 363 halaman, Tuanku Rao adalah seorang ulama yang juga telah berjaya mengislamkan keseluruhan orang-orang Rao dan kawasan sekitarnya. Tuanku Rao juga adalah seorang pejuang yang syahid di tangan penjajah.

Ketokohan Tuanku Rao telah terpahat di hati dan menjadi kebanggaan setiap orang Rao. Atas jasa Tuanku Rao orang-orang Rao, Tapanuli dan kawasan sekitarnya sampai sekarang semuanya beragama Islam dan masih mengaji dengan menggunakan bahasa Rao.

Sebelumnya pada masa remaja Tuanku Rao mendalami ilmu agama Islam di surau Tuanku Nan Tuo, Koto Tuo, Agam, dan kemudian melanjutkannya di Bonjol. Setelah menyelesaikan ilmu fiqihu al-Islam dengan predikat thayyib jiddan (sangat memuaskan), dia dianugerahi gelar Fakih Muhammad.

Fakih Muhammad kemudian menikah dengan seorang wanita bangsawan, puteri Yang Dipertuan Rao.

Karena mertuanya bukan seorang penganut Wahabi, dan tidak bersemangat untuk menentang penjajahan Hindia-Belanda, maka pimpinan pemerintahan Rao diambil alih oleh menantunya, yang kemudian bergelar Tuanku Rao.

Pada 1816, Tuanku Nan Barampek mengiringi Fakih Muhammad pulang ke kampung halamannya untuk menyebarkan hukum Islam.

Di Rao, Yang Dipertuan Daulat Padang Nunang, yang punya pertalian darah dengan Kerajaan Pagaruyung, tak ragu-ragu menyosialisasikan hukum Islam tersebut kepada anak kemenakannya.

Kemudian bersama kemenakannya, Bagindo Suman dan Kali Alam, dia menyebarkan ajaran Paderi ke Langung, Muaro Sitabu, Muaro Bangku, Koto Rajo, Silayang, hingga sampai ke Rokan Hulu, Riau.

Di wilayah Rokan dia bertemu dengan teman seperguruannya, Tuanku Tambusai. Bersama Tuanku Tambusai, dia mengislamkan masyarakat Padang Sidempuan, Kotanopan, Padang Lawas, Bakkara, dan sejumlah perkampungan di bibir Danau Toba.

Dalam mengislamkan wilayah Tapanuli dan sekitarnya ini dikisahkan Tuanku Rao berhasil
membunuh Sisingamangaraja X.

Sisingamangaraja adalah raja tanah Batak yang sangat sakti dan kebal berbagai macam senjata tajam. Dia diyakini tidak akan mati selagi badannya menyentuh bumi.

Akhirnya di waktu badan Sisingamangaraja X melambung ke udara Tuanku Rao mengambil kesempatan itu untuk menebas kepalanya dan disambut agar tidak jatuh ke bumi atau agar dia tidak hidup kembali.

Sementara dalam Buku Tuanko Rao karangan Mangaradja Onggang Parlindungan disebutkan Tuanku Rao adalah putra Batak asli dengan nama Pongkinangolngolan.

Menurut buku tersebut, dia adalah putra hasil perkawinan sedarah antara Sori Singamangaraja IX dengan saudara perempuan Sisingamangaraja X, Gana Sinambela.

Perkawinan sedarah dan semarga tersebut kemudian diketahui oleh pendeta agung di tanah Batak. Sehingga ketika itu bagi siapa pun yang melakukan incest harus dihukum dan hasil dari incest tersebut harus dibunuh.

Sisingamangaraja X kemudian terpaksa membunuh keponakannya Pongkinangolngolan dengan cara menenggelamkan di Danau Toba. Konon dari sanalah percikan dendam Tuanku Rao terhadap Ugamo Malim (Parmalim) terpantik.

Sebelum dibuang, tubuh Tuanku Rao diikat dengan tali yang diberati oleh batu. Namun upaya Sisingamangaraja X tersebut tidak terwujud sebab Tuanku Rao berhasil melepaskan tali ikatan tali dan berenang ke tepian.

Mengingat keamanan diri dan kakeknya apabila tetap berada di daerah Bakkara, maka Tuanku Rao meninggalkan kakeknya di Bakkara dan berangkat menunuju Aceh Tengah.

Di Aceh Tengah inilah Tuanku Rao pertama kali mengenal dan mempelajari ajaran Islam untuk kemudian memeluk agama Islam.

Kemudian Tuanku Rao hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain yang tidak terdapat marga Sinambela untuk menghindari pengejaran terhadap dirinya dari antek-antek pamannya yaitu Sisingamangaraja X.

Tuanku Rao belajar ilmu agama di Aceh sampai berumur 18 tahun dan setelah itu kembali ke Padang Matinggi pada 1801 M menemui sanak familinya sekaligus mulai mendakwahkan Islam kepada kalangan keluarga dan masyarakat Batak di sekitarnya.

Selanjutnya Tuanku Rao belajar dari beberapa orang ulama terkenal Minangkabau abad ke-19 M, diantaranya Tuanku Nan Renceh, Haji Sumanik, Haji Piobang dan Haji Miskin

Sepulang dari Mekkah dan Syria tahun 1815, di mana dia sempat mengikuti pendidikan kemiliteran pada pasukan Kavaleri Janissary Turki, Tuanku Rao diutus Tuanku Nan Renceh untuk memimpin 11 ribu tentara infantri dan kavaleri ke Muarasipongi (tanah Batak) dan menaklukkan Penyambungan dan terus bergerak ke utara.

Misi utama penyerangan itu untuk mendirikan Islam yang kaffah, yang sesuai dengan Alquran dan hadist sesuai dengan paham Islam Wahhabi yang dianut Paderi.

Tidak begitu sulit proses penegakan syariat Islam ini karena ternyata sebagian orang Mandailing dan Angkola (sekarang Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kota Padang Sidempuan di Sumut) ternyata sudah ada yang memeluk Islam.

Usai menaklukkan Mandailing, pasukan dengan pedang di pinggang ini, bergerak lebih ke utara. Rencananya mereka akan menaklukkan tanah Batak yang pada saat itu masih menganut animisme dan dinamisme.

Di Sipirok, kini salah satu kecamatan di Tapanuli Selatan, mereka berhenti untuk menyusun strategi dan menambah kekuatan pasukan. Tuanku Rao lalu merekrut ribuan penduduk setempat yang sudah diislamkan/telah masuk Islam dalam pasukannya. Pasar Sipirok yang sekarang dahulunya merupakan tempat latihan infrantri dan kavaleri, pasukan berkuda.

Setelah jumlah pasukan dirasa cukup dan strategi telah matang, Tuanku Rao melanjutkan penyerangan ke pusat kerajaan Batak yang dipimpin Sisingamangaraja X yang bernama Ompu Tuan Nabolon.

Pasukan Paderi bergerak melewati Silantom, Pangaribuan, Silindung dan terus ke Butar dan Humbang yang merupakan daerah pusat kekuasaan Sisingamangaraja X.

Di Desa Butar pasukan Paderi bertemu dengan pasukan Sisingamangaraja X. Nahas, dalam pertempuran itu, Sisingamangaraja X berhasil ditewaskannya.

Bersama Tuanku Lelo dan beberapa putra Batak lainnya yang telah Islam, Tuanku Rao melakukan penyebaran Islam di tanah Batak.

Sementara perlawanannya terhadap kompeni dimulai setelah pasukan Belanda menaklukan Matur dan Lubuk Sikaping, pada Oktober 1832 Rao berhasil ditaklukan.

Letnan Bevervoorden, seorang komandan pasukan Belanda, menemui Tuanku Rao dan membujuknya agar menyerah.

Dalam pertemuan itu, Tuanku Rao berdalih akan pergi haji dan menyerahkan kembali pimpinan pemerintahan Rao kepada mertuanya, Yang Dipertuan Rao.

Setelah pertemuan itu, Tuanku Rao menarik diri dan bersembunyi di dalam hutan. Namun semangat yang dibawakan Tuanku Tambusai yang baru saja pulang dari Mekkah, menginspirasinya untuk berjuang melawan Belanda.

Kebetulan saat itu tanah Batak dikuasai Belanda. Untuk memuluskan penyebaran paham Paderi ke tanah Batak, Tuanku Rao melakukan penyerangan terhadap pertahanan Belanda di Air Bangis.

Namun Pada 29 Januari 1833, Tuanku Rao dihadang pasukan Belanda. Perlawanannya dapat dipatahkan, dan dia menderita luka berat akibat dihujani peluru.

Kemudian dia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan. Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao wafat. Diduga jenazahnya dibuang ke laut oleh tentara Belanda.


Sumber :

-adi-rawi.blogspot.
-minangneseart.blogspot.
-wikipedia diolah berbagai sumber.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.8999 seconds (0.1#10.140)