Tan Malaka Duri dalam Daging Perundingan Indonesia-Belanda

Jum'at, 02 Oktober 2015 - 05:05 WIB
Tan Malaka Duri dalam Daging Perundingan Indonesia-Belanda
Tan Malaka Duri dalam Daging Perundingan Indonesia-Belanda
A A A
SEJAK kemunculannya kembali di tengah rakyat Indonesia, Tan Malaka membawa politik antikompromi yang tegas. Dia menolak perundingan dengan Belanda, karena saat itu Belanda tidak mau mengakui kedaulatan rakyat Indonesia.

Menurut Tan Malaka, perundingan hanya bisa dilangsungkan oleh dua negara yang merdeka. Sedang saat itu, posisinya sangat tidak seimbang. Belanda tetap menganggap Indonesia sebagai wilayah jajahannya, dan bukan sebagai bangsa yang merdeka.

Namun, pandangan lain disampaikan Presiden Soekarno dan Wakilnya Mohammad Hatta. Menurut pendapat mereka, perundingan dengan Belanda saat itu merupakan langkah yang tepat. Sebaliknya, Tan Malaka dianggap bersebrangan dengan pemerintah.

Lebarnya jurang perbedaan antara Tan Malaka dengan pemerintah yang baru seumur jagung itu mengakibatkan gesekan yang hebat pada kelompok pejuang kemerdekaan. Dengan segenap kekuatan rakyat, Tan Malaka lalu menggalang kekuatan antikompromi.

Hasilnya, sejumlah tokoh, pengurus organisasi, dan tentara, semua mendukung langkah politik Tan Malaka. Perwujudan dukungan itu terlihat dari dilangsungkannya Kongres Rakyat, pada 6 Januari 1946, di Kota Purwokerto.

Kongres ini bermaksud untuk meneguhkan sikap rakyat Indonesia yang menolak perundingan, sebagai sikap yang tepat dan harus diambil oleh pemerintah yang dimpimpin Bung Karno dan Bung Hatta. Dalam kongres itu, kedua pemimpin ini juga diundang.

Sayang, keduanya tidak berkenan hadir. Tetapi, sebagai perwakilan pemerintah mereka mengutus mantan Menlu Mr Subarjo, mantan Jaksa Agung Mr Gatot, dan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Para utusan ini kemudian ikut mendukung Tan Malaka.

Sedikitnya, ada 143 organisasi yang menentang perundingan damai Indonesia-Belanda, dan menyatakan diri siap bergabung dalam perjuangan bersama. Dalam pernyataannya, perwakilan organisasi ini menyatakan siap berperang dengan penjajah.

Ismail, salah seorang perwakilan pejuang yang hadir dalam kongres yang mewakili Badan Perjuangan Jatim memberikan gambaran suasana saat itu dengan jelas. Menurutnya, situasi rakyat di Jawa Timur saat itu sedang sangat bersemangat perang.

"Suasana Jatim diliputi suasana pertempuran hendak mengenyahkan segala iktiar kaum penjajah," katanya, seperti dikutip dalam buku Peristiwa 3 Juli, Menguak Kudeta Pertama dalam Sejarah Indonesia karangan M Yuanda Zara.

Namun, katanya lagi, rakyat Jatim mengikuti politik diplomasi pemerintah. Sebagai akibat dari politik yang lembek itu, maka Inggris mendapat tempo untuk menyusun tenaganya kembali, dan perjuangan rakyat menjadi kurang menguntungkan.

Dalam kongres itu juga diserukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk melucuti senjata tentara Jepang, mengurus tawanan bangsa Eropa, dan menyita perkebunan, serta pertanian milik musuh, dan menyelengarakan perindustrian sendiri.

Singkat cerita, kongres memutuskan menolak semua status kemerdekaan Indonesia yang kurang dari 100%, seperti status dominion, gemeenebest, otonomi, commontwealt, dan trustee-ship. Sayang, keputusan ini kurang dalam praktiknya.

Hal itu dapat dimaklumi, karena terjadinya perbedaan sikap antara pihak Tan Malaka dengan pemerintah yang sah. Pada 15-16 Januari 1946, Kongres Rakyat ke-II, digelar di Kota Solo. Kongres kedua ini kurang sukses dibanding yang pertama.

Kelompok yang mengirim utusan dalam kongres menyusut menjadi 133 organisasi. Dalam kongres ini, Bung Karno dan Bung Hatta kembali diundang, dan kembali tidak hadir. Namun, Panglima Besar Jenderal Sudirman tampak menghadiri kongres.

Pada kongres kedua ini, akhirnya diambil keputusan untuk membentuk badan perjuangan yang bernama Persatuan Perjuangan yang mendukung politik antikompromi dalam mempertahankan kedaulatan NKRI. Pendirian badan perjuangan ini disambut baik.

Sedikitnya, ada 141 organisasi yang bergabung dengan Persatuan Perjuangan. Tokoh militer yang bergabung dalam badan ini di antaranya adalah Panglima Besar Jenderal Sudirman. Kehadiran Sudirman membawa semangat yang cukup besar.

Kenyataan itu diterima dengan pahit oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Apalagi setelah pemerintah melalui PM Syahrir dan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin telah menjelaskan alasan Indonesia memilih jalan politik berunding yang lembek.

Sikap Persatuan Perjuangan yang tetap memilih jalan antikompromi dan berseberangan dengan pemerintah, malah membuat badan perjuangan ini dianggap ingin menggulingkan pemerintahan Soekarno-Hatta. Desas desuspun akhirnya dihembuskan.

Bung Karno dan Bung Hatta tampak termakan kabar itu. Mereka kemudian menaruh kewaspadaan, dan PP dianggap sebagai ancaman pemerintah dari dalam. Dua bulan sejak kongres di Purwokerto, pada Januari 1946, kongres kembali digelar di Madiun.

Saat kongres di Madiun, kekuatan Persatuan Perjuangan tampak jatuh melemah. Kewaspadaan pemerintah dan berbagai upaya membendung kekuatan badan perjuangan itu membuahkan hasil. Utusan kongres menyusut jadi 40 organisasi.

Padahal, kongres sebelumnya dihadiri lebih dari 100 utusan organisasi. Penggembosan badan perjuangan ini pun mulai dilakukan dari dalam. Seperti yang diungkapkan Barisan Pemberontak RI pimpinan Bung Tomo.

Meski tergabung dalam kongres dan anggota Persatuan Perjuangan, badan perjuangan Bung Tomo itu mengeluarkan ultimatum jika Persatuan Perjuangan tidak mampu melaksanakan program minimumnya, maka badan itu akan diobrak-abrik dari dalam.

Selain serangan dari Basiran Pemberontak, penggembosan kekuatan Persatuan Perjuangan juga dilakukan oleh tentara pelajar dan mahasiswa yang ikut pertempuran di Jateng dan Jatim, dengan berbalik haluan mendukung politik berunding pemerintah.
Begitu juga kesatuan tentara pelajar Pemuda Sosialis (Pesindo). Sadar dengan pelemahan yang tengah dialaminya, sikap Persatuan Perjuangan tetap revolusioner dan teguh menolak berunding dengan sekutu dan Belanda.

Berbagai langkah nyata Persatuan Perjuangan dalam mewujudkan sikapnya adalah dengan melakukan mobilisasi umum dan menekan Belanda untuk mengakui daerah jajahan Hindia Belanda sebagai bagian dari Indonesia, ditambah Malaya, dan Kalimantan Utara.

Persatuan Perjuangan juga meminta Papua New Guinea, dan Timor Pertugis dimasukkan ke dalam wilayah Republik Indonesia. Sikap itu diungkapkan Tan Malaka dalam pidatonya yang berapi-api di depan Laskar Persatuan Perjuangan.

Provokasi menghancurkan Persatuan Perjuangan dilanjutkan dengan ulah Laskar Pesindo, dengan melakukan ujuk kekuatan dan jalan mengelilingi Kota Madiun sambil menenteng senjata laras panjang, lengkap dengan atribut kebesaran Pesindo.

Puncak dari sikap pemerintah adalah keputusan Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin yang memerintahkan penangkapan terhadap diri Tan Malaka. Ini terjadi akibat agitasi kelompok Tan Malaka yang menghambat perundingan Indonesia-Belanda-Inggris.

Bersambung..

Baca Juga:

Berakhirnya Penyamaran Tan Malaka setelah Seperempat Abad
Surat Wasiat Presiden Soekarno untuk Tan Malaka
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8644 seconds (0.1#10.140)