Sunan Kalijaga dan Sejarah Kota Salatiga

Minggu, 20 September 2015 - 05:00 WIB
Sunan Kalijaga dan Sejarah Kota Salatiga
Sunan Kalijaga dan Sejarah Kota Salatiga
A A A
NAMA Kota Salatiga di Jawa Tengah konon diberikan oleh Sunan Kalijaga. Seperti apa kisahnya?

Pada masa Wali Songo, hidup seorang adipati kaya namun dikenal kikir. Dia bernama Adipati Pandanarang II. Istri adipati juga memiliki sifat yang sama dengan suaminya yakni cinta harta duniawi.

Kabar tersebut terdengar oleh Sunan Kalijaga. Namun, Sunan Kalijaga merasa bahwa Adipati Pandanarang II masih merasakan ada kebaikan dalam diri Adipati Pandangarang II. Maka, dia pun bertekad untuk menyadarkan Adipati Pandanarang.

Untuk mewujudkan misinya itu, Sunan Kalijaga menyamar sebagai tukang rumput. Beliau pun membawa rumput bagus dan segar. Suatu hari, ketika Sunan Kalijaga lewat di halaman kabupaten, Adipati Pandanarang II memanggilnya dan menawar rumput dengan harga sangat rendah.

Tanpa basa-basi, Sunan Kalijaga setuju dan meletakkan rumputnya di kandang. Entah apa maksudnya, sebelum pergi Sunan Kalijaga menyelipkan uang lima sen di rerumputan tersebut.

Uang tersebut ditemukan oleh abdi dalem Pandanarang II dan diberitahukan pada Adipati Pandangarang II. Kejadian ini terus berulang. Adipati Pandanarang II pun heran.

Suatu saat, Adipati Pandanarang II bertemu penjual rumput itu dan menanyakan asal usulnya. Dia juga menanyakan mengapa si tukang rumput itu seolah-olah tak butuh uang.

Tukang rumput itu lalu menjawab bahwa dia bisa mendapatkan emas dengan sekali mencangkul. Mendengar jawaban tersebut, sang Adipati marah. Dia menyuruh abdi dalem memberikan cangkul kepada tukang rumput tersebut. Tukang rumput itu lalu mencangkul. Ajaib, tanah hasil cangkulannya berubah menjadi emas.

Hal ini membuat sang Adipati dan abdi dalemnya terdiam seribu bahasa. Si tukang rumput akhirnya menunjukkan jati dirinya. Begitu tahu bahwa tukang rumput itu adalah Sunan Kalijaga, sang Adipati langsung meminta maaf dan memohon bisa menjadi murid Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga setuju. Syaratnya, Pandanarang mau melepaskan sifat terlalu cintanya pada dunia dan memberikan hartanya kepada fakir miskin. Pandanarang setuju.

Namun, sang istri, Nyai Pandanarang, ternyata belum bisa menghilangkan rasa cintanya pada harta dunia. Diam-diam, perempuan itu memasukkan emas dan permata ke tongkat dari bambu. Karena tongkat terlalu berat, sang istri tertinggal. Dia pun menyuruh suaminya supaya berangkat terlebih dahulu agar bisa menyusul Sunan Kalijaga.

Pandanarang dan Sunan Kalijaga akhirnya menempuh perjalanan bersama. Di perjalanan, mereka dihadang tiga perampok. Dengan tenang, Sunan Kalijaga mengatakan,"Kalau kalian menginginkan barang berharga, tunggulah di sini. Nanti akan lewat wanita tua. Kalian akan mendapatkan emas permata yang ada di dalam tongkat bambu."

Perampok itu pun membiarkan Sunan Kalijaga dan Pandanarang lewat. Tak berapa lama, lewatlah Nyai Pandanarang di tempat tersebut. Nyai Pandanarang tak berdaya. Ketiga perampok itu lalu mengambil tongkat bambu yang dibawa Nyai Pandanarang.

Saat Nyai Pandanarang menyusul suaminya dan Sunan Kalijaga, dia menceritakan kejadian yang dialaminya. Mendengar hal itu, Sunan Kalijaga mengatakan,"Untuk berguru kepadaku, kalian harus bisa meninggalkan harta duniawi. Kejadian itu merupakan kesalahanmu sendiri."

Untuk mengingat kejadian itu, Sunan Kalijaga memberi nama daerah tersebut "Salah Tiga". Alasanya, jumlah perampok tadi ada tiga. Lama kelamaan, Salah Tiga berubah menjadi Salatiga.

Versi lain menyebutkan, dinamakan Salah Tiga karena ada tiga orang yang bersalah, yakni Adipati Pandanarang, Nyai Pandanarang, dan perampok.

Namun, ada juga versi lain seputar perjalanan Sunan Kalijaga, Pandanarang, dan Nyai Pandanarang. Mereka dicegat sekawanan perampok. Sunan Kalijaga menyuruh perampok itu untuk mengambil harta yang dibawa istri Pandanarang. Akhirnya perampok itu pergi setelah merebut tongkat yang berisi emas dan berlian.

Setelah perampok itu pergi, Sunan Kalijaga berkata,"Aku akan menamakan tempat ini Salatiga karena kalian telah membuat tiga kesalahan. Pertama, kalian sangat kikir. Kedua, kalian sombong. Ketiga, kalian telah menyengsarakan rakyat. Semoga tempat ini menjadi tempat yang baik dan ramai nantinya."

Selain dari cerita rakyat tersebut, ada beberapa sumber lainnya terkait asal usul Kota Salatiga. Dari beberapa sumber tersebut, Prasasti Plumpungan-lah yang dijadikan dasar asal usul Kota Salatiga.

Cikal bakal lahirnya Salatiga tertulis dalam batu besar berjenis andesit berukuran panjang 170 cm, lebar 160 cm dengan garis lingkar 5 meter yang selanjutnya disebut Prasasti Plumpungan.

Berdasarkan prasasti yang berada di Dukuh Plumpungan, Kelurahan Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo itu, Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi.

Berdasar prasasti di Dukuh Plumpungan, Desa Kauman Kidul, Kecamatan Sidorejo, maka Salatiga sudah ada sejak tahun 750 Masehi. Waktu itu, Salatiga merupakan perdikan.

Perdikan adalah suatu daerah dalam wilayah kerajaan tertentu. Daerah ini dibebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti karena memiliki kekhususan tertentu. Daerah tersebut harus digunakan sesuai dengan kekhususan yang dimiliki. Wilayah perdikan diberikan oleh Raja Bhanu, meliputi Salatiga dan sekitarnya.

Menurut sejarahnya, dalam Prasasti Plumpungan berisi ketetapan hukum, yaitu suatu ketetapan status tanah perdikan atau swantantra bagi Desa Hampra. Pada zamannya, penetapan ketentuan Prasasti Plumpungan ini merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra.

Penetapan prasasti merupakan titik tolak berdirinya daerah Hampra secara resmi sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian, daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini.

Konon, para pakar telah memastikan bahwa penulisan Prasasti Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai para pendeta (resi). Raja Bhanu yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah seorang raja besar pada zamannya, yang banyak memperhatikan nasib rakyatnya. Isi Prasasti Plumpungan ditulis dalam bahasa Jawa Kuno dan bahasa Sanskerta.

Dengan demikian, pemberian tanah perdikan merupakan peristiwa yang sangat istimewa dan langka, karena hanya diberikan kepada desa-desa yang benar-benar berjasa kepada raja. Untuk mengabadikan peristiwa itu, raja menulis dalam Prasasti Plumpungan, Srir Astu Swasti Prajabhyah yang artinya Semoga Bahagia, Selamatlah Rakyat Sekalian. Ditulis pada hari Jumat, tanggal 24 Juli tahun 750 Masehi.

Kalimat Srir Astu Swasti Prajabhyah tersebut ada dalam logo Kota Salatiga.

Di zaman penjajahan Belanda, telah cukup jelas batas dan status Kota Salatiga. Berdasarkan Staatblad 1917 Nomor 266, mulai 1 Juli 1917 didirikan Stood Gemente Salatiga yang daerahnya terdiri dari delapan desa. Karena dukungan faktor geografis, udara sejuk dan letaknya sangat strategis, Salatiga cukup dikenal keindahannya di masa penjajahan Belanda.

Berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, Kotamadya Daerah Tingkat II Salatiga berubah penyebutannya menjadi Kota Salatiga.

Sumber: http://www.sejarahkota.com, wikipedia.org, dan http://salatigakota.go.id.
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0887 seconds (0.1#10.140)