Kiai Amin, Ulama Sakti Cirebon yang Bergabung di Perang 10 November

Sabtu, 05 September 2015 - 05:00 WIB
Kiai Amin, Ulama Sakti Cirebon yang Bergabung di Perang 10 November
Kiai Amin, Ulama Sakti Cirebon yang Bergabung di Perang 10 November
A A A
Kiai Amin bin Irsyad atau yang lebih dikenal Kiai Sepuh lahir pada tahun 1879 M di Mijahan Plumbon, Cirebon, Jawa Barat. Semasa kecil Kiai Amin belajar ilmu agama kepada ayahnya, yaitu Kiai Irsyad.

Kemudian, setelah dirasa cukup menguasai dasar-dasar ilmu agama dan ilmu kanuragan dari sang ayah, beliau dipindahkan ke Pesantren Sukasari, Plered, Cirebon di bawah asuhan Kiai Nasuha.

Setelah itu beliau pindah ke sebuah pesantren di daerah Jatisari di bawah bimbingan Kiai Hasan. Dan beliau pun terus berkelana ke berbagai tempat untuk menuntut ilmu dari para ulama yang mumpuni.

Berbagai pesantren pun beliau datangi untuk berguru dari Pesantren Kaliwungu Kendal hingga Pesantren Tebu Ireng Jombang.

Belum lama belajar di Pesantren Tebu Ireng, Kiai Amin bertolak ke tanah Arab untuk memperdalam ilmu agama pada salah satu guru beliau di Makkah bernama Kiai Mahfudz Termas, seorang ulama ternama asal Pacitan Jawa Timur.

Sebagai seorang santri yang sudah cukup matang, beliau pun mendapat tugas untuk mengajar para santri mukim, yaitu pelajar Indonesia yang tinggal di Makkah.

Berdasar amanah dari sang ayah, Kiai Amin diamanatkan untuk menimba ilmu kepada Kiai Ismail bin Nawawi di Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon.

Ketika belajar di pesantren, Babakan Ciwaringin, beliau dikenal dengan sebutan Santri Pinter, karena beliau pandai mengaji. Setelah beliau menyelasaikan tahassus, kemudian dinikahkan dengan keponakan Kiai Ismail.

Sehingga sepeninggal Kiai Ismail, pada tahun 1916, pengasuh Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin Cirebon diteruskan oleh Kiai Amin yang lebih dikenal dengan dengan Kiai Amin Sepuh.

Gelar itu disematkan kepada beliau, dikarenakan keilmuan dan asal muasal beliau yang sama dengan pendiri Pesantren Babakan, yaitu Kiai Jatira dari Mijahan.

Dengan bermodal ilmu pengetahuan yang telah ia peroleh, serta upaya untuk mengikuti perkembangan Islam yang terjadi di Timur Tengah, Kiai Amin Sepuh memegang tampuk pimpinan Pesantren Babakan Ciwaringin, peninggalan nenek moyangnya dengan penuh kesungguhan.

Kiai muda yang masih energik ini, selain mengajar berbagai khazanah kitab kuning, beliau juga memperkaya pengetahuan para santrinya dengan ilmu keislaman modern, tentu dengan tetap memprioritaskan kajian ilmu ubudiyah dalam kehidupan sehari-hari.

Kepiawaian dan kedigdayaan Kiai Amin sepuh tertuang dalam perjuangan 10 November 19 45 di Surabaya.

Diceritakan dalam sebuah majelis, bahwasanya almarhum KH Abdul Mujib Ridlwan, Putra KH. Ridlwan Abdullah Pencipta lambang NU, mengajukan sebuah pertanyaan.

"Kenapa perlawanan rakyat Surabaya itu terjadi 10 November 1945, kenapa tidak sehari atau dua hari sebelumnya, padahal pada saat itu tentara dan rakyat sudah siap?"

Melihat tak satupun hadirin yang dapat menjawab, akhirnya pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Kiai Mujib.

"Jawabannya adalah saat itu belum diizinkan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari untuk memulai pertempuran, mengapa tidak diizinkan?

Ternyata Kiai Hasyim Asy’ari menunggu kekasih Allah dari Cirebon yang akan datang menjaga langit Surabaya, beliau adalah KH. Abbas Abdul Jamil dari Pesantren Buntet Cirebon dan KH. Amin Sepuh dari Pesantren Babakan, Ciwaringin Cirebon.

Selain dikenal sebagai ulama, KH Amin yang legendaris dari Cirebon juga dikenal sebagai pendekar yang menguasai berbagai ilmu bela diri dan kanuragan.
Beliau juga seorang pakar kitab kuning sekaligus jagoan perang.

Sehingga saat mendengar Inggris akan mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945 dengan misi mengembalikan Indonesia kepada Belanda, maka KH Amin menggelar rapat bersama para Kiyai di wilayahnya.

Menurut penuturan Kiai Fathoni, pertemuan itu dilakukan di daerah Mijahan, Plumbon, Cirebon. Bersama dengan Kiai Amin, Kiai Fathoni menjadi saksi pertemuan yang melibatkan KH. Abbas Abdul Jamil Pesantren Buntet, KH. Anshory (Plered), dan ulama lain.

Pertemuan itu ditindaklanjuti dengan pengiriman anggota laskar ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal AWS Mallaby.

Tidak ketinggalan, KH. Amin juga ikut berangkat ke Surabaya serta turut mengusahakan pendanaan untuk biaya keberangkatan.

Kiai Fathoni mengatakan bahwa untuk pendanaan, beliau menyerahkan 100 gram emas yang terdiri dari kalung, gelang, dan cincin.

Kepahlawanan KH Amin dalam peristiwa 10 November memang cukup legendaris sampai sekarang.

Bahkan saat itu ada stasiun radio yang menyiarkan bahwa KH.Amin adalah seorang yang tidak mempan senjata maupun peluru saat bertempur di Surabaya.

Bahkan, dia juga dikabarkan tidak mati, meski dilempari bom sebanyak 8 kali.Siaran inilah yang membuat kepulangan KH.Amin ke Cirebon disambut oleh 3000-an orang untuk meminta ijazah kekebalan darinya.

Kondisi ini tentu saja membuatnya marah. Dan beliau mengatakan dengan nada tinggi jika tidak mati karena bomnya meleset.

KH. Amin Sepuh bepulang pada 20 Mei 1972 M. Bangsa ini kembali kehilangan sosok pahlawan tanpa tanda jasa, yang begitu gigih mempertahankan keutuhan bangsa Indonesia.

Sumber:

pesantrenpedia.org

almuhibbinindonesia

majalahlangitan

diolah dari berbagai sumber
(nag)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 2.5825 seconds (0.1#10.140)