Mengharap Terobosan (Baru) NU dan Muhammadiyah

Sabtu, 01 Agustus 2015 - 09:38 WIB
Mengharap Terobosan (Baru) NU dan Muhammadiyah
Mengharap Terobosan (Baru) NU dan Muhammadiyah
A A A
DRS H TAUFIQ R ABDULLAH
Anggota FPKB DPR RI,
Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Periode 1999–2010

Dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, menggelar perhelatan tahunan pada waktu yang hampir bersamaan.

Muktamar Ke-33 NU digelar pada 1- 5 Agustus 2015 di Jombang, Jawa Timur. Adapun Muktamar ke-47 Muhammadiyah digelar pada 3-6 Agustus 2015 di Makassar, Sulawesi Selatan. Inilah peristiwa penting dalam sejarah gerakan masyarakat sipil di Indonesia. Publik Indonesia dan dunia tentu menunggu keputusan dan terobosan yang akan diambil kedua organisasi terbesar tersebut.

Dengan mengusung tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia”, tampaknya NU hendak menegaskan posisinya sebagai elemen bangsa yang konsisten mengembangkan Islam yang bercorak Indonesia yang moderat dan rahmatan lil alamin. Adapun Muhammadiyah dalam muktamar ini mengusung tema “Gerakan Pencerahan untuk Indonesia Berkemajuan”.

Dengan tema ini Muhammadiyah seakan ingin menunjukkan sebagai pionir gerakan Islam pembaruan yang penting dalam pembangunan di Indonesia. Perhelatan dua organisasi tersebut mengandung makna penting bagi perjalanan bangsa kita. Sebagaimana kita ketahui, Muhammadiyah dan NU adalah dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yang terlahir sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakatan.

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, peran keduanya sangat penting mulai dari perintisan kemerdekaan dan revolusi Indonesia, pembangunan nasional, proses reformasi politik, dan seluruh perubahan sosial yang terjadi di hampir semua bidang. Dengan peran tersebut, keduanya merupakan representasi civil society (masyarakat sipil) yang penting dalam perjalanan bangsa Indonesia.

Sebagai gerakan civil society , perjalanan Muhammadiyah dan NU dalam sejarah Indonesia juga tak lepas dari dialektika. Perjalanan panjang kedua organisasi Islam terbesar ini, senantiasa diwarnai kooperasi dan kompetisi (fastaqul khoirot). Muhammadiyah dan NU memiliki romantisme masa lalu yang sarat emosi dan sentimen historis yang amat sensitif.

Sebagai contoh, sering dinyatakan, kelahiran NU tahun 1926 merupakan reaksi defensif atas berbagai aktivitas kelompok reformis meski bukan satu-satunya alasan (Bruinessen, 1994). Dengan dialektika yang panjang dalam sejarah Indonesia itu, Muhammadiyah dan NU menjadi aktor penting dalam perubahan politik dan gerakan sosial di Tanah Air.

Karena itu, dapat dimengerti jika persaingan ini pada akhirnya juga merambah ke dalam praksis gerakan. Menurut Pramono U Tanthowi, paling tidak ada dua aspek yang membedakan konsep civil society dalam perspektif Muhammadiyah dan NU, yakni motivasi dan pendekatan, sehingga pada akhirnya memengaruhi perbedaan hasil akhir dan daya tahan masing-masing konstruksi civil society.

NU dan Muhammadiyah telah tampil menjadi kekuatan civil society yang penting dalam sejarah kebangsaan dan kenegaraan kita. Dalam memainkan peran keumatan itu, Muhammadiyah memang terkesan lebih praktis, sementara NU lebih tampak idealis.

Meskipun dengan pilihan dan pendekatan yang berbeda, peran kemasyarakatan yang dimainkan keduanya telah melengkapi dan memperkuat pencapaian tujuan kemerdekaan dan cita-cita proklamasi. Bahwa untuk mengurus bangsa yang besar ini negara tidak bisa sendirian, tetapi membutuhkan partisipasi dan kontribusi kekuatan masyarakat sipil.

Tantangan dan Terobosan Baru

Dengan posisi yang sedemikian strategis, peran dan kontribusinya harus terus diperkuat. Terlebih menghadapi tantangan kebangsaan dan kenegaraan yang kian kompleks. Kini, setelah 17 tahun reformasi, Indonesia masih dirundung berbagai masalah dan tantangan yang tidak ringan.

Tantangan itu antara lain berupa tingkat kemiskinan dan pengangguran yang masih tinggi, khususnya di perdesaan, degradasi karakter bangsa yang terus terjadi, tindakan intoleransi dan kekerasan yang masih subur. Di sisi lain, kita juga menghadapi pelemahan kedaulatan bangsa kita di berbagai bidang, terutama bidang ekonomi dan pengelolaan sumber daya alam.

Di luar itu, kita juga dihadapkan pada tantangan eksternal yang sangat mengerikan. Sebagai konsekuensi dari globalisasi, Indonesia masuk dalam Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (AFTA) dan ASEAN Community pada 2015 ini. Jika kita siap, pasar bebas akan menjadi peluang bagi Indonesia untuk menjadi negara maju.

Namun, jika tidak siap, hal itu akan menjadi bencana besar karena Indonesia akan terlindas. Untuk itu agenda besar bangsa kita adalah mempersiapkan masyarakat agar memiliki daya saing ekonomi dan sumber daya di kancah regional dan global. I t u semua menjadi tantangan penuntasan agenda reformasi dan pembangunan nasional yang hingga kini masih jauh panggang dari api.

Berbagai soal yang buntu dan lama tak terpecahkan (bottle neck ) menjadi tantangan pembangunan nasional kita. Dan, tentu, seluruh elemen bangsa ini harus terlibat menyelesaikannya. Sebagai kekuatan civil society terpenting, NU dan Muhammadiyah dituntut terlibat secara signifikan dalam menghadapi tantangan kebangsaan di atas.

Di sinilah muktamar dua organisasi besar tersebut menemukan momentumnya. Keputusan dan terobosan penting harus dihasilkan melalui perhelatan muktamar kedua organisasi berpengaruh tersebut. Setidaknya ada empat terobosan NU dan Muhammadiyah yang ditunggu masyarakat dan bangsa Indonesia. Pertama, memperkuat peran organisasi dalam melakukan kaderisasi calon pemimpin masa depan yang berkualitas dan visioner.

Dengan kaderisasi kepemimpinan baru yang dilahirkan oleh NU-Muhammadiyah, dimungkinkan mereka akan dapat melakukan perubahan besar negara kita. Kedua, meneguhkan visi kebangsaan dengan mempertegas arah gerakan, baik dalam ideologi keagamaan maupun sikap kebangsaan.

Dengan penegasan itu NU dan Muhammadiyah harus menjadi penyokong utama pembangunan kedaulatan bangsa, baik kedaulatan politik, kedaulatan ekonomi maupun kedaulatan budaya. Penegakan kedaulatan ini merupakan bentuk dari perjuangan perlawanan kolonialisme masa kini.

NU dan Muhammadiyah harus berani menjaga sumber daya alam dan kedaulatan negara, termasuk ketergantungan ekonomi dengan bangsa asing. Ketiga, meningkatkan peran- peran keumatan di berbagai bidang strategis. NU dan Muhammadiyah harus terlibat lebih sistematis dalam pembangunan nasional di berbagai bidang.

Di samping melanjutkan peran serta dalam pengembangan pendidikan, kesehatan, dan ekonomi kerakyatan, NU dan Muhamadiyah dituntut untuk terlibat aktif dalam memperkuat karakter masyarakat dan generasi muda serta membangun sumber daya manusia yang berdaya saing dalam pertarungan global.

Keempat, NU dan Muhammadiyah juga harus segera memantapkan rumusan pemikiran Islam moderat dan rahmatan lil alamin untuk dikampanyekan dalam kancah pergaulan internasional. Ikhtiar ini diharapkan akan semakin meningkatkan peran global keduanya,

terutama dalam memelopori perdamaian dunia dan pembentukan tata dunia yang lebih adil. Barangkali dengan terobosan- terobosan strategis inilah muktamar yang digelar dua organisasi besar ini akan bermakna, baik untuk Indonesia maupun dunia.
(bbg)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5687 seconds (0.1#10.140)